Try new experience
with our app

INSTALL

Contents

KESUMAT 

KESUMAT

KESUMAT

©Elsy Jessy


 

\tSore ini seharusnya jadi hari yang bahagia untuk Firza. Dia sudah mempersiapkan semua dari seminggu yang lalu. Menyatakan perasaannya pada Mega yang mulai tumbuh satu tahun belakangan. Bahkan sejak terpilih menjadi ketua OSIS periode ini, Firza jadi semakin dekat dengan gadis yang juga sekretaris OSIS itu. Awalnya pulang sekolah Firza mengajak Mega ke perpustakaan untuk mencari referensi tugas Biologi. Kebetulan mereka memang satu kelas dan satu kelompok pula. Sambil menyelam minum air, dia merencanakan acara penembakan itu di sini. Ah, Firza memang tidak romantis. Ketika Mega sedang mencari buku, dia malah sibuk menyusun rangkaian kata yang tepat untuk menyampaikan maksudnya. 

Tiba-tiba Mega berteriak ketakutan. Seketika Firza melihat arah pandang Mega. Netranya menangkap Arka, teman sebangkunya tergeletak tak bernyawa di sudut rak buku dengan mulut berbusa. Di sekitar jasad Arka terdapat segelas es cokelat yang tumpah hingga mengenai kemeja putihnya. Mereka langsung berlari keluar meminta pertolongan. 

***

Mobil patroli berhenti di kawasan SMA Samudera Biru. Seorang polisi berusia dua puluhan akhir keluar dari mobil itu. Dia mengenakan seragam polisi dengan pangkat balok emas satu di pundak. Inspektur polisi dua disingkat Ipda. Ipda Firman namanya. Dia baru saja mendapat laporan bahwa ditemukan mayat siswa di sekolah ini. 

Firman masuk ke perpustakaan dan menuju rak buku yang sudah dibatasi police line. Salah seorang polisi berpangkat Briptu menghampirinya dan melapor.

"Lapor, Dan. Pukul enam belas lebih tujuh menit telah ditemukan siswa dalam keadaan tewas di sini."

Firman hanya mengangguk. "Bagaimana kondisinya?" tanyanya.

"Korban adalah siswa kelas sebelas yang diduga tewas keracunan minuman es cokelat. Pemilik kantin dan saksi yang melihatnya pertama kali sudah diamankan. Dia ditemukan dalam posisi duduk bersandar pada rak," jelas anak buah Firman.

Firman mendekati TKP dan mengenali korban sebagai Arka teman baik adiknya, Firza. Perhatian Firman beralih pada kertas kusut kecil yang ada digenggaman mayat itu. 

"Remasan kertas?"

Firman mengenakan sarung tangan lateks lalu mengambilnya. Kertas itu hanya ada tulisan tangan berisi angka-angka. 9795421379. Apakah ini semacam kode yang disisipkan oleh si pelaku?

"Nggak salah lagi, ini pembunuhan."

Dokter forensik dan beberapa anggota tim laboratorium kriminal datang. Kemudian dokter itu mengeluarkan peralatannya dan mulai melakukan inspeksi. 

"Penyebab tewasnya adalah racun sianida yang terdapat pada es cokelatnya. Namun, masih perlu pemeriksaan lebih lanjut," kata dokter paruh baya itu.

***

Polisi membawa ibu Rusmini, pemilik kantin yang menjual es cokelat dan meminta keterangan Firza dan Mega sebagai saksi ke kantor polisi. Setelah menceritakan kronologinya pada polisi, Firza dan Mega diperbolehkan pulang. 

Mega tampak masih sangat shock. Firza berusaha menenangkannya. 

"Nih, biar perasaan kamu jadi tenang," Firza menyodorkan es krim rasa vanilla yang barusan dibeli di mini market dekat kantor polisi.

Mega mengambilnya sambil tersenyum, "Makasih." Dia membuka es krim itu lalu menyendokannya ke dalam mulut. 

"Tapi tetep aja aku masih takut," imbuhnya.

"Iya, aku tahu kok. Aku juga baru pertama kali ngeliat hal itu." Firza menanggapi.

"Perasaanku malah lebih condong ke sedih daripada takut. Arka itu teman yang baik. Dia adalah teman pertamaku saat masa orientasi dulu," kenang Firza.

"Dia selalu mementingkan orang lain daripada kepentingannya sendiri. Arka benar-benar orang baik," sambungnya.

