Contents
Sebotol Anggur Untuk Kekasihku
Dansa Di Bawah Bulan Purnama
Masih dalam persembunyian kami, polisi yang tepat berada di depanku mengulurkan tangannya seolah akan ingin membuka terpal. Detak jantung kami berdegup kencang, namun sepertinya keberuntungan masih berpihak kepadaku. Sesaat pas tangan polisi mengenai terpal ada suara dari arah lain yang kurasa itu adalah polisi yang lain, lamat kudengar “Dia lari ke sana mas!” Lalu tangan yang sudah di atas terpal terangkat seraya kudengar langkahnya menjauh. Aku dan Jenny terbebas dari masalah. Terkadang konsep keberuntungan memang muncul disaat terakhir, dan bagi orang-orang seperti kami yang hidupnya digantungkan hanya untuk bermimpi setiap hari keberuntungan adalah hal yang wajar bahkan ketika kami tidak makan berhari-hari dan masih hidup. Beruntung bukan?
Selepas kepergian polisi aku dan Jenny secara hati-hati berjalan menuju rel. Di sana kami akan menikmati anggur hasil kerja kerasku. Sepanjang jalan kami hanya melihat deretan orang yang berdesakan. Aku mengambil jalan pintas menuju rel sambil melihat bulan yang sudah terlihat jelas bulat dan berwarna merah keemasan. Ada beberapa orang kudengar mengeluh bahwa bulan tak tampak sebagus ini di daerah Menteng. Di sana bulannya terlihat kecil dan tidak bulat namun sabit, maka dari itu mereka berbondong ke Senen. Kawasan orang-orang pemimpi. Berjalan di gang-gang sempit sambil melihat bulan purnama sungguh sangat mengasyikan, apalagi jika di sampingnya adalah Jenny. Sepanjang jalan menuju rel yang kulakukan hanya melihat bulan dan menciumi Jenny selagi bisa. Ah sudahlah tidak bisa kujabarkan lebih jauh kenakalan apa saja yang aku lakukan.
Rel atau sering kami sebut Basecamp adalah tempat tinggal kedua kami. Jika kalian ke arah kiri dari Basecamp kalian akan menemui megahnya Stasiun Senen jika ke kanan kalian akan melihat kawasan sentiong yang tak jauh beda nasibnya dengan tempat tinggal kami, sama-sama kumuh. Tak jauh dari rel ada tembok setinggi orang dewasa bahkan lebih tinggi kiraku. Di setiap beberapa meter ada bangunan semi permanen terbuat dari kayu dan seng, bangunan itu berdiri berderet-deret. Bangunan itu adalah tempat favorit kami untuk nongkrong menikmati habis malam sambil mengutuk langit. Suasana di rel pada malam ini cukup sepi karena orang-orang pada berkumpul di depan Pasar Raya sambil menikmati indahnya bulan purnama.
Kami memutuskan membuka botol anggur yang sedari tadi meminta untuk dibuka. Jenny muncul membawa dua gelas, aku menuangkan anggur tersebut. Sekali lagi sebuah keajaiban muncul tepat di depan. Cahaya dari purnama jatuh tepat di depan kami seperti lampu spotlight yang turun ke bumi. Selain itu juga terdengar sayup-sayup dari rumah Mi’ung sedang memutar lagu Ismail Marzuki berjudul Dari Mana Datangnya Asmara menambah suasana romantis malam ini. Tiba-tiba aku mendapat Ide aku akan ajak Jenny berdansa di bawah spotlight bulan puranama tersebut. Tapi sebelum kuajak Jenny untuk berdansa, aku ingin mengabadikan momen lalu aku mencari sesuatu yang bisa kujadikan alat ukir. Kutemukan sebuah paku berkarat tergeletak di samping rerumputan. Kupakai alat itu untuk mengukir sesuatu, Jenny heran dengan tindakanku dan hanya mengawasi dari bangku tak jauh dari tempatku. Bak seorang pemahat ulung aku mengukirkan sesuatu di tembok. aku menulis “Di sini pernah hidup sepasang kekasih yang berdansa di bawah bulan purnamadengan anggur gereja.” Tertanda J dan J. Kami berdansa dengan khidmat ditemani lagu-lagu dari Ismail Marzuki anak asli Senen yang melegenda di seluruh Indonesia.
Sementara itu di gereja, orang yang tadi mengambil kue tipis, menepuk jidat di depan lemari karena dia mendapati anggur persembahannya hilang. “Mampus, anggur persembahannya hilang…”Sekian