Contents
Cincin Permata Ungu
Cincin Permata Ungu
Cincin Permata Ungu
By Nazila
Derit pintu kamar membuatku terkejut. Seketika mengusir rasa kantuk yang baru bertandang. Kulihat Mas Levi berdiri di ambang pintu dengan tangan kiri masih menggenggam hendel. Napasnya tampak tersengal-sengal dan raut mukanya terlihat panik.
"Kamu gak papa, kan, Bell?" tanyanya setelah dia duduk di pinggir ranjang. Sepertinya dia sangat khawatir dengan keadaanku. Sebagaimana biasanya dia memperlakukanku, adik sepupunya.
"Enggak papa, kok, Mas. Hanya lecet dikit." Aku menunjukkan lengan yang sedikit memar. Kukira karena bergesekan dengan aspal saat terserempet motor di depan sekolahan tadi.
Mas Levi meraih tanganku, lalu meniup sikuku yang sudah berbalut kain kasa dengan lembut. Sungguh, desiran napasnya menembus hingga ke relung hati. Hangat.
"Maaf, ya. Mas gak bisa langsung jemput. Kerjaannya gak bisa ditinggalin," ucap Mas Levi dengan nada menyesal. Telapak tangannya mengelus lenganku dengan penuh kasih. Ya, begitulah yang kurasakan.
Aku tidak bisa berkata apa-apa. Tiba-tiba, udara di sekeliling terasa begitu sejuk. Aku sangat merasa nyaman tinggal bersama keluarga Mas Levi. Paman dan Tante sangat penyanyang. Ketulusan cinta dan kasih sayang mereka membuatku terlupa akan musibah kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orang tuaku dua tahun yang lalu.
"Ya ya. Udah ah. Mas istirahat aja sana. Aku mau bobok," kataku manja.
"Beneran, ya. Ya udah. Selamat tidur, Dek Bella." Mas Levi beranjak setelah membenarkan selimutku dan memastikan kalau aku sudah baik-baik saja.
Aku tidak bisa tidur. Kuraih saja ponsel di nakas, lalu membuka galeri yang menyimpan beberapa screenshot WA story Mas Levi. Entah sejak kapan aku suka mengoleksi kata-kata mutiaranya. Sangat indah dan menggetarkan jiwa. Bahkan, setiap kali membaca ulang, aku senyum-senyum sendiri. Ah, Apakah kata-kata itu ditujukan padaku? Apa dia sedang jatuh cinta kepadaku?
Kubuka aplikasi WA. Berharap Mas Levi sudah mengirim status yang belakangan ini menjadi candu.
'Mas Leviku', nama kontak teratas di kolom status. Segera kutekan karena tidak sabar ingin membacanya.
'Semoga cepat sembuh, Sayang.'
Mulutku seketika melongo. Apa? Dia bilang 'sayang'? Rasanya tidak percaya. Ternyata dugaanku selama ini benar. Kalau Mas Levi ....
Ah, rasanya seperti ada dua sayap yang sedang mengepak di punggungku. Membawaku terbang melayang-layang sampai ke angkasa.
***
Dua minggu kemudian. Ini adalah hari yang kutunggu-tunggu, yaitu hari ulang tahunku.
Mas Levi akhir-akhir ini memang sibuk. Dia sering bilang lembur karena hendak mempersiapkan sesuatu. Aku tahu, dia pasti sedang mempersiapkan pesta kejutan untukku. Ah, betapa senangnya diri ini. Begitu spesialkah aku di hatinya? Sampai dia rela lembur hingga larut malam demi memberiku surprise.
"Bella, Bell ...." Suara ketukan pintu yang beriring panggilan menyebut namaku menyadarkan lamunan.
Aku bergegas membuka pintu. "Da pa, Mas?" tanyaku setelah melihat Mas Levi tersenyum riang.
Dia mendorongku masuk kemudian mendudukkanku di pinggir ranjang, sedangkan dia berlutut sembari menyodorkan sebuah kotak beludru.
"Maukah kamu menikah denganku?"
Seperti ada kilat menyambar jantungku. Berdetak tak karuan hingga menggetarkan seluruh tubuh. Kado ini lebih dahsyat dari perkiraanku.
Tanganku lunglai. Tak kuasa hendak meraih kotak itu. Rasanya bagaikan mimpi.
"Bentar-bentar." Mas Levi meletakkan kotak itu di ranjang setelah mendengar ponselnya berdering. Kemudian keluar kamar sambil menjawab panggilan dan suaranya tak terdengar lagi.
Aku sangat penasaran. Segera kubuka kotak kecil berlapis kain berbulu lembut itu dengan tergesa.
Waw! Alangkah indahnya. Cincin emas berhias manik permata ungu. Warnanya pun cocok dengan kesukaanku. Sungguh, kejutan yang sangat-sangat membuatku terkejut. Bahkan, hampir mati gara-gara jantung mau meloncat.
"Eh, Bell. Maaf, ya. Ada telpon tadi." Mas Levi tiba-tiba sudah di hadapan saat aku hendak mencoba memakai cincinnya.
Duh, malu ketahuan. Seharusnya kan, dia yang masangin ke jari manisku. Ah, sial.
"Eh, Mas. Gak papa, kok." Aku segera meletakkannya kembali ke dalam kotak.
"Emm ... bagus gak modelnya?"
"Bagus. Baguus banget, Mas," jawabku sungguh-sungguh sambil memejamkan mata.
"Ya udah. Makasih, ya. Kalo kamu bilang bagus, pasti Faradisa suka. Mas mau ngelamar dia sekarang. Tadi ditelpon kalo dia sudah keluar dari rumah sakit. Doain mas, ya. Sudah lama mas mempersiapkan ini semua. Daa ...." Mas Levi pergi dengan senyum merekah, meninggalkan hati ini yang seketika patah.
Aku bergeming beberapa saat. Meraba hati semoga dia masih berada di tempat.
Apakah ada yang lebih sakit dari ini? Baru saja aku merasa benar-benar memiliki cinta darinya. Namun, satu nama itu membuatku seketika kehilangan dirinya.
Mau menangis pun rasanya malu.
Ah, kalau dia bukan milikku, kenapa aku harus merasa kehilangan?
Tamat.