Contents
Temporary
Part 6
"Hana ... tunggu ih."
Bell istirahat sekolah dibunyikan, dan Yeshy hendak menyusul Hana yang sedang berjalan mengarah toilet. Namun, tali sepatunya terjerat.
"Ayok, Yesh ... dah gak tahan aku ini," kata Hana yang sedang memegang perutnya.
"Iya ya ... ini nih ...." Yeshy berlari kecil menghampiri Hana. "Dah, yuk!"
Tanpa banyak kata, Yeshy mengekori Hana sampai di depan toilet. Hingga akhirnya ritual di toilet selesai, Yeshy mengajak Hana ke kantin untuk membeli air mineral.
"Han."
"Hem ...?" respon Hana.
"Jujur gue belum pernah cerita ke siapapun, tapi mungkin lo akan jadi pendengar perdana gue," terang Yeshy.
"Wah, seru dong. Aku jadi yang pertama, boleh-boleh," respon Hana dengan antusias.
"Bentar, gue mau beli air mineral dulu. Tunggu sini!"
"Okeyy ...."
Hana duduk di salah satu bangku yang ada di kantin, sambil menunggu Yeshy, Hana bermain ponselnya sejenak.
Seusai Yeshy membeli air mineral, ia pun menghampiri Hana yang sedang duduk di bangku bagian pojok, ia pun harus berjalan sedikit agak lama karena kantin yang ramai dan luas.
"Hei!!" Yeshy memegang pundak Hana dari belakang.
Hana terlonjak. "Yeshy ... ngagetin tau."
Yeshy tertawa renyah. "Maaf-maaf, Han ... abisnya lo serius amat main HP-nya."
Yeshy mengambil kursi yang ada di samping untuk dibuatnya duduk bersebelahan dengan Hana.
"Yok-yok, udah siap jadi pendengar nih," ujar Hana membuka pembicaraan.
Yeshy mengembuskan napas sebelum memulai bercerita.
"Jadi gini, Han ... tau gak-"
"Nggak."
Yeshy memutar bola matanya. "Ish, belum, Hana!!"
"Hehehe, tadi kamu kayak seakan-akan nanya gitu," ujarnya.
Yeshy mencoba untuk tetap tersenyum. Ia mulai membayangkan sesuatu pada saat-saat di mana dia merasakan hal yang berbeda. Tapi Yeshy masih belum bisa mengerti akan hal itu. Lebih tepatnya ialah bingung.
"Setiap gue ke gereja, adem rasanya, Han. Apalagi ... tiap gue selesai doa ada gula berjalan di depan gue ....," ujar Yeshy yang diakhiri dengan rengekan.
Raut wajah Hana sepertinya masih tampak bingung. "Ha? Gula berjalan? Apaan, Yesh?"
"Ishh, masa nggak tau ..." Yeshy melengkungkan bibirnya ke bawah.
Yeshy mengambil alih, berancang-ancang untuk bercerita lebih dekat lagi dengan Hana, ia takut ada anak lain yang mengetahui. "Gula berjalan itu, si Ken."
Hana melebarkan mata dan tersenyum. "Ken?"
"Iiya, Kenzo," ujarnya mengangguk.
Bukan Yeshy yang senyum-senyum sendiri, melainkan Hana. Ia suka sekali jika mendengar temannya bercerita jika sedang kasmaran. Hana tetap diam dan membiarkan temannya itu bercerita sampai usai.
"Gue sering ketemu, sejak akhir-akhir SMP waktu itu, dan nggak tau kenapa takdir terus nemuin gue di tempat ibadah pula seringnya. Kalau di sekolah sih jarang-jarang ya, dia kan tempatnya di ruang band mulu," ujarnya diiringi kedua tangan yang melipat di atas meja.
Dan Hana masih mengangguk-angguk memahami.
"Kalau nggak gitu ya di ruang OSIS ... huh, apalah daya gue yang gak ikut eskul sekolah sama sekali," ujarnya yang diakhiri dengan menopang dagu.
"Tau gak sih?" Yeshy menoleh ke arah Hana.
"Jatuh cinta sendiri itu asik, tapi ada fase juga di mana hati kita akan lelah," ucap Hana seketika.
Yeshy mengerjap. Dia memikirkan perkataan Hana. Apakah ia juga akan merasakan fase itu ataukah jatuh cinta sendiri akan berujung bersama. Tak lama lamunan itu terbuyar.
"Lo tau kan dia punya dua lesung pipi?" Hana mengangguk.
"Nah, makanya gue bilang gula berjalan tuh itu ....," ujar Yeshy yang diiringi tawa.
Hana sedikit tertawa, dari dulu Hana sering menjadi pendengar untuk teman-temannya. Mengasikkan. Dan salah satunya juga untuk pembelajaran baginya apalagi soal kisah remaja.
Sebenarnya mereka masih ingin bercerita lebih lama lagi bersama. Namun, keduanya harus terpanggil untuk ke kelas karena bell masuk telah berbunyi.
***
Sebelum pulang sekolah, Hana berinisiatif untuk mengumpulkan teks puisinya untuk lomba kemarin. Banyak sekali anak yang menunggu antrian di sana. Baik adik kelas, kakak kelas dan juga seangkatannya.
Hana duduk di kursi-kursi yang tersedia di depan ruang OSIS. Tak sengaja Hana mengetahui Reyhan yang sedang berdiri dan bersandar di dekat pintu ruang band sambil memainkan isi aplikasi ponselnya. Sedangkan kedua temannya sedang sibuk mengurus pendaftaran lomba di ruang OSIS.
