Try new experience
with our app

INSTALL

Bukalah Hatimu Untukku, Ning! 

Bukalah Hatimu Untukku, Ning!

#Event_Islami_KeluargaKCCI


 

Judul: Bukalah Hatimu Untukku, Ning!

Penulis: Nazila

Jumlah Kata: 3163


 

Aroma khas tanah basah pascahujan sore tadi mengetuk ingatanku tentangnya.


 

Desember tahun lalu, irama rintik hujan beradu dengan detak jantung saat dia menggengam gagang payung demi melindungi tubuhku. Berjalan berdampingan menuju parkiran mobil membuatku gugup karena tak pernah berjarak sedekat ini dengan laki-laki lain.


 

Setelah membukakan pintu dan mempersilakanku duduk, dia memberikan seulas senyum mengiringi ucapan terima kasih.


 

"Om, Tante, Shofi! Terima kasih sudah

hadir di acara tasyakuran grand opening butik Mama. Hati-hati." Dia menatap satu per satu wajah kami kemudian membungkuk dengan sopan.


 

Perlahan parasnya memburam seiring tertutupnya kaca mobil yang basah oleh bulir hujan dan kami pun berlalu.


 

Sejak malam itu, selalu ada perasaan senang saat mendengarkan Khanza, sahabatku, bercerita tentang kakaknya; lelaki yang pernah sepayung denganku.


 

Persahabatan selama hampir tiga tahun nyaris tidak ada satu pun rahasia di antara kami. Namun, untuk masalah perasaan, aku malu mengungkapkan kepada Khanza. Aku selalu berpura-pura cuek saat dia mulai membahas kakaknya, meskipun sebenarnya sedang ada pesta kembang api di dada. Kutahan sekuat tenaga rona bahagia di wajah agar Khanza tak menaruh curiga.


 

Dengan diam-diam, kucari akun Facebook yang sekira sesuai dengan nama kakak Khanza: Reihan. Dari informasi yang kuperoleh, Kak Reihan adalah pecinta buku dan suka menulis. Dia juga masuk ke beberapa grup penulis FB.


 

Satu minggu masa pencarian membuahkan hasil. Kutemukan sebuah akun yang bernama "ErHa". Aku yakin, nama akun ini adalah singkatan dari RH alias Reihan.


 

Aku mulai mengikutinya. Benar sekali, aksara yang dirangkainya begitu indah. Setiap kalimatnya semakin membuatku kagum dan menjadi candu, bahkan satu hari tanpa membaca statusnya membuatku rindu.


 

Namun sayang, di beberapa album FB tak kutemukan satu pun foto dirinya.


 

"Shofiya, Shof!" Suara Umi yang beriringan dengan ketukan pintu mengagetkanku.


 

"Iya, Um." Aku bergegas membuka pintu kamar.


 

"Umi dan Bude Maysaroh mau jemput Ayah, kamu ikut nggak?"


 

"Shofi di rumah saja, Um."


 

"Ya sudah. Jangan tidur lewat jam sepuluh, ya."


 

"Baik, Um." Kucium punggung tangan Umi yang selalu wangi bukhur, aroma parfum kesukaannya.


 

Aku tak pernah membantah sedikit pun perintah Umi karena sejak kecil selalu diajarkan kedisiplinan dan ketaatan.


 

Umi juga sering melarangku pergi sendiri, bahkan nonton TV dan pegang HP pun dibatasi. Umi mengatur semua kegiatanku sehari-sehari dari bangun tidur sampai tidur lagi.


 

Meskipun sedang sendirian di rumah, aku tetap tidak berani melanggar perintah. Rutinitas baik yang dicontohkan Umi, menjadi kebiasaan baik di keseharianku.


 

Bosan mendekam di kamar, aku keluar menuju ruang tengah. Terlihat jam sudah menunjuk angka sembilan, batas akhir nonton tivi di malam hari.


