Contents
CINTA PERTAMA AISHA
CINTA PERTAMA AISHA
Cinta Pertama Aisha
By: Nazila
"Mbak, boleh, ya? Kali ini saja. Pliss." Adiba memohon seraya menarik-narik mukenaku.
"Boleh, sih, kalau mau bolos jama'ah Subuh. Ta ... pi, Adek negosiasi dulu sama malaikat Malik!" jawabku dengan menekan kata terakhir.
"Ah, Embak." Adiba dengan kasar melepas cengkramannya, kemudian berjalan gontai menuju kamar mandi dengan bibir monyong. Lucu.
Begitulah kegiatanku setiap hari sebelum fajar. Membangunkan putri bungsu majikan Ibu, menyiapkan semua keperluan sekolah, mengantar, dan menjemput.
Seperti biasa, setelah mengantar Adiba sampai gerbang madrasah ibtidaiyyah, aku membantu Ibu menyetrika.
"Sha! Gosong nanti bajuku!" Seruan Mas Ian membuatku terkejut. Sejak pembatalan pernikahan itu, aku memang sering melamun dan tanpa sadar menangis.
"Maaf, Mas," jawabku sedikit ketakutan sembari menundukkan kepala di hadapannya.
"Begitu aja nangis," katanya ketus.
Aku meliriknya sekilas, lalu kembali menggosok.
Beberapa detik kemudian, ekor mata kananku menangkap gerakan sepasang kaki yang kian mendekat.
"Kamu menangis karena kejadian kemarin, ya?" Suara Mas Ian kembali membuat dadaku berdebar. Kakak Adiba yang kukenal cuek dan tak banyak bicara, sekalinya mengeluarkan kalimat, menjengkelkan sekali.
"Eng-gak."
Aku mempercepat gerakan, menaruh setrika, dan melipat pakaian yang masih hangat dengan tangan gemetar.
"Sudahlah, dia bukan jodohmu. Lagian, mana ada pembatalan pernikahan hanya gara-gara urutan anak. Dia anak ketiga dan kamu anak pertama. Era digital masih percaya mitos." Perkataan lelaki galak yang lumayan manis itu terdengar lantang karena jarak tempat dia duduk dan tempatku berdiri sangat dekat.
Pekerjaanku sudah rampung, tak enak kalau langsung meninggalkannya. Kuberanikan menatapnya. Si mamas cuek stadium tujuh.
"Emm, Mas. Masih ada lagi yang mau diomongin? Saya mau memasukkan baju-baju Dek Abida ke lemari."
Dia hanya menjawab dengan gelengan kepala.
***
Lemari Adiba sudah rapi. Kini, saatnya aku membantu Ibu mempersiapkan makan siang. Namun, dapur sepi, mungkin Ibu masih belanja ke pasar.
Jarum jam menunjuk ke angka sepuluh. Sambil menunggu Ibu, kurebahkan tubuh di kasur kamar yang bersebelahan dengan kamar Adiba. Tiga hari sering menangis membuat kepalaku sedikit pusing. Sesekali kubuka ponsel, tak ada notifikasi panggilan tak terjawab ataupun pesan What'sapp dari Mas Ilham. Aku sangat kecewa.
Pasca pembantalan pernikahan, Mas Ilham tidak lagi menyapaku meskipun hanya sebaris kata seperti biasa, "Selamat pagi, Sayang." atau pertanyaan, "Sudah sarapan apa belum?"
Ah, mungkinkah aku sedang rindu?
Menjalin hubungan serius empat bulan dengannya, bahkan janji akan menikahi, membuat hariku kian berwarna. Namun, gara-gara mitos itu, hariku kembali suram.
Karena rasa sakit hati, aku sempat berujar kecewa kepada Tuhan. Beruntung,
Ibu segera mengingatkan bahwa Allah yang berkuasa atas segalanya. Allah mengetahui segala sesuatu yang saat ini terjadi, kemarin, dan yang akan datang.
Perkataan Ibu membuatku sadar bahwa apa pun yang kualami ini semua atas kehendak-Nya dan tentunya yang terbaik untukku. Sebagai hamba, aku mungkin terlalu berharap kepada Mas Ilham tanpa berpasrah kepada keputusan Tuhan. Akhirnya membuat diriku sendiri merasa kecewa.
Suara azan Zuhur mengagetkanku. Ternyata aku tertidur lumayan lama. Buru-buru beranjak dari ranjang dan membuka pintu. Aroma leza masakan Ibu menyeruak menggoda hidung.
"Hai, Ukhty. Hal anti tabki?"
Ah, sebal. Setiap hari Sabtu, makhluk cuek lulusan S1 jurusan PBA ini selalu bergentayangan. Tapi tumben sering menyapa. Baik, kuputuskan untuk menurunkan level cueknya menjadi stadium enam.