Firza merasa ada yang aneh. Arka tipekal orang yang supel dan mudah bergaul. Firza rasa, Arka tak punya musuh. Lalu motif pembunuhan ini apa? Dia harus menyelidikinya.

***

Dengan langkah lebar-lebar Firza menuju ruang OSIS. Di sana ada Mega, Catur dan Malik sedang mengobrol. 

"Eh, teman-teman. Kalian mau ikut mencari tahu sebab Arka meninggal nggak?" ajak Firza.

"Penyebabnya sudah jelas, Za. Almarhum keracunan minuman es cokelat bu Rusmini. Lagian bu Rusmini sudah ditetapkan sebagai tersangka sama pihak kepolisian," ujar Malik.

"Iya benar. Untuk apa lagi mencari tahu?" Catur menimpali.

Mega berkata, "Tapi menurutku masih ada yang ganjil. Bu Rus juga menyangkal telah meracuni Arka." 

Sontak mereka semua menatap Mega. "Aneh aja, orang sebaik Arka diracuni bu Rus."

Firza mengangguk. "Benar, itu juga yang aku pikirkan. Setahuku, Arka nggak pernah membuat bu Rus marah atau tersinggung."

"Bisa jadi, salah sasaran. Mungkin sebenarnya bukan Arka yang ingin diracuni, tapi orang lain." Catur berpendapat.

Malik ikut beropini. "Atau bisa juga sebenarnya bukan bu Rus pelakunya tapi orang lain yang menjadikannya kambing hitam."

Banyak kemungkinan logis yang bisa terjadi. Akhirnya mereka sepakat untuk menyelidiki kasus ini. 

***

 Sepekan berselang, kembali terjadi berita yang tak kalah menggemparkan di sekolah. Pak Baharudin kepala sekolah ditemukan tewas gantung diri di ruangannya. Ini yang menambah kejanggalan. Di meja kerjanya, terdapat map yang berisi bukti penyelewengan dana BOS dan suap jual beli kursi kelas program layanan SKS dua tahun MIPA. 

Malik tergopoh-gopoh menghampiri meja Firza di ruang OSIS.

"Za, aku dapat salinannya," ujarnya sambil menyerahkan flashdisk dengan napas terengah-engah.

Suara Malik membuyarkan konsentrasi Firza yang sedari tadi fokus ke layar laptop. "Kamu dapat dari mana?" 

"Aku menyalinnya sebelum rekaman CCTV yang asli diamankan pihak kepolisian," jelas Malik.

Catur datang membawa beberapa cemilan. "Ada apa ini? Apa kalian sudah menemukan sesuatu?" tanyanya.

"Malik berhasil menyalin rekaman kamera pengawas di area depan ruang kepala sekolah. Ayo kita lihat apa yang sebenarnya terjadi."

Dalam rekaman tersebut, tak ada tanda-tanda mencurigakan. Hari itu yang masuk ke ruangan kepala sekolah hanya ada bu Hera guru Geografi yang juga kepala bidang kesiswaan, pak Agus guru olahraga, Catur yang saat itu memang diutus OSIS untuk minta persetujuan kegiatan pensi bulan depan, dan mang Sueb tukang kebun sekolah yang mengantarkan teh untuk kepala sekolah seperti biasa. Pak Bahar memang khusus menyuruh mang Sueb untuk mengantarkan segelas teh hangat setiap hari. Serta bu Citra petugas perpustakaan yang menemukan pak Bahar pertama kali tergantung tak bernyawa. 

"Tur, sewaktu kamu ke ruangan beliau, bagaimana keadaannya?" tanya Firza.

"Pak Bahar seperti biasa. Terlihat normal dan tak ada hal yang aneh. Setelah mendapat tanda tangannya, aku langsung keluar dari ruangan. Aku juga sudah memberikan kesaksian pada pihak kepolisian," jawab Catur.

"Mungkin pak Bahar malu karena skandal korupsinya terbongkar. Jadi dia bunuh diri. Lihat saja, bukti-bukti yang ada di mejanya," ujar Malik.

"Bisa jadi. Aku rasa ini memang bunuh diri," kata Catur.

Firza menutup laptopnya. "Tapi, ada yang aneh. Aku tak sengaja mendengar dari polisi yang memeriksa ruangan kepala sekolah, bahwa di teh beliau ada racun yang sama dengan kasus Arka. Jangan-jangan ini pembunuhan berantai." 

