Try new experience
with our app

INSTALL

2 Yang Mulia 

1. Budak Menolak Yang Mulia

Ruang kerja Sultan Singa begitu luas. Sepuluh kali sepuluh meter. Jarak lantai ke langit-langitnya juga sepuluh meter. Karpet merah tua gelap dengan sentuhan emas menghihasi lantai dan dindingnya, sedangkan langit-langitnya berwarna emas. Sebuah meja kerja jati 

berukuran besar terletak di dekat jendela besar. Di meja itu tampak tergeletak foto instag hitam putih, bergambar sosok bayi perempuan yang baru lahir. Di belakang meja itu terdapat sebuah kursi jati besar berukiran mewah berbusa berlapis beludru merah sebagai tempat duduk sultan. Beberapa kursi jati sederhana juga tersedia banyak di salah satu sisi ruangan itu disediakan dan ditata jika ada pertemuan. Di seberangnya, di sisi satunya terdapat set sofa jati dengan mejanya berbentuk bulat pendek, disediakan untuk tamu-tamu special. Tirai berwarna senada dengan dinding bersama tirai tipis berwarna putih menghiasi jendela kaca besar yang ada di belakang meja kerja sultan.


Sultan Singa berdiri memandang pemandangan di luar jendela besar, sedang menunggu yang dijanjikan agensi budak. Datanglah yang dijanjikan itu. Seorang perempuan diseret masuk ke ruang kerjanya oleh dua prajurit.

 

“Yang Mulia, kami membawa gadis budak perawan ini untuk Anda!”

 

Sultan Singa menoleh dan menghampiri gadis budak itu. Sang gadis budak menundukkan wajahnya dalam-dalam. Sultan memandanginya dari ujung kaki hingga kepala. Baju panjang sebatas atas mata kaki dengan kerah tinggi berlengan panjang. Dari atas mata kaki hingga bawah mata kaki tampak celana panjang. Rambutnya tertutup sederhana dengan pasmina sepanjang hampir tiga meter dan lebar satu setengah meter tanpa dikaitkan, sehingga rambut panjang sebatas mata kaki yang terurai cukup terlihat, dan jika ditarik sedikit saja pasmina itu bisa jatuh.

 

“Siapa namamu?” tanya Sultan Singa.

 

Gadis budak bergeming menundukkan wajah. Sultan Singa berusaha melihat wajahnya dengan mendongakkan wajahnya. Gadis budak mundur dan membuat tangan sultan terlepas dari wajahnya. Ia lalu kembali menundukkan wajahnya. Sultan Singa melangkah maju mengulangi lagi mendongakkan wajahnya. Ia lagi-lagi mundur lalu menunduk lagi. Sultan 

Singa kembali melangkah maju mendekatinya dan mendongakkan wajahnya. Ketiga kalinya ia mundur dan menunduk lagi. Dua prajurit akhirnya tidak tinggal diam. Mereka memegangi kedua tangan gadis budak hingga tidak bisa menghindar lagi. Sultan Singa maju dan mendongakkan wajah gadis budak untuk kesekian kalinya. Sultan Singa bisa melihat jelas wajahnya, tidak cantik, tidak putih, tidak hitam, sederhana, tampak sangat bersih mulus, dan bercahaya.

 

“Bersih, aku suka!” Sultan Singa merasakan kesejukan saat melihat wajah gadis budak itu. “Siapa namamu?” tanya Sultan Singa. Gadis budak diam membisu. “Siapa namamu?” tanya ulang Sultan Singa. Gadis budak tetap membisu.

 

“Jawab!” bentak prajurit di sebelah kanan gadis budak. Gadis budak terkejut, gemetaran ketakutan, tetapi tetap membisu.

 

“Aku Sultan Badar Saifulah Husam. Aku biasa disebut Sultan Singa. Siapa namamu?” kata Sultan Singa sembari terus memegangi wajah gadis budak. Gadis budak tetap saja diam. Matanya yang mulai berbicara dengan berkaca-kaca dan akhirnya air matanya jatuh.

 

“Jawab!” bentak prajurit di sisi kanan gadis budak. Gadis budak terkejut semakin gemetaran dan menangis.