Hana tersenyum sepersekian detik, lalu menunduk mengamati teks puisinya yang dianggapnya lumayan indah. Namun, tak lupa, jika di atas langit pun masih ada langit.
Hana menoleh ke kanan melihat ramainya siswa-siswi mengumpulkan teks, lalu menoleh ke kiri saat ada kakak kelas yang berjalan mengarah ke ruang OSIS, di celah-celah kakak kelas yang berjalan itu, Reyhan menatap Hana dengan jelas. Hana mengetahui itu, dan membiarkan kedua mata itu berbicara.
Hana mencoba tersenyum, saling menatap tanpa ungkap suara meski sudah sering berjumpa. Tanpa henti mata itu saling beradu. Rasanya seperti ingin memulai obrolan. Namun, seperti ada yang menyadarkan dengan sendirinya. Hingga akhirnya nama Hana terpanggil oleh anak OSIS, dan Reyhan beralih masuk ke ruang band.
Di dalam ruang band, Reyhan sendiri sedang melamun tanpa mengerti apa arti yang sedang ia rasakan. Ingin mengungkap tapi tak sepercaya itu. Bahkan ia dibuat bingung dengan perasaannya sendiri.
***
Matahari sedang bersembunyi di balik awan. Redup, meski jam masih menunjukkan pukul dua siang. Hana mengayuh sepedanya menuju perpustakaan dan berdoa agar hujan tidak turun saat dia masih di jalan.
Hana menikmati kesehariannya itu, meski terkadang air mata runtuh tanpa diminta, tanpa alasan dan tak mengerti penyebabnya. Tetapi Hana mencoba mengerti jika usia semakin bertambah kita akan melewati berbagai rintangan, entah perihal percintaan ataupun kehidupan.
Dan satu hal yang Hana benar-benar pahami, jika kesulitan itu pasti ada. Namun kesulitan itu akan hilang seiring berjalannya waktu, asalkan usaha dan doa selalu beriringan.
Hana membuka pintu perpustakaan, sudah ramai dan penjaga perpustakaan pun berganti sift. Sebelum Hana menjalankan pekerjaan, ia harus ceklis di ruangan bunda.
Dari arah dalam Bunda keluar. "Eh, Hana. Udah lama di sini?"
"Ehmm, enggak kok. Barusan ini ceklis."
"Ouhmm, bagus-bagus!" Bunda mengangguk serta mengacungkan ibu jari.
"Reyhan gak ke sini, Han?" tanya Bunda ketika Hana hendak keluar.
Hana menoleh memasang ekspresi cengo. "Apa, Bund?"
"Iya, kamu kan satu sekolah sama dia. Biasanya pulang sekolah dia sering ke sini. Kadang main ... kadang juga niat banget belajar."
"Sedekat itu ya, mereka. Apa jangan-jangan Bunda ini ibunya Reyhan?" batin Hana.
"Hana kurang tau, Bund," ujar Hana untuk merespon Bunda.
"Anak pintar dia, tapi ya gitu, kaku banget kalau mau ngungkapin kemauannya, kalau gak Bunda tanya dulu mana mungkin dia mau bilang," ujarnya sambil membuka-buka buku.
Hana terpaku di dekat pintu, ingin beranjak tapi tidak enak jika meninggalkan Bunda berbicara sendiri. Ia pun mencoba menjadi pendengar.
"Mungkin kalau dia sedang suka sama seseorang juga sulit untuk mengungkapkan ya." Sejenak Bunda berhenti. "Reyhan terlalu sering menyendiri jadinya sulit untuk mengungkapkan keinginan atau perasaan secara langsung."
Bunda menutup bukunya, beralih menghampiri Hana yang masih terpaku diam di dekat pintu. "Dia lebih suka mengungkapkan dengan sebuah lagu, lukisan atau gambaran-gambaran gitu."
Bunda memegang kedua pundak Hana. "Makanya dia suka bernyanyi ...."
"Kok Bunda tau semua?" tanya Hana.
"Bunda mengenal Reyhan sejak dia SMP. Sering ... sekali dia ke sini, Han. Sampai kayak gak mengenal waktu gitu, dulu dia kalau perpus ini mau di tutup, bodoamat."
Bunda mengajak Hana duduk untuk lebih nyaman lagi ketika mengobrol. "Gak perduli dia. Sampai akhirnya Bunda turun tangan, tanya tuh, kenapa?"
"Kenapa, Bund?" Hana mulai masuk ke dalam perbincangan itu.
Bunda tersenyum sayu."Males pulang ke rumah, gak ada yang spesial. Katanya tuh waktu itu ...." Bunda menepuk-nepuk dengkul Hana.
"Sampai akhirnya Bunda telusuri ... memang benar." Raut wajah Bunda berbeda dari sebelumnya.
"Di rumah dia sendiri, papah mamahnya sibuk kerja, adiknya terpaksa ikut mamahnya, dan setiap enam bulan sekali pembantunya berganti. Entah apa alasannya," terang Bunda dan Hana pun hanya menyimak dengan seksama.
"Jadi sejak kecil ia di asuh dengan berbagai ibu asuh. Dari situ Bunda memahami kehidupan Reyhan." Bunda mengembuskas napas besar. "Ya ... seperti itu lah."
Hana menatap Bunda, tersentuh mendengar cerita yang Bunda sampaikan. Sejenak, suasana hening tercipta. Bunda dan Hana berdialog sendiri dengan pikirannya.
Sampai akhirnya Hana memutuskan untuk izin keluar ruangan dan menjalankan pekerjaannya. Sekali lagi Bunda mengembuskas napas besar, lalu tersenyum memandang sosok Hana yang keluar dari ruangannya.
***