 

Baik, kuputar balik melangkah ke tempat paling favorit: sebuah ruangan yang tidak terlalu luas. Di sana berdiri tegak satu etalase dan beberapa rak kecil dari kayu. Di dalamnya berjajar buku-buku yang didominasi kitab-kitab salaf milik Umi. Aku menyebutnya perpustakaan mini.


 

Dari sekian banyak buku, aku tertarik membaca kitab Risalatul Mahidl. Walaupun setiap Sabtu diajarkan Umi di surau sebagai pelajaran tambahan ngaji sore, aku tak pernah bosan mempelajari karena hukumnya fardhu ain bagi perempuan.


 

"Sayang, kok tidur di shofa?" Suara lembut itu tak asing di telingaku.


 

"Alhamdulillah. Ayah, sudah pulang!" seruku setelah membuka mata lalu memeluk erat raganya. Ternyata sudah jam dua dini hari.


 

Ayah sering pergi ke luar kota selama dua sampai tiga bulan karena kiprahnya di dunia bisnis dan hanya libur dua sampai tiga minggu saja.


 

Ayah pernah berkata kepada Umi, "Aku akan berjuang dengan hartaku dan kamu berjuang dengan ilmumu."


 

Kalimat itu menunjukkan bahwa Ayah bekerja semata-mata karena berjuang di jalan Allah dengan apa yang beliau punya.


 

Hidup di lingkungan pesantren sejak bayi, bukan berarti membuat Ayah menjadi ahli menguasai kitab-kitab kuning. Sebab itu, Ayah memilih untuk berbisnis dan sebagian besar hasilnya ditasarrufkan untuk kelestarian pesantren peninggalan Mbah Kakung yang sekarang diasuh oleh Pakde Ahmad, kakak Ayah.


 

Selain itu, Ayah juga merealisasikan dengan membangun surau di samping belakang rumah. Bukan hanya untuk beribadah lima waktu, surau itu juga sebagai sarana mengaji dan mengkaji kitab salaf yang diajar langsung oleh Umi dan dibantu Bude Maysaroh: kakak kandung Umi.


 

"Sudah sudah meluknya." Ayah melepas dekapan kemudian menyuruhku tidur ke kamar.


 

***


 

Suasana taman di halaman rumah mewakili suasana hati. Indahnya kembang warna-warni bermekaran menyambut mentari. Kupu-kupu pun bersorak gembira hinggap ke sana ke mari dengan kaki mungil menempel di pucuk bunga membawa tepung sari.


 

Betapa cerahnya Minggu pagi bulan Agustus ini, secerah warna titik hijau muda di kolom pesan FB "ErHa". Aku menggeser layar ponsel perlahan dan menikmati setiap rangkaian kata-katanya.


 

Jiwa remajaku bergelora. Aku yang selalu merasa terkurung, jenuh dengan kegiatan sehari-hari yang monoton, sedikit bisa bernapas bebas. Berselancar di dunia maya menjadi pelepas penat. Ah, semua karena begitu ketatnya peraturan Umi.


 

Mataku mendelik saat baru saja ErHa memposting status baru.


 

"Adakah yang lebih kau harapkan dari doa ibu?"


 

Delapan bulan mengikuti, aku tidak berani memberi like apalagi berkomentar. Hatiku tertampar online. Baru saja mengeluh atas semua perlakuan Umi dan ternyata doa seorang ibu memang teramat keramat.


 

"Jangan sampai aku menyakiti hati Umi gara-gara bisikan setan sehingga menjadi penyebab murka. Karena doa seorang ibu mustajabah." Komentar kukirim setelah mengumpulkan segala keberanian.


 

Lama sekali tidak ada balasan. Mungkin komenku sudah tenggelam dengan puluhan komentar yang lain.


 

Aplikasi berlambang huruf F kumatikan, lalu menarik pantat dari lantai yang sudah satu jam mengalasi. Berdiri merenggangkan otot-otot persendian. Kubentangkan kedua tangan dan menariknya ke belakang.


 

"Anak Ayah lagi ngapain?" Ayah menangkap kedua lenganku.