"Laa," jawabku singkat sembari memalingkan pandangan.
Sebenarnya sayang, sih, kalau diabaikan. Baju koko putih dengan kopyah yang bertengger di kepalanya menambah aura ketampanan si mamas cuek. Duh! Aku mengucek mataku kasar.
"Kenapa? Malu ketahuan nangis lagi? Dari dulu sampai sekarang masih cengeng."
Dia berlalu, sedangkan bayangan kibaran sarung hijaunya kubawa sampai ke kamar mandi.
***
Selesai menunaikan salat Zuhur, aku melipat mukena dan bersiap menjemput Adiba. Sebelum aku berangkat, Ibu berpesan akan pulang ke rumah lebih awal karena penyakit Bapak kambuh.
Ah, mendengar Ibu menyebut Bapak, aku teringat masa tiga tahun lalu, tepatnya saat aku baru saja menerima ijazah kelulusan SMA. Waktu itu, Bapak memaksaku untuk menerima pinangan juragan kaya. Sungguh hari yang sila dan sangat menakutkan. Tanpa pikir panjang, aku kabur mencari Ibu yang sedang bekerja di rumah Tuan, ayah Mas Ian.
Mas Ian yang melihatku sesenggukan di pelukan Ibu merasa kasian, sehingga dia menawarkan pekerjaan sebagai pengasuh adiknya dan tinggal di rumah megah mereka. Sedangkan Ibu, dia harus pulang-pergi karena Bapak sendirian di rumah.
***
Hari Minggu waktu santai. Adiba lebih sering bermain dengan ayahnya karena toko furniture libur. Sedangkan si mamas cuek, selain mengajar bahasa Arab di hari Senin sampai Rabu di Madrasah Aliyah, dia juha membantu Tuan di toko menggantikan karyawan yang libur setiap Kamis dan Jum'at. Mas Ian juga rutin menggelar kegiatan bakti sosial di hari Minggu.
Taman di belakang rumah adalah tempat favoritku. Aku duduk di ayunan sulaman bambu. Wangi bunga warna-warni menyejukkan hatiku yang baru patah. Khimarku berkibar mengikuti ayunan dan hembusan angin sore.
Grek.
Ayunan tiba-tiba terhenti. Aku menoleh.
"Eh, Mas," kataku pelan sambil melongo.
"Aku boleh duduk di sini?" tanyanya dengan memberi isyarat mata ke tempat kosong di sebelahku.
"Iya, Mas. Silakan." Aku menggeser badan ke kanan sambil menyibak gamis yang terurai bebas di papan ayunan.
"Kamu sedang ngelamunin Ilham?" tanyanya tanpa basa-basi.
"Eng-ngak, kok. Lagi santai saja sambil menunggu maghrib," jawabku pada lelaki yang tampak baru mandi. Terlihat segar dengan rambut basah dan wangi bau ekstrak sabun mandi menguar dari tubuh tegapnya.
"Kalau boleh tahu, kamu kenal Ilham di mana?"
Aku menghela napas dalam. Bimbang. Mungkin dengan bercerita, kegundahan hatiku bisa berkurang. Meskipun cuek dan terlihat galak, Mas Ian anak yang baik.
Teringat dulu. Karena sekolahku melewati rumah majikan Ibu, sebelum berangkat sekolah selalu kusempatkan membantunya mengangkat baju basah ke jemuran. Hingga suatu hari, tak sengaja kakiku terpeleset. Hampir semua pakaian basah tumpah. Atasan putihku terciprat lumpur, sedangkan rok merahku selamat karena kedua tangan dan lutut kananku berhasil menumpu badan. Dia yang sudah rapi mengenakan seragam SMP dan wangi membantuku berdiri. Aku menunduk ketakutan dan menangis.
"Jangan nangis, kamu ganti baju seragam SD-ku dulu. Roknya cuma kotor sedikit, gak papa. Jangan takut, nanti aku yang bilang ke Ibu, kalau aku yang menjatuhkan embernya." Kalimat itu berhasil menenangkanku.
Sampai sekarang, aku masih merasakan hal yang sama saat berdekatan dengannya. Gugup, grogi, gemetar, atau apalah namanya.
"Hai, Cengeng. Kamu ngelamun?" Tangannya mengibas di depan wajahku.
"Eh, eng-nggak, Mas. Em, Mas tadi manggil saya apa? Cengeng?"
"Kamu memang cengeng kan? Hampir tiap pagi nangis di pelukan Ibu," jelasnya sambil terkekeh. Ah, bukan, tapi bernada mengejek.
Kenapa si mamas cuek mengingatnya, padahal kan selama ini, mana pernah dia memperhatikanku.