***

"Aku menemukan bangkai tikus di dalam kardus sepatu yang diletakkan di lokerku kemarin. Ada surat ancaman pembunuhan juga. Sebaiknya kita hentikan saja penyelidikan ini, Za." Catur memulai pembicaraan ketika mereka sedang berkumpul.

"Iya, aku juga mendapatkan kiriman itu. Pelakunya menaruh kotak berisi bangkai di depan pintu rumahku. Ibuku jadi merasa ketakutan." Malik ikut mengadu.

"Aku juga mendapat banyak pesan ancaman dari nomor yang tak dikenal." Mega juga ikut bergabung.

"Bagaimana denganmu? Apa kamu mendapatkan hal-hal aneh juga, Za?" tanyanya.

"Nggak. Tapi kemarin aku merasa seperti diikuti seseorang," jawab Firza.

"Jangan-jangan benar itu pelakunya. Sudahlah, Za. Kita hentikan saja. Sebaiknya kita serahkan saja kasus ini kepada pihak yang berwajib," rengek Mega.

"Nggak. Justru ini bisa jadi petunjuk. Sebelum si pelaku menjalankan aksinya, kita harus tahu lebih dulu siapa target selanjutnya," tegas Firza.

"Kita bagi kelompok menjadi dua. Aku dengan Malik. Dan Mega dengan Catur. Kita awasi saksi-saksinya. Aku yakin salah satu dari mereka adalah pelakunya," sambungnya.

"Baiklah, aku dan Mega akan mengawasi bu Hera dan pak Agus," ujar Catur.

"Kalau begitu, aku dan Malik akan memantau mang Sueb dan bu Citra. Tolong kalau ada sesuatu yang mencurigakan kabari aku."

"Siap."

***

Di sekolah mereka berempat berkumpul kembali. Memberi laporan tentang hasil pengamatan para saksi selama ini.

Mega membetulkan letak kaca matanya. "Bu Hera sepertinya sangat ambisi mengambil kursi kepala sekolah. Karena sejak meninggalnya pak Bahar, dia gencar mendesak komite sekolah dan pihak yayasan untuk melantik kepala sekolah baru. Tentunya dengan Bu Hera sebagai salah satu kandidat."

"Pak Agus tak jauh berbeda. Beliau mengumpulkan tanda tangan para guru dan staff sekolah sebagai bentuk penolakan adanya nepotisme dalam pemilihan kepala sekolah. Menuntut transparansi pengangkatan kepala sekolah baru. Karena bu Hera adalah isteri dari ketua yayasan," lapor Catur.

Malik berkata, "Kalau bu Citra, tak ada yang mencurigakan. Dia menjalankan tugasnya seperti biasa. Bagaimana dengan mang Sueb?"

Firza menggeser bangku kemudian duduk. "Mang Sueb akhir-akhir ini jarang terlihat. Menurut keterangan dari pak Somad satpam sekolah, anaknya sakit jadi dia sibuk bolak balik rumah sakit." 

"Menurut kalian siapa yang paling berpotensi membunuh pak Bahar?'

Catur mengemukakan pendapatnya. "Bu Hera. Sebab dia benar-benar tak merasa sedih malah seolah memanfaatkan situasi untuk kepentingannya sendiri." 

"Aku juga sependapat dengan Catur," timpal Mega.

"Iya benar. Tapi, apa kalian nggak curiga dengan yang lain juga?" 

Malik berceloteh, "Sebenarnya semuanya punya motif." 

Sontak semua menatapnya. 

"Bu Hera dan pak Agus jelas karena kekuasaan. Bu Citra, aku dengar dia dulu salah satu korban pelecehan pak Bahar. Dan mang Sueb, dia sering sekali direndahkan pak Bahar. Apalagi teh yang disajikannya beracun." Malik memberi penjelasan.

Firza menanggapi, "Siapa tahu mang Sueb cuma sebagai kambing hitam seperti bu Rus. Dan tahu dari mana bu Citra korban pelecehan pak Bahar?"

"Aku mengamatinya beberapa hari belakangan. Dan aku menemukan bahwa dulu bu Citra adalah alumnus sekolah kita setelah melihat fotonya ada di buku kenangan lima tahun lalu. Dia baru lulus kuliah langsung bekerja di sekolah ini." Malik memberi keterangan.

"Kebetulan calon suami kakakku adalah teman sekolah bu Citra. Katanya dulu skandal itu menghebohkan sampai dimuat media masa. Bahkan ada korban yang bunuh diri," imbuhnya. 