 

“Diam! Jangan membuatnya takut!” bentak Sultan Singa kepada prajurit itu. Sultan Singa mengambil bulir-bulir air mata gadis budak yang jatuh di pipi. “Tidak mengapa jika tidak mau menjawab,” kata sultan sembari melepaskan wajah gadis budak. Gadis budak kembali menunduk dalam-dalam.

 

Sultan Singa memperhatikan sejenak gadis budak. Kemudian ia mengambilkan secangkir air dari teko dan cangkir yang selalu tersedia di meja jati bulat.

 

“Minumlah!” perintah Sultan Singa. Gadis budak tetap diam. “Kalian berdua, lepaskan tangan kalian! Sekarang kamu minumlah!” perintah Sultan kepada kedua prajurit lalu kepada gadis budak. Gadis budak gemetaran mengambil cangkir itu dari tangan sultan.

 

“Bismillah!” ucap gadis budak lalu meminumnya.

 

“Kau akan menemani dan melayani tidurku!” kata Sultan Singa.

 

Prang!

 

Suara pecahan cangkir menggema.

 

“Tidak!” tolak gadis budak.

 

“Perintah Sultan harus diikuti!” bentak prajurit di sisi kanan gadis budak.

 

“Diam!Jangan ikut campur!” Sultan Singa menatap tajam kepada prajurit itu.

 

Sultan Singa berjalan ke meja kerjanya. Ia mengambil sebuah kantong dari lacinya. Ia menunjukkan kantong itu kepada gadis budak.

 

“Jangan menunduk!” perintah Sultan Singa. Gadis budak tetap menunduk. “Lihat ini!” perintah Sultan lagi. Gadis budak akhirnya mau melihat. Sultan membuka kantong dan memperlihatkan koin-koin emas. “Ini ada seratus keping. Kau akan mendapatkan ini bahkan lebih jika kau bisa memuaskan!”

 

“Tidak!” Gadis budak kembali menunduk dalam-dalam dengan semakin takut dan air matanya mengalir lebih banyak.

 

“Kurang? Kau cepat ambilkan satu peti batangan emas!” Sultan Singa memerintah sembari menunjuk prajurit di sebelah kanan gadis budak. Prajurit itu menunduk sejenak lalu pergi.

 

“Silakan duduk!” Sultan Singa mengarahkan gadis budak untuk duduk di sofa jati panjang.

 

“Tidak, terima kasih, Yang Mulia!” Gadis budak menolak.

 

“Aku hanya memerintahkan kamu duduk, apa masalahnya? Silakan duduk!”

 

“Bbbbaik, Yang Mulia!” Gadis budak perlahan mendekati sofa jati, duduk di sisi sangat pinggir sekali, dan kembali menunduk dalam-dalam.

 

“Silakan!” Sultan Singa mengambilkannya secangkir air lagi. Budak ragu mau mengambilnya. “Jangan takut atau sungkan!” kata Sultan Singa. Gadis budak dengan tangan bergetar, sambil tetap menunduk, sedikit melirik, meraih cangkir dari tangan Sultan Singa.

 

“Ttteterima kasih!” Gadis budak tidak meminumnya.

 

Sultan Singa duduk di sofa jati yang singgel sambil memperhatikan gadis budak.

 

“Kenapa tidak diminum? Minumlah!” kata Sultan Singa.

 

“Bismillah!” Gadis budak meminumnya.

 

Ada tiga orang di ruang itu, tetapi hening. Tidak ada satu pun yang bersuara. Sampai terdengarlah suara pintu dibuka. Prajurit yang pergi telah kembali dengan sepeti emas batangan.

 

“Yang Mulia!” kata prajurit itu memecah keheningan.

 

“Taruh di meja!” Sultan Singa memberi isyarat dengan tangannya untuk menaruh peti itu di meja bundar. Prajurit meletakkannya. Sultan Singa berdiri dari duduknya dan membuka petinya.

 

“Nona, lihat kemari!” perintah Sultan Singa. Gadis budak mengangkat wajahnya dengan ragudan takut. Tampak batangan emas yang sangat banyak. “Ini batangan 24 karat 99,99%, 25 gram perbatang, dan ddi dalam peti ini ada seratus batang. Kau akan mendapatkan ini dan akan aku tambah satu peti lagi setelahnya! Persiapkan dirimu! Pelayan akan membantumu!”