"Em ... i-itu karena Bapak tak memberiku uang saku. Aku malah dimarahi."
"Pantesan kamu jadi anak cengeng dan penakut, Bapak selalu kasar padamu?"
"He-em. Bahkan, Bapak pernah memaksaku menikah dengan juragan."
"Iya, aku sudah tahu. Tapi, bapakmu kok mengizinkan kamu dekat dengan Ilham?"
"Iya, semenjak bapak sering sakit-sakitan, mungkin beliau sudah bertaubat. Tidak kasar lagi dengan anak istrinya."
"Ya, begitulah cara Allah mengingatkan hamba-Nya. Kalau yang tidak peka, pasti terus terjerumus."
Mendengar kata Mas Ian, aku semakin sadar, mungkin pembatalan pernikahanku dengan mas Ilham adalah cara Allah agar aku bisa memperbaiki diri menjadi pribadi yang lebih baik, pribadi yang pantas mendapat jodoh orang yang baik.
"Iya, Mas." Aku mengangguk.
"Oh, ya. Jadi, di mana kamu kenal Ilham?"
"Saya kenal Mas Ilham enam bulan yang lalu saat dia KKN di MI Dek Adiba. Dia mengajakku kenalan, kemudian kami sering chatting-an dan telponan. Saat saya merasa senang membaca kalimatnya di What'sapp, saya takut setan telah memperdaya kami. Jadi saya memutuskan untuk mulai menjauh. Sekitar satu bulan kemudian, dia datang ke rumah menemui Bapak dan Ibu untuk meminta izin meminangku. Katanya, sih, setelah dia lulus sarjana, empat bulanan lagi. Saya sangat bahagia karena keseriusannya. Tapi, setelah 4 bulan menunggu, ternyata dia membatalkan secara sepihak karena mitos urutan anak, entah dari mana dia percaya mitos itu. Hatiku sakit."
"Mewek lagi. Cup-cup. Sudah, semua telah terjadi." Mas Ian menepuk-nepuk pundakku.
Aku hanya meliriknya sekilas.
"Sebenarnya, aku dan Ilham udah sahabatan sejak SMA. Aku sangat kenal baik dia. Tapi, rasanya tak adil kalau aku menilai dia sesuai seleraku. Sekali lagi, ini menurut pandanganku saja, kamu jangan marah, ya?"
"Kenapa marah? Saya tidak ada hubungan lagi dengannya, kok."
"Ya, kan, biasanya, kalau orang sudah terlanjur cinta, tak ada setitik pun cela dari orang yang dicintainya, dan tak terima kalau yang dicintai dicela," terang Mas Ian sembari menarik tangannya dari pundakku.
Aku mengangguk.
"Dia anak yang suka berambisi. Tapi sayang, cara dia salah. Pernah saat ujian akhir sekolah, kertas-kertas ujianku ditukar dengan miliknya, mungkin karena selama ini dia merasa iri dengan prestasiku. Kedekatan kami selama tiga tahun di SMA, justru jadi persaingan baginya. Aku hampir nggak lulus, dan mengikuti remedi. Baru setelah itu, ketahuan kalau teks ujianku ditukar ma dia."
Aku hanya melongo mendengar ungkapan mas cuek yang setelah ini akan kuturunkan level cueknya menjadi stadium tiga.
"Terus?"
"Saat aku tahu dari Adiba perihal kedekatanmu dengannya, aku hubungin dia melalui media sosialnya. Lalu, aku ceritakan kisah mamaku."
"Hah? Apa hubungannya?"
"Jadi dulu, Ayah pernah cerita tentang perjuangannya mempertahankan cinta mereka karena mitos adanya larangan menikah dengan warga desa tetangga. Katanya, pernikahannya tidak akan langgeng dan bisa celaka. Bahkan, ada yang bilang, salah satunya akan meninggal. Ayah dan Mama tidak gentar sedikit pun menghadapi gunjingan saudara dan tetangga. Mereka tetap melanjutkan hidupnya dengan bahagia."
Mas Ian berhenti sejenak.
"Sampai suatu hari, Mama terserang penyakit dan divonis tidak boleh hamil lagi karena akan membahayakan nyawanya. Mendengar berita ini, saudara dan tetangga bersorak gembira membenarkan mitos yang dilanggar Ayah dan Mama. Tapi sekali lagi, Ayah dan Mama nggak percaya. Semua yang terjadi adalah kuasa Allah, dan mereka yakin, bahwa bersamaan adanya kesulitan, Allah selalu memberi kemudahan. Dengan tekad kuat, Mama membuktikan bahwa Mama akan sehat dan bisa hamil, kemudian melahirkan anak dengan selamat. Makanya, usiaku terpaut jauh dengan Adiba, yah, sekitar 13 tahunanlah. Semua itu karena kondisi kesehatan Mama. Qodarullah, Mama sehat seperti sedia kala, dan tak lama beliau hamil. Tentu hal ini membuat Ayah dan Mama sangat bahagia, begitu pula aku. Tapi sayang, setelah melahirkan, Mama mengeluarkan banyak darah, sehingga nyawa Mama tidak tertolong."