"Artinya korbannya bukan cuma bu Citra saja?" Mega ingin tahu.

"Iya, ada delapan orang siswa. Dan dua diantaranya bunuh diri."

Semakin menarik. Ini adalah fakta baru. Firza malah semakin penasaran ingin menguak teka-teki ini. 

***

Malam ini tiba-tiba Firman mengetuk pintu kamar Firza. Dia ingin meminta keterangan atas kasus-kasus yang ada di sekolah adiknya itu. Firman curiga dia mengetahui sesuatu yang belum diketahui pihak kepolisian. 

Firza membuka pintu kamarnya masih dalam keadaan mengantuk. Wajar saja ini sudah lewat tengah malam. "Kenapa, Bang?" 

"Maaf ganggu tidur kamu. Abang cuma mau tanya gimana keadaan sekolahmu setelah kasus Arka dan Pak Baharudin?" kata Firman to the point.

Firza langsung menggiring Firman masuk kamarnya. "Ada yang mau aku tanyain juga ke abang." 

"Keadaan sekolah kacau, Bang. Posisi kepala sekolah yang kosong jadi rebutan bu Hera dan pak Agus. Kasus korupsi pak Bahar semakin terungkap. Dan yang paling parahnya, pengakuan dari korban-korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh pak Bahar bermunculan," jelas Firza.

"Bisa jadi kasus pak Bahar bukan bunuh diri tapi pembunuhan," tambahnya lagi.

Firman mengangkat sebelah alisnya, "Pelecehan?" 

Firza mengangguk. "Di website milik sekolah banjir pengakuan dari para korban. Tapi setelah ditelusuri, itu semua akun bodong. Tapi aku dan teman-teman berhasil menemukan salah satu korban yang asli."

Firman menghela nafas. Kasus ini semakin rumit. Dia yakin kasus kematian Arka dan pak Bahar berkaitan. Tapi belum menemukan benang merahnya.

"Bagaimana keadaannya?"

"Dia baik-baik saja. Tapi kalau yang lainnya aku nggak tahu."

"Jadi korbannya lebih dari satu?"

"Iya, korbannya delapan orang. Itu yang baru diketahui. Dua diantaranya meninggal bunuh diri."

"Kapan terjadinya?"

"Lima tahun yang lalu. Aku juga belum tahu pastinya, Bang."

"Apa tak ada polisi yang mengusut?"

Firza menggedikan bahu. "Mungkin disuap. Aku dengar pak Bahar punya backingan aparat."

Tak sengaja umpatan terlontar dari bibir Firman. Tak seharusnya oknum polisi menerima rasuah.

"Siapa korbannya?"

"Salah satu saksi. Yang pertama menemukan pak Bahar tergantung di ruangannya. Namanya bu Citra."

"Untuk apa korban pelecehan ke ruangan kepala sekolah?"

"Nah, itu yang sedang aku cari tahu. Motif balas dendam itu cukup kuat. Bisa jadi dialah pelakunya."

"Jangan asal menuduh jika tak punya bukti yang kuat."

"Besok aku akan tanyakan langsung saja. Siapa tahu dia mau cerita."

"Jangan sembarangan menanyai orang. Apalagi itu hal yang traumatik."

"Nggak kok, Bang. Aku bakal hati-hati. Lagi pula sepertinya orang itu tak keberatan."

"Oh iya, kamu tahu nomor apa ini?" Firman memperlihatkan layar ponselnya.

"9795421379." Firza menggeleng. Dengan cepat dia menghafal nomor-nomor itu dan menyalin ke ponselnya.

"Nomor itu ditemukan pada mayat Arka."

Mata Firza membola. Ini petunjuk baru. Dia harus cepat mengungkapkan misteri pembunuhan ini.

"Sebenarnya ini tidak boleh dibeberkan ke sembarang orang. Apalagi orang yang tak terkait dengan pihak kepolisian. Tapi anggap saja kita bertukar informasi. Siapa tahu kamu bisa membantu pihak kepolisian," ujar Firman.

"Lalu apa lagi yang terjadi?" tanyanya.

"Teman-temanku mendapat teror," jawab Firza.

Firman menduga Firza dan teman-temannya berusaha mengungkap misteri ini. "Jangan ikut campur. Ini kewajiban pihak kepolisian," tuturnya.

"Kamu pasti mencoba bermain dektektif-dektektifan, kan?"

"Ini taruhannya nyawa, Za. Bukan mainan. Sebaiknya kasus ini kamu serahkan pada abang saja," lanjutnya.

