Contents
2018
CHAPTER 1
2018 adalah tahun yang tidak akan pernah ku lupa. Sejak saat itu sudah ku pastikan, aku tidak akan jatuh cinta lagi. Biar pun orang lain menganggapku keras kepala. Aku tak peduli. Biar ku simpan semuanya sendiri, tanpa harus tengok kanan-kiri.
“Lo jangan terlalu keras sama diri sendiri, San” ujar Dina, sahabatku.
“Lebih baik gue kayak gini daripada harus bohong, kan?” tangkasku.
Sore itu kami sedang duduk berdua menghadap ke jendela yang memperlihatkan sisa rintik hujan. Di dekat kami ada secangkir teh hangat, dan lantunan musik lofi yang membuat suasana semakin sendu, persis seperti hatiku yang masih membiru.
***
2 tahun sebelumnya,
Tepatnya 14 Februari 2018, Agra melamarku di depan teman-teman kami. Aku dan Agra memang bekerja di satu kantor yang sama. Dia adalah seorang arsitek muda yang berprestasi dan telah mengukuhkan karyanya di berbagai tempat di belahan dunia. Sedangkan aku ialah adik kelasnya yang selalu mengaguminya diam-diam semenjak SMA dulu hingga akhirnya semesta memihak padaku. Aku tak menyangka hari itu akan tiba. Terlebih, aku sebelumnya pun tidak yakin bisa berpacaran dengan Agra.
Setelah hari itu, rasanya aku tidak bisa menyentuhkan kaki ke tanah. Hatiku terlalu berbunga-bunga karena tidak akan lama lagi aku dan dia akan saling memiliki untuk selamanya.
“Aku akan menjagamu, sampai kapan pun itu” bisik Agra saat memeluk erat tubuhku.
Aku tak bisa berkata-kata, hanya tersipu malu dan membalas pelukannya. Kata orang, kami adalah pasangan ideal, tidak terlalu show-off ke media sosial, tidak ada gossip yang mengintai kami, ataupun pertengkaran yang membuat performa kami buruk. Tentu saja, toh sebelumnya aku dan Agra menjalani hubungan LDR (Long Distance Relationship) selama 3 tahun lamanya. Dia di New York menyelesaikan S2nya, dan aku di Jakarta.
Bagiku, jarak tiada berarti karena Agra selalu menemani. Mulai dari lagu, buku dan film favorit kita pun sama. Menurutku, Agra tidak hanya kakak kelas tampan nan pintar. Tapi dia seperti aku adanya. Beberapa kemiripan kami membuat semuanya lebih terasa indah, terlebih sosoknya yang dewasa membuatku nyaman.
Pernah dulu, saat dia pulang ke Jakarta untuk menemuiku, ia memberikan kejutan yang tidak pernah aku lupa. Mulanya sebuah pesan membuatku tercengang di pagi hari.
“Hun, sorry I can’t go back to Jakarta cause there’s something I need to do here. I have to cancel my ticket. Hope you don’t mind” isi pesan Agra.
Rasanya seperti semua semangat tergerus habis, lemas, dan tidak tahu harus bagaimana lagi. Segala ekspektasiku saat bertemu dengannya harus terkubur begitu saja. Hari itu aku tidak berniat ke kampus, atau pun keluar kamar.
Namun beberapa saat kemudian…
“Surprise!!” Agra muncul dari balik pintu.
Aku tidak bisa membendung rinduku lagi. Ku peluk ia dan mencubit pipinya saking jahilnya. Ia pun memarahiku pula karena harusnya aku kuliah, namun aku hanya di rumah.
“Hah, badmood banget tauuu. Gara-gara kamu nih” aku mulai merajuk.
“Uuh my hun, don’t be sad. I’m here now” Agra mulai menenangkanku.
Malam itu kami langsung pergi ke Folk Music Festival untuk menikmati senandung band favorit kami secara langsung –Payung Teduh. Aku awalnya sempat ragu, apakah tiket yang aku beli beberapa bulan lalu akan terpakai. Tapi malam itu gemerlap lampu konser, hiruk pikuk penonton, dan alunan musik folk tidak mampu menggetarkan hatiku selain tatapan mata Agra dan tangannya yang menggenggamku erat.
Kami pun menikmati malam itu seperti tiada hari esok yang akan datang. Menikmati angin malam, dan bersenandung bersama. Aku masih ingat, malam itu adalah malam yang paling membahagiakan bagiku. Lelaki yang selama ini ku tunggu, akhirnya kini dihadapanku. Menatapku lekat. Sorot matanya pun tak melepaskan bola mataku yang mulai gusar saking gugupnya. Senyumannya semakin membuatku luluh. Agra mendekatkan wajahnya, dan bibir kami pun bertemu. Mataku langsung terpejam sembari memeluk tubuhnya.