Contents
2018
CHAPTER 2
Aku membuka mata, dan ku dapati hari semakin gelap. Dina rupanya sudah pulang, dan meninggalkan pesan bahwa aku harus makan makanan sesuai dengan resep yang ia berikan. Dina memang andalanku, ia merupakan seorang dokter ahli gizi di salah satu rumah sakit swasta di Jakarta. Semenjak kejadian 2018 lalu, aku sangat depresi, bahkan berat badanku turun drastis. Tidak mudah bagiku untuk bangkit dan menerima keadaan.
“Bagaimana pun hidup harus terus berjalan, sayang. Kita tidak bisa menghentikan waktu walau kita sangat ingin sekali melakukannya” nasehat Mama yang selalu aku ingat hingga kini.
Aku berusaha menenangkan diri dan fokus pada apa yang harus aku kerjakan kini. Awal tahun depan aku akan mengambil gelar masterku di New York. Di kampus yang sama dengan Agra, pun beasiswa yang ku dapatkan juga sama dengannya.
Awalnya aku ingin mengambil gelar master di Indonesia saja saat sudah menikah dengan Agra. Sembari pula meneruskan studio arsitek yang ia rintis dari awal. Segala mimpi-mimpi kami sudah sedikit demi sedikit hampir menjadi kenyataan.
“Kadang mencintai bukan soal bertatap muka dan bergandengan, namun harus bisa merelakan saat ia yang kau cinta sudah tak di sisi lagi. Kuncinya adalah merelakan” Entah sudah berapa banyak buku motivasi tentang cinta, psikologi, dan buku-buku inspiratif yang sudah ku baca. Semua hampir berkata hal yang sama. Namun tak jua bisa menghapus lukaku.
Memang ada beberapa lelaki yang berusaha menarik perhatianku, tapi aku seolah hilang hasrat untuk mencintai lagi selain pada Agra. Bahkan, orangtuaku telah menyiapkan perjodohan yang mereka anggap bisa mengobati luka hatiku. Namun, ya.. sia-sia saja.
Bukan itu yang aku mau. Aku hanya ingin memeluk Agra lagi. Memeluknya erat dan tak ingin ku lepaskan.
Sama seperti saat aku harus merelakan Agra kembali ke New York kala itu.
“I will be back to you and I will always do” ucap Agra sebelum memasuki pintu keberangkatan internasional Bandara Soekarno-Hatta.
”Wherever you are, I will wait till our dream come true” aku menatapnya, dan berkata demikian dengan pasti.
New York – Jakarta tidak pernah jadi halangan bagiku dan Agra. Walau raga tak bisa bertemu, tangan tak bisa saling menyentuh, namun kami selalu mendoa agar semesta mendukung hubungan kami.
Agra bercerita banyak hal tentang kampusnya. Begitu pula denganku. Aku selalu saja iri dengan kurikulum yang dijalankan Agra, seperti semuanya flexible dan sangat efesien baik dari waktu dan tempat.
“Ya enak kampus mu bagus, ngga kayak kampusku” aku selalu mengeluh begitu.
Walau aku dan Agra saling menjaga perasaan masing-masing, namun tidak menutup kemungkinan orang lain hadir dalam kehidupan kami, terutama aku.
Aku ingat dulu, ada seorang lelaki yang sudah ku anggap seperti kawan karib menaruh hati padaku. Aku dan dia selalu ikut lomba mewakili kampus, dan banyak menghabiskan waktu bersama. Sampai akhirnya kami hanya berdua di studio untuk membuat maket komplek perkantoran di dekat pegunungan. Dia mendekat dan berusaha mengecup bibirku. Sontak aku terkejut, langsung menamparnya, dan pergi begitu saja.
“Walau kita berjauhan, tapi aku selalu percaya padamu. Kita pasti bertemu lagi, San” suara Agra dari video call tengah malam yang selalu kami lakukan.
Air mataku langsung jatuh dan tidak bisa mengungkapkan apa yang aku rasakan.
Agra awalnya khawatir dan bertanya-tanya ada apa sebenarnya. Dari lubuk hati terdalam, aku takut mengkhianati dia, begitu pula sebaliknya. Namun apa daya, yang bisa ku lakukan hanya percaya dan berharap semesta benar-benar mempertemukan aku dan Agra kembali.