Try new experience
with our app

INSTALL

Temporary 

Prolog

Ketika mentari pagi mulai menyapa

Diriku merinding saat mengerti akan realita

Tak semanis gula, tak pula sepahit kopi buatan ayah

Namun, hampa yang terasa

Di terbitnya fajar

Aku selalu menengadahkan tangan tuk meminta

Namun, nyatanya tak seindah bayangan mata

Meski ada sesuatu yang sampai kini masih sangat istimewa

Aku pun tak bisa memungkiri

Jika Tuhanlah yang akan menghendaki

Pada lembaran yang putih, kuukirkan kisah dibalik senyum yang manja

Mengambil tema warna pelangi yang kusuka

Kutitipkan salam pada angin tuk disampaikannya

Agar simfoni turut meramaikan suka dan cita

Tertanda

-Hana Almeera


"Fyuh, mungkin gak ya puisiku ini bisa dinikmati banyak orang?" tanyanya pada diri sendiri setelah menulis bait-bait puisi.


"Ah, pasti!" serunya menyetujui. "Pasti beruntung nanti yang ngedengerin puisiku, apalagi yang sampai bisa menghayati."


Gadis bernama Hana itu tertawa renyah yang ia irirngi dengan tepuk tangan untuk menyemangati diri.

Lembaran baru akan dia buka. Menyisihkan masa-masa yang pernah ia lalui. Bait puisi yang ia sajikan tertuju pada simfoni cinta dan kehidupan. Ia tak mengerti, apa luka akan datang menghampiri atau bahagia yang akan menerjang hidupnya nanti. Dan Hana memilih berdoa agar bahagia dan luka tak datang secara bersama, karena hal itu akan membuat dirinya merasa hampa dan tak mengerti harus apa, selain berserah diri pada Sang Kuasa.


***


"Lulus nanti kamu mau ke mana?"


"Belum kepikiran sih, tapi apa boleh bareng terus sama Reyhan?" tanyanya dengan senyum yang mampu membuat Reyhan ikut tersenyum dan tak berkedip.


"Na, semesta menyuruhku untuk selalu bersamamu. Esok, sampai berakhirnya waktu, aku berusaha mempertahankan itu." Hana termenung menatap Reyhan, menyaring dengan benar setiap kata dari cowok yang selama dua tahun akhir itu membuatnya tertarik dan mencoba membuka hati.


Hana tak lagi membalas kata dari Reyhan. Namun, cowok itu mampu mengerti dari sorot mata dan juga senyumannya yang akan tersaji dan selalu ia pandang, kapanpun dan di mana pun. Meski tak pandai dalam memahami syair puisi Hana, tapi Reyhan selalu mencoba memahami bahasa matanya.


***