"Nggak, Bang. Arka itu temanku. Aku nggak terima nyawanya melayang gitu aja," tukas Firza.

"Terus kamu mau mengorbankan nyawa teman-temanmu?"

Firza membisu. Benar. Nyawa Malik, Mega dan Catur bahkan nyawanya sekarang dalam bahaya. 

"Pikirkan baik-baik. Kalau ada informasi sebaiknya beri tahu abang saja. Biar abang yang urus," ujar Firman kemudian berlalu.

***

Berita ditetapkannya mang Sueb sebagai tersangka menyabar ke penjuru sekolah. Firza masih tak habis pikir, kenapa mang Sueb yang diawasinya belakangan ini malah menjadi tersangka. Padahal yang dia tangkap selama ini, mang Sueb tak ada perilaku yang aneh atau mencurigakan. 

Firza menghubungi kakaknya. Dia ingin menanyakan perihal penangkapan mang Sueb yang terkesan mendadak ini. 

"Hallo, Bang."

"Iya. Ada apa, Za?"

"Aku mau tanya tentang mang Sueb."

"Kita bicarakan di rumah saja."

Sambungan terputus.

Firza sudah menunggu Firman di rumah. Ibu sampai heran, tak biasanya Firza seperti itu.

"Kamu kenapa sih, Za? Tumben mau nunggu bang Firman pulang," tanya ibu.

"Iya, Bu. Ada hal penting yang mau aku tanyain," jawabnya.

"Tentang kasus yang di sekolahmu itu?"

Firza mengangguk. "Iya, tersangkanya sudah ditetapkan tapi aku ngerasa masih ada yang janggal."

Suara pintu depan terbuka. 

"Itu abangmu sudah pulang," kata ibu.

Firman duduk bergabung bersama ibu dan Firza di meja makan.

"Tuh, adikmu sudah nungguin dari tadi," ujar ibu pada Firman.

"Nggak sabaran banget, sih." Firman menyambar gorengan tempe yang ada di depannya. 

"Aku penasaran, Bang. Kenapa mang Sueb?"

Ibu meninggalkan mereka berdua ke dapur.

"Mang Sueb mengaku. Dia yang menaruh bukti penyelewengan dana di meja kerja pak Bahar. Dan terbukti ada sidik jarinya di map plastik itu."

Firza terkejut. "Jadi, dia pembunuhnya?"

"Belum pasti. Dia bilang, sewaktu dia mengantarkan teh, pak Bahar tak ada di tempat."

"Maksudnya?"

"Iya dia memang mengakui berniat membunuh pak Bahar dengan cara meracuni tehnya dan membeberkan bukti-bukti korupsi kepala sekolah. Tapi dia menyangkal telah membunuh pak Bahar."

"Motifnya apa, Bang?"

"Dendam. Katanya, anak dan isterinya meninggal saat melahirkan karena pak Bahar menahan honornya selama tiga bulan. Saat itu isterinya sedang hamil anak kembar. Dia meminta haknya pada pak Bahar. Pak Bahar malah semakin menyepelekan. Bahkan saat mang Sueb memohon untuk diberi pinjaman, dia meludahinya. Akhirnya Isteri dan salah satu anaknya tak tertolong."

Tega sekali. Pak Baharudin memang terkenal kikir. Tapi Firza tak menyangka dia sejahat itu.

"Terus gimana kelanjutannya?"

"Pihak kepolisian masih terus berusaha mengungkap dalang yang sebenarnya."

***

Pembagian tugas mengawasi saksi terus berlangsung. Tak terkecuali Firza. Karena mang Sueb sudah ditetapkan sebagai tersangka, dia juga harus ikut mengawasi saksi lainnya. 

Firza dan Malik berada di perpustakaan. Mereka berniat meminta keterangan dari bu Citra. Tapi sepertinya bu Citra enggan buka mulut. Ada perasaan takut yang tergambar dalam wajahnya. 

Sepulang sekolah mereka menguntit bu Citra sampai ke rumah. Ini diluar perkiraan. Bu Citra pulang ke rumah pak Bahar. Ada hubungan apa mereka sebenarnya?

Tak berhenti sampai di sana. Malik berinisiatif untuk bertanya ke tetangga dekat rumah pak Bahar. Salah satu tetangga bilang, pak Bahar punya tiga isteri dan bu Citra adalah isteri ketiganya. 