 

"Eh, Ayah. Anu, lagi liatin kupu-kupu."


 

Ayah memandangi area halaman.


 

"Mana kupu-kupunya?"


 

Aku hanya nyengir kuda. Sepertinya ketahuan kalau sedang berbohong.


 

"Lagi main HP, Yah!" Umi menyahut dari belakang sambil meletakkan secangkir kopi di meja teras.


 

"Apa, sih, Um. Cuma baca chat dari Khanza. Ini!" Kusodorkan layar HP menghadap ke arah Umi dan menunjukkan beberapa chat dari Khanza yang belum sempat terbalas karena asik berselencar di akun ErHa.


 

Umi hanya tersenyum.


 

"Kan hari Minggu, Um. Shofi boleh main HP sampai siang kan?" ucapku dengan nada memelas.


 

Ayah terkekeh sembari merangkul erat pundakku.


 

Di kamar, kubalas chat dari Khanza. Dalam bab ini, dia selalu menganggapku sebagai kitab hidup: bertanya panjang lebar tak mau murojaah sendiri.


 

06.15 [Pagi, Shofi.]


 

06.20 [Gue mau tanya.]


 

06.22 [Shofi.]


 

06.25 [Lama. Ke mana?]


 

06.40 [Langsung aja dah! Gue bulan kemarin haidl tanggal 15 Dzulqo'dah sampai 22 Dzulqo'dah (7 hari).

Baru suci 10 hari, tadi setelah salat Subuh keluar darah lagi. Gimana hukumnya ini? Plis jawab cepat!]


 

07.05 [Pagi,] balasku setelah membaca semua chat darinya.


 

07.06 [Maaf. Baru buka chat kamu.] Kutambah emot ketawa dan tangan menelungkup.


 

Tak lama, Khanza mengetik balasan.


 

07.07 [Ke mana aja sih! Buruan jawab dong!]


 

07.08 [Iya iya. Jika masa darah pertama ditambah masa suci totalnya ada 15 hari atau lebih, maka, bisa jadi hukum darah kedua sebagian istihadoh sebagian haidl.

*Darah pertama keluar 7 hari

*Masa suci 10 hari

Total 17 hari

Karena minimal masa suci pemisah antara haidl dengan haidl adalah 15 hari 15 malam, jadi sekarang ini tanggal 3 Dzulhijjah, kamu istihadhoh maksimal sampai 5 hari ke depan (15 hari -10 hari).]


 

07.15 [Oke. Paham. Terus haidlnya lagi kapan?]


 

07.16 [Kemarin darah pertama berhenti jam berapa?]


 

07.17 [Di catatanku tertulis jam 14.30.]


 

07.18 [Oke. Berarti kalau darah masih keluar, yang dihukumi haidl mulai jam 14.30 tanggal 8 Dzulhijjah.]


 

07.20 [Oke. Makaciiih.]


 

07.21 [Sama-sama.]


 

Selang beberapa menit, ada tanda titik di tulisan status. Kusentuh dengan cepat, terlihat story paling atas. Kupandangi foto-fotonya. Menyenangkan sekali. Ada rasa iri menyeruak di dada. Seketika kuingat kembali larangan Umi: tidak boleh keluar rumah sendiri atau hanya boleh jalan-jalan jika sudah setoran hafalan Quran ke Umi minimal satu halaman.


 

Kuulangi lagi, melihat dari foto pertama sampai terakhir. Latar belakang langit biru dan awan putih membentang indah. Dengan mengenakan celana jeans, kaus putih lengan panjang dan pasmina abu-abu muda, Khanza bermain bersama deburan ombak. Seru sekali. Aku juga ingin memakai celana dan kaus seperti itu, tapi lagi-lagi Umi pasti melarangku.


 

Ingin sekali membalas status Khanza menanyakan dia liburan di mana dan bersama siapa, tapi aku takut kalau jawabannya liburan bersama Kak Rei. Aku takut kalau setan menggoