Contents
2018
CHAPTER 4
−Tidak ada pesta pernikahan.
“Bodoh!! Aku yang buat dia pergi. Aku, Ma!” aku menangis sejadi-jadinya.
“Tenang sayang, tenang ya. kamu ngga salah kok” Mamaku memeluk ku erat.
Andai saja aku dulu sepakat melangsungkan pernikahan sebulan lagi..
Andai saja aku tidak “sok perfeck” ingin menyiapkan segala konsepnya dengan matang..
Coba saja bulan September 2018 itu aku tidak membiarkan Agra pulang ke Palu, tubuhnya tidak akan tersapu tsunami ganas yang menerjang daerah itu. Aku tidak hentinya menyalahkan diriku sendiri.
Tidak ada pesta pernikahan. Foto prewedding itu ialah foto terakhirku dengan Agra. Foto yang masih bisa aku kenang dengan hati membiru pilu.
“Agra pasti bertahan, Ma. Dia pasti masih hidup” kataku.
“Agra sudah janji ngga bakal ninggalin aku lagi..” aku tidak bisa menahan tangisku.
Rasa optimis dan harapan kecil itu tiba-tiba pupus saat tim penanggulangan bencana menemukan jasad Agra.
Hatiku luluh lantak. Serasa tiada oksigen yang bisa ku hirup, sesak.
Aku tidak menyangka liburan ke New York itu adalah liburan terakhirku dengan Agra. Banyak kenangan dan mimpi-mimpi yang kami rajut dan akan segera terwujud.
Tapi lagi-lagi semesta seolah mempermainkanku. Setelah ia memisahkan ku dengan Agra dengan jarak beribu kilometer. Kini ia memisahkan kami antara langit dan bumi.
Aku sadar, aku tidak bisa melihat bola mata coklat dan lentik bulumatanya lagi. Tidak bisa merasakan lembut bibirnya saat mengecupku. Tak ada lagi dekapan hangat ataupun masakan spesial yang ia suguhkan padaku.
Tak ku sangka, aku melihat Agra tubuhnya telah kaku dan masuk ke liang lahat lebih dulu. Aku tidak bisa menerima kenyataan. Rasanya aku ingin meninggalkan dunia ini dengan segera.
“Biarin aku cari Agra, Ma. Aku akan menyusulnya” aku telah hilang akal.
Berkali-kali ku coba enyah dari muka bumi agar bisa bertemu Agra kembali, tapi aku lupa, dunia tidak hanya berputar untuk aku dan Agra saja.
Masih ada orangtua, sahabat, dan orang-orang yang terkasih menyemangatiku untuk tetap hidup. “Kamu harus tegar. Hidup masih panjang”, kata mereka.
Aku mencoba menerima kenyataan dan aku sempat ditangani oleh seorang psikiater hingga kondisiku stabil. Aku tidak hanya kehilangan cintaku, tapi juga kehilangan berat badan dan tubuhku semakin kurus. Maka dari itu Dina kerap mengunjungiku disela-sela prakteknya di rumah sakit. Aku beruntung memiliki sahabat seperti dia.
Sedikit demi sedikit, aku mulai menata hidupku kembali, walau rasa sakit dan penyesalan itu masih terpatri di hati.
Bagiku, tiada cinta lagi yang tersisa.
Aku tidak akan jatuh cinta lagi. Biar pun orang lain menganggapku keras kepala, aku tak peduli. Biar ku simpan semuanya sendiri***
-THE END-