Kali ini aku mendengar suara Mas Ian sedikit serak.
"Sabar, ya, Mas." Aku tak tahu harus berucap apa. Ternyata ada yang lebih sulit dari apa yang aku hadapi.
Mas Ian justru terkekeh.
"Karena cerita itu, Ilham ketakutan sampai besoknya dia datang ke rumah mencari kamu dan membatalkan rencana pernikahan kalian. Padahal, aku cuma nambahin dikit, selain mitos dilarang menikah dengan gadis desa tetangga, juga ada mitos dilarang menikah antara anak nomor satu dengan anak nomor tiga. Kalau orang Jawa nyebutnya 'Jilu' siji lan telu." Mas Ian kembali terkekeh.
"Tapi, Mas. Kenapa Mas nyeritain ke Mas Ilham kalau Mas sendiri nggak percaya mitos?"
"Emm ... ka re na ...." Mimik muka Mas Ian berubah kaku.
"Mbak Aisha, Mas Ian, ayo! Jamaah mahgrib dulu!" Adiba berteriak memanggil kami. Dia sudah rapi memakai mukena digandeng Tuan.
"Iya, Dek!" jawab kami serentak.
Mas Ian melihat jam tangannya.
"Nggak terasa, ya, kita sudah dua jam ngobrol. Siap-siap dulu, yuk," ajaknya seperti melupakan pertanyaanku tadi.
Masjid waqaf peninggalan Mbah Kakung Mas Ian dibangun kokoh di samping belakang rumah, sehingga kami terbiasa salat fardhu dengan berjamaah. Entah saat di rumah atau sedang bepergian.
"Iya, Mas. Nanti dilanjut lagi, ya?"
"Nggak janji."
"Loh, kok!"
"Pikir sendiri aja. Apa hikmah di balik semua yang aku ceritakan."
Ah, menyebalkan.
***
Setelah makan malam seusai salat Isya', aku menemani Adiba mengerjakan tugas sekolah, kemudian lanjut membacakan dongeng sampai dia terlelap. Sungguh kasian melihat wajahnya saat tidur. Sejak bayi tak pernah tersentuh belaian sang mama. Namun, Allah telah memberinya seorang ayah yang super baik dan kakak yang tampan. Eh, kakak yang berhati mulia. Karena Allah Maha Adil.
Sudah jam sembilan malam. Anggota tubuhku meminta haknya untuk diistirahatkan. Namun, pikiranku masih berputar-putar mencari hikmah yang dimaksud si mamas cuek.
Ting. Ada pesan WA dari nomor tak dikenal. Apa mungkin Mas Ilham minta balikan? Aku segera membacanya.
[Sudah. Jangan terlalu berpikir tentang hikmah. Sekarang kamu tahu kan bagaimana perangai Ilham?]
Mengapa dadaku berdebar membaca pesan darinya.
[Mas tahu dari mana nomor WA-ku?]
[Nggak penting]
Beberapa menit kemudian, Mas Ian mengirim sebuah foto. Betapa malunya aku. Itu seperti buku diary-ku sewaktu SD. Di bawah foto itu dia tulis caption:
[Kembalilah pada cinta pertamamu. Seperti yang tertulis di buku kecil yang kutemukan di saku seragam putihmu yang tertinggal dulu.]
Aku sangat malu mau membalas. Kubaca lagi tulisan di diary yang difoto Mas Ian.
"Mas Ian, kamu makannya apa, sih? Kok bisa ganteng seperti itu?
Aku suka, tapi kamu cuek."
Dan tulisan paling akhir lebih membuat aku malu lagi.
"Aisha Alia spasi gambar hati spasi Aulian Bashira"
Ya Allah, hendak kutaruh mana muka imutku ini?
[Aku tidak cuek. Hanya memperhatikanmu dalam diam. Percayalah, perasaanku lebih besar darimu.]
Jantungku berdetak hebat. Dari ujung kaki hingga kepala terasa panas terkena letupan kembang api di hatiku.
Aku tidak menyalahkan Mas Ian karena ceritanya pada Mas Ilham membuat aku batal nikah. Namun, aku yakin, inilah cara Tuhan mendekatkan jodoh yang pantas untukku. Dan ... ini fakta bukan mitos.
Tamat.