Fakta baru terungkap, bahwa bu Citra dipaksa menikah dengan pak Bahar karena bapaknya punya hutang dengan pak Bahar. Timbal baliknya, bu Citra dibiayai kuliah sampai selesai dan di tempatkan di sekolah sebagai staff perpustakaan.

Semakin kusut. Firza dan Malik menemui mas Rusdi, calon suami mba Husna --kakak Malik. 

"Mas, gimana sih dulu kasus pelecehan itu?" tanya Malik.

"Iya seperti yang mas bilang kemaren, Lik. Korbannya ada delapan orang. Triana, Binta, Citra, Santi, Fera, Sintia, Neli dan Riska," jawabnya.

"Triana dan Riska bunuh diri," imbuhnya.

"Kata tetangganya bu Citra dijadikan isteri ketiga pak Bahar," ujar Firza.

"Oh iya, itu benar. Sebenarnya dulu mereka diberi pilihan untuk menyumpal agar tak bocor kemana-mana. Tapi nyatanya media cetak heboh. Coba saja googling. Jejak digitalnya pasti masih ada."

"Pilihan apa, Mas?" Malik ingin tahu.

"Menikah atau uang. Tapi orang tua Citra mata duitan dan serakah. Jadi mereka memilih keduanya. Riska dan Triana tak mau harga dirinya dinilai semurah itu, akhirnya memutuskan untuk mati."

"Lalu kelima orang lainnya bagaimana?" Firza terus mengorek informasi.

"Mereka memilih uang. Saat itu uang yang tawarkan pak Bahar lumayan jumlahnya."

"Dan keberadaan mereka sekarang, tak tahu rimbanya. Ada yang bilang mereka pindah keluar kota untuk menutupi aibnya," sambung mas Rusdi.

***

Firza menuruti saran mas Rusdi untuk mencari jejak digital kasus pelecehan seksual yang dilakukan pak Bahar lima tahun lalu. Dia menemukan banyak berita-berita yang sengaja ditimpa sebagai upaya pengalihan isu. Kebanyakan berita yang ada berfokus pada korban bukan pelakunya. Dan entah bagaimana pak Rusdi lepas dari jerat hukum. 

Riska Karisma dan Triana Hendrawan bunuh diri. Jasad Riska ditemukan remuk karena dia sengaja menjatuhkan diri dari lantai lima puluh dua sebuah gedung apartement. Dan Triana ditemukan menggantung di plafon kamarnya. 

Berita yang berkembang, Triana bahkan sedang hamil tiga bulan kala itu. Dia diperkosa pak Bahar sewaktu usianya belum genap enam belas tahun. Artinya pada saat kejadian itu, dia masih duduk di kelas sepuluh.

Pak Bahar mengancamnya agar tutup mulut. Kalau dia berani melawan maka beasiswa adiknya akan dicabut dan ibunya akan bernasib sama seperti bapaknya yang ada dipenjara karena ulah pak Bahar tentu saja.

Kejam. Hati kecil Firza berteriak. Memanglah pantas pak Bahar mati dibunuh. Keluarganya pasti merasakan kesumat yang amat dalam. Dia sebagai orang awam yang hanya mendengar saja ikut merasakan kebencian, apa lagi mereka.

Selagi berselancar di dunia maya, Firza ingat angka-angka yang ditemukan di jasad mendiang Arka. Dia berusaha mencari tahu. Firasatnya mengatakan bahwa semua ini berhubungan dengan angka-angka itu. Pasti ini sebuah kode. Kode yang sengaja ditinggalkan pelaku.

Tiba-tiba ponselnya bergetar. Ada pesan dari Mega. Pujaan hatinya itu mengajaknya ke toko buku. Ah, ini waktu yang tepat untuk menjalankan niatnya tempo hari. Mengutarakan perasaannya pada Mega. Akhir-akhir ini dia memang terlalu fokus dengan kasus-kasus yang ada di sekitar. Sepertinya dia perlu refreshing dari semua itu.

***

Sore itu Mega tampak cantik. Bagi Firza, Mega memang selalu menarik. Mengenakan dress putih tulang motif bunga dengan flat shoes warna senada. Rambut sebahunya dibiarkan terurai. Sudah seperti kencan sungguhan. Padahal mereka hanya mencari buku referensi yang tak ditemukan di perpustakaan.

Setelah beberapa menit, Mega menemukan buku yang dicari. Tapi matanya tertuju pada komik One Piece. Tiba-tiba dia ingat Arka. Arka memang suka mengoleksi komik karya Eichiro Oda itu. Dia bahkan ikut klub cosplayers One Piece. Matanya menyendu. 

Melihat hal itu jiwa lelaki Firza terpanggil. Rasanya tak tega melihat Mega bersedih.

"Sudahlah. Arka pasti sudah tenang di sana." Firza berusaha menenangkan.

"Tapi kita belum menemukan siapa pembunuhnya."

"Secepatnya kita pasti menemukannya."

Untuk mengalihkan perhatian agar Mega tak larut dengan ingatannya, Firza menggiring ke rak berisi novel remaja yang disukainya.

Mega sibuk memilih. Sedangkan Firza hanya ikut-ikutan melihat. Ini saatnya. Firza harus bisa mengungkapkannya.

"Ga, aku boleh tanya nggak?" tanya Firza.

"Boleh. Mau tanya apa?" jawabnya sambil tetap memilih buku.

Gugup. Pernyataan itu padahal sudah di ujung lidah. Tapi rasanya sulit untuk terlontar. Yang keluar dari bibirnya malah pertanyaan yang dia juga tahu jawabannya. "Ini apa?" menunjuk pada bare code dibelakang buku.

Mega menjawab, "Oh, itu ISBN." 

Firza tersenyum kecut. Bukan itu yang seharusnya ditanyakan. Tapi tunggu, ISBN? Jangan-jangan angka yang ditemukan bersama jasad almarhum Arka adalah ISBN. Karena Arka meninggal di area perpustakaan.

Buru-buru Firza mengeluarkan ponsel di saku celananya. Mengetikan angka-angka tersebut di laman pencarian. Dan ternyata benar. Keluarlah judul buku yang cukup membuatnya bingung. Lalu kenapa menuliskan ISBN buku itu? 

***

Pagi-pagi sekali Malik datang ke rumah Firza. Niatnya untuk memberitahu Firza dalang yang sebenarnya dan memaparkan bukti-bukti yang sudah dikumpulkan selama ini.

Karena itu juga Firza tak bisa tidur semalaman. Mega sudah tahu pelakunya dan memberitahu pada Firza keganjilan-keganjilan belakangan ini. Mereka memang janji berkumpul di rumah Firza. 

"Za, bukti-bukti mengarah ke satu nama. Tapi aku sebenarnya nggak yakin," ujar Malik.

"Aku tahu maksudmu, Lik. Soalnya tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan. Firasatku memang dia pelakunya," balas Firza.

Perasaannya tak enak. Firza mengambil ponselnya kemudian menghubungi Mega. "Hallo, Ga. Kok kamu belum sampai rumahku?"

"Hallo, Za. A-aku ... Aw." Suara jeritan Mega membuat Firza seketika panik.

"Kamu kenapa, Ga?!" seru Firza.

Panggilan beralih. Firza membesarkan volume ponselnya. 

"Hallo, Za. Kamu pasti sudah tahu yang sebenarnya, kan?" Terdengar suara cadel dari seberang sana.

Suara yang tak asing di dengar mereka. Itu Catur. Gawat, Mega dalam bahaya. Firza langsung mengatur mode rekam panggilan.

"Sebaiknya kalian diam. Kalau tidak, Mega akan bernasib sama dengan Arka si sok tahu itu," ancam Catur.

"Kenapa kamu melakukan semua ini, Tur?!" teriak Firza penuh emosi.

"Arka si penggangu itu sudah tahu rencanaku untuk menghabisi si Baharudin itu. Dia berlagak menasehatiku. Tahu apa dia tentang keluargaku?"

"Kak Triana bunuh diri karena ulahnya. Bapak dan ibuku juga dijebloskan ke penjara olehnya. Alasannya sepele, orang tuaku tak menerimanya sebagai mantu. Lalu bapak dijebak. Lintah darat melilit, si tua itu menawarkan pinjaman bersyarat. Berakhir gagal bayar, dia merampas semua yang dimiliki Kak Triana. Sebelumnya Kak Dwi dan Kak Eka juga. Tua bangka itu bahkan lebih rendah dari binatang."

"Keluargaku hancur. Kalau bukan karena balas dendam, aku tak sudi bersekolah di sana."

"Jadi kamu membunuh Arka dan Pak Bahar?" 

Suara tawa Catur terdengar jelas. "Sebenarnya aku tak berniat membunuh Arka, tapi dia terlalu ikut campur. Dan tak sengaja aku melihat mang Sueb membeli cairan kimia. Aku mencuri cairan itu dan mencoba beberapa tetes ke minuman es cokelatnya sebagai peringatan. Ternyata dia mati. Hahaha."

"Si tua itu tahu aku adik kak Triana. Dia ketakutan dan berusaha minta maaf ketika aku menjerat lehernya dengan tambang. Tapi sudah terlambat. Aku ingin dia mati dengan cara yang sama seperti kak Triana. Tergantung di plafon. Karena dia keluargaku hancur."

Firman yang tak sengaja lewat kamar adiknya, mendengar percakapan mereka. Firman hendak merebut ponsel Firza. Tapi Firza buru-buru meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya. "Sstt ..." 

"Lalu kenapa kamu menyandera Mega? Dia nggak bersalah."

"Mega, kamu dan Malik. Kalian sama saja. Sok tahu dengan kehidupanku. Aku tahu kalian mau melaporkanku ke polisi. Jadi sebaiknya aku singkirkan Mega dulu. Tenang saja, kamu dan Malik juga akan merasakannya."

Firman menulis di kertas yang ada di dekatnya. 'Pancing Catur katakan posisinya'. Firza mengangguk.

"Jangan! Aku nggak akan ngelaporin kamu. Jadi, jangan sakiti Mega. Kamu mau apa? Uang?"

Catur tergelak. "Itu pasti. Aku mau kalian bawa uang sepuluh juta untuk menukar Mega. Dan jangan bawa polisi. Kalau kalian melanggar, kalian akan melihat Mega sudah jadi bangkai."

"Oke. Katakan dimana aku harus meletakkan uangnya?"

"Di gedung kosong bekas pabrik tekstil jalan cempaka. Letakkan di sana sebelum jam dua siang."

Sambungan terputus.

Mendengar itu, Firman mengirim pesan pada pasukannya untuk segera meringkus Catur. 

***

Firza menyampaikan penemuan itu pada Mega saat mereka keluar dari toko buku. Setelah mengingat dengan seksama kejadian akhir-akhir ini, Mega memang sudah curiga. Tak salah lagi, nomor-nomor itu bukan kode dari si pelaku melainkan simbol pemberitahuan dari Arka sebelum meninggal. Angka itu adalah ISBN buku 'Pedoman Bermain Catur'. Padahal Arka tidak suka berolahraga. Dia hanya ingin menunjukkan pelakunya. Mega semakin yakin yang selama ini menerornya adalah Catur. Pernah sekali Mega mencoba menghubungi peneror dan ponsel milik Catur yang berbunyi. Mega jadi ingat kejadian di dekat loker tempo hari. Dia yang tak sengaja memergoki Catur membawa kotak berisi bangkai. Waktu itu Catur beralibi telah diteror seseorang. Padahal Mega tahu sebenarnya dia ingin meletakkan kardus itu di loker Firza.

Namun sial, tak sengaja Mega bertemu Catur saat akan pergi menuju rumah Firza. Karena tak bisa menutupi kegugupan dan ketakutannya pada Catur. Catur tahu, dia sudah ketahuan. Kemudian dia membawa dan menyekap Mega di salah satu gudang kosong bekas pabrik tekstil. Sepi. Orang sekitar enggan melintasi jalan depan pabrik sebab kabarnya jalan itu angker. 

Mega dipasung dan mulutnya dibekap menggunakan lakban hitam. Dia tak menyangka Catur setega ini. Mega hanya bisa menangis dan berdoa agar segera mendapat pertolongan.

Firza menelepon. Mega tahu karena dia mengatur nada dering khusus untuk Firza. Catur yang sedari tadi diam mengambil ponselnya di tas. Membuka lakban di mulutnya dengan kasar. Dan meletakkan ponselnya di telinga. 

"Hallo, Ga. Kok kamu belum sampai rumahku?"

"Hallo, Za. A-aku ... Aw." Mendengar suara Firza, Catur mendorongnya hingga tersungkur.

***

Polisi datang ke lokasi yang dimaksud. Tak ada siapapun. Firza dan Malik yang ikut ke sana terkejut mendapati Mega yang dipasung dalam keadaan tak sadarkan diri. Mereka segera melepaskan dan membawa Mega ke rumah sakit. Masuk ke dalam gedung, Firman menemukan tubuh Catur yang tergantung di langit-langit. Di dinding dekat mayatnya tertulis 'misi selesai'.


 

-SELESAI-