 

“Tidak, berapa pun tidak!” tegas gadis budak dengan menatap Sultan Singa meski badannya gemetaran hebat, lalu menunduk dalam-dalam. Sultan Singa menghampirinya dan mendongakkan wajahnya. Air matanya tumpah membasahi tangan sultan yang sedang memegang wajahnya. Sultan melepaskan wajahnya. Ia kembali menunduk.

 

“Kalian berdua, cepat ambilkan emas lebih banyak, permata, berlian, mutiara, dan sutra!” perintah Sultan Singa kepada kedua prajurit.

 

“Baik, Yang Mulia!” jawab kedua prajurit sambil menunduk sejenak, lalu bergegas pergi.

 

Sultan Singa kembali duduk di posisinya tadi. Suasana kembali hening. Akan tetapi tidak lama kedua prajurit tadi kembali bersama beberapa pelayan menunduk hormat sembari membawakan semua yang diminta oleh Sultan Singa.

 

“Taruh!” perintah sultan. Mereka menaruh semuanya di meja bundar. Para pelayan menunduk sejenak lagi lalu ke luar sedangkan dua prajurit tetap.

 

Sultan Singa berdiri melihat yang ia minta. Kemudian ia mendekati gadis budak. Ia mengambil cangkir yang dipegang gadis budak. Ia memgang wajah gadis budak agar pandangannya mengarah ke meja bundar.

 

“Lihat! Ini hanya contoh, aku akan memberi lebih dari ini, lebih, lebih, dan lebih!” ujar Sultan Singa.

 

“Berapa pun tidak!” teriak gadis budak.

 

“Seberapa banyak yang kamu mau? Katakan saja!”

 

Prang! Prang! Trang! Trang!

 

Gadis budak kesal. Ia membuat semua barang yang ada di meja bundar jatuh berantakan dan pecah. Air matanya deras sampai sesenggukan. Dua prajurit langsung sigap melepaskan pedang dari sarung mengarahkan ke leher gadis budak.

 

“Singkirkan pedang kalian!” perintah Sultan Singa. Mereka segera menyarungkan kembali pedangnya.

 

Sultan Singa mendekat ke gadis budak. Wajah Sultan mendekat ke wajah gadis budak.


“Berapa hargamu? Katakan!” tanya sultan dengan lembut, tapi tegas, sembari memegangi wajah gadis budak. Gadis budak terus menangis sesenggukan. Tangan Sultan menjadi sangat basah oleh air matanya. “Atau apa yang kau inginkan? Katakan! Mungkin aku bisa memenuhinya! Oh atau kau mau posisi ratu? Akan tetapi posisi itu tidak mungkin untukmu. Kau bisa meminta posisi yang lainnya.”

 

“Sekalipun posisi ratu mungkin, hamba tidak mau! Posisi apa pun, hamba tidak mau! Bahkan seandainya Yang Mulia tawarkan posisi raja, jawaban hamba tetap TIDAK!” teriak gadis budak dengan tegas, tubuh bergetar, dan air mata sesenggukan. Tersinggunglah hati Sultan.

 

“Kalau begitu, terpaksa kau akan disiksa sampai berkata iya, jika masih tidak, maka kau akan mati,” kata Sultan Singa dengan pelan.

 

“Baik, silakan, Yang Mulia siksa hamba dan bunuh hamba!” jawab gadis budak dengan halus namun tegas. Deg ada rasa tidak nyaman di hati Sultan. Sultan menghapus air mata gadis budak dengan telapak tangannya.

 

“Prajurit, bawa dia ke penjara, cambuk, dan siram air dingin!”

 

Gadis budak berdiri lalu menunduk menghormat kepada Sultan Singa.

 

“Assalammualaikum!” ucap gadis budak dengan suara gemetar dan tangisan sesenggukan.

 

“Waalaikumsalam!” jawab Sultan dengan terkejut dengan sikap gadis budak. Ia memandang gadis budak dengan heran karena punya santun, mengucap salam, dan masih mau menghormat kepada dirinya. Kedua prajurit membawa gadis budak pergi.