Try new experience
with our app

INSTALL

Sebotol Anggur Untuk Kekasihku 

Bulan Purnama Di Senen

     Akhir-akhir ini, warga Jakarta digegerkan dengan berita yang sangat mengejutkan. Berita itu menyebutkan bahwa purnama akan muncul beberapa hari lagi dan hanya akan terlihat di kawasan Senen saja. Purnama tersebut adalah satu-satunya setelah selama hampir beberapa tahun tidak muncul. Jika memang terjadi, ini adalah pertama kalinya dan satu-satunya sepanjang sejarah manusia di muka bumi ini. Berita gembira ini disambut suka cita oleh warga Senen. Semuanya seperti mimpi, karena bagi orang-orang Senen purnama adalah harapan yang selalu mereka bawa saat tidur melewati mimpi yang tak berkesudahan. Mayoritas orang Senen adalah pemimpi, mereka lebih suka bermimpi dari pada bekerja itu sudah mendarah daging! Mereka memimpikan segala yang bisa diimpikan, dari mimpi menjadi masyarakat yang makmur dan sejahtera sampai mimpi ingin mencuri purnama. Sepertinya mimpi itu akan terlaksana segera. Memang, orang pemalas paling suka bermimpi seperti halnya aku. Aku sangat suka bermimpi karena toh mimpi tidak memerlukan usaha yang berat, cukup dengan bantal yang penuh dengan bekas air liur sampai kasur tipis hibahan dari korban banjir. 


   Kehidupanku tak lebih baik dari para pemimpi di Senen. Aku bekerja serabutan, semua kukerjakan mulai cari botol plastik bekas sampai menjadi penyanyi profesional di angkot dan bis sepanjang jalan Salemba ke Gunung Sahari atau sebaliknya. Meski begitu nasibku sebagai gembel Senen masih sedikit beruntung karena aku memiliki pacar yang sangat cantik, dia tercipta dari senyuman langit dan lembutnya tanah setelah hujan. Ah setan, cantik sekali kau Jen! Sudah sejak jauh hari, aku persiapkan untuk memberikan sebuah surprise kepadanya, karena saat purnama muncul itu pula bertepatan dengan ulang tahun Jenny. Sebuah surprise yang tidak akan pernah dilupakannya seumur hidup dan menjadi cerita kepada anakku kelak itu juga aku jadi menikahinya. Tenang Jen, aku pasti akan menikahimu setidaknya itu mimpiku. Malam ini aku akan mengajak Jenny ke Bisokop lalu meminum anggur di bawah sinar bulan purnama yang hanya akan muncul di Senen. Untuk orang yang hidup dari usaha sendiri atau istilah kerennya self-employee aku harus bekerja keras untuk mewujudkan mimpiku.


   Sudah sejak pagi aku nongkrong di Stasiun Senen dan hasilnya sungguh luar biasa sial, karena biasanya sampai jam sepuluh pagi aku sudah mengantongi barang lima belas ribu hasil dari mengangkut koper penumpang karena malas membawa barang akibat perjalanan yang begitu melelahkan. Uang lima belas ribu yang kudapat itu juga sudah dipotong biaya cingcai dengan orang Stasiun. Namun hari ini aku hanya mendapat keringat saja. Aku tidak patah arang kuputuskan untuk mencari di tempat lain. Sebagai gembel aku harus menjunjung tinggi nilai-nilai kegembelanku, yaitu pantang menyerah. Aku berniat mengajak Pape alias Pala Peyang untuk mengadakan konser dadakan. Untuk menemukan Pape gampang gampang sulit karena aku hanya harus mengendus bau khasnya di sekitaran rel seberang Stasiun. Saat kutelusuri aku melihat Pape sedang tidur dengan nyenyak beralaskan kardus tepat di samping rel kereta. Mataku menyelidik mencari alat untuk membangungkannya. Kutemukan plastik lusuh berwarna biru, lalu kutiup plastik itu hingga mengembung. Kudekatkan ke telinga Pape lalu kupecahkan, sejurus kemudian Pape bangun sambil meloncat.
“Setan, setan, setan. Ah lo Jim, bikin kaget aje.” Ucap Pape sambil bersungut-sungut kesal.
Aku sambil nyengir kuda, “Sorry, maaf lagian tidur nyenyak bener! Mimpi apaan sih?”
“Lagi mimpi jadi orang kaya lalu ajak Maesaroh minum es kelapa di café puas?” Kata Pape yang masih dalam keadaan kesal akibat aku ganggu tidurnya.
“Udah mending kita konser yuk nyari duit, biar kau bisa kaya dan ajak Maesaroh. Itu juga kalo Maesaroh nggak jijik sama kau!” Ejekku penuh semangat.
“Setan lo. Rute mana dulu nih?” Tanya Pape kemudian.


   Aku berfikir sejenak, lalu aku masukan jariku ke mulut setelah itu kuangkat tinggi ka arah langit dan terasa angin mengarah ke barat. Pape tersenyum dia mengerti maksudku kita akan menuju ke barat yaitu arah Gunung Sahari. Kami mulai konser kami dengan penuh suka cita, berbekal sebuah kecrekan yang terbuat dari kayu dan tutup botol yang sudah dibuat gepeng kami bernyanyi dengan lantang menyuarakan nasib kami yang tak kunjung beruang. Lagu hits ada di song list kami seperti, Jangan Bicara dari maha karya agung Iwan Fals sampai Jaran Goyang lagu fenomenal tentang perdukunan. Yang paling membuat kami kebingungan adalah, ketika penumpang meminta lagu yang sangat sulit kami wujudkan yaitu lagu dari Korean pop! Sungguh menyiksa permintaan yang satu ini.


  Di dalam angkutan umum semua hal bisa terjadi selain purnama yang hanya muncul di Senen menjadi topik ada seorang yang mencurigakan. Dari kejauhan kulihat tangannya menyelinap ke dalam tas seorang penumpang. Dia akan mencopet, tidak salah lagi. Sebagai orang yang besar di jalan aku sudah terbiasa dengan hal seperti ini, biasanya aku akan mengatur siasat supaya aku dapat bagian. Dia melihat kepadaku seolah memberi tanda, lalu kubalas dengan anggukan tanda mengerti, “Siap bang nanti bagi-bagi ya” Tanpa sadar keluar dari mulutku begitu saja, tak bisa kukontrol.


  Sontak pencopet yang aku teriaki kaku dan segera menarik tangannya, dia melotot ke arahku karena menurutnya aku salah tangkap dengan tanda yang ia berikan. Keringat mulai mengucur dari dahinya, mulutnya gelagapan tidak bisa berbicara. Sejurus kemudian dia langsung berlari menuju ke arahku dan mengeluarkan pisau kecil. Aku sadar langsung menutupi diriku dengan gitar. Penumpang berusaha menangkap pencopet tersebut dengan mengepung namun, karena badannya yang kecil dia bisa menyusup dan kabur keluar bis dengan cara melompat namun sebelum keluar pisau kecil yang dibawanya berhasil mengenaiku. “Sreett..” terdengar suara daging yang sobek darah mengucur deras di lantai bis, penumpang hanya melihat beberapa orang mencari kain untuk menutupi lukanya. Tanganku tergores oleh pisau pencopet aku pun pingsang karena tidak kuat melihat darahku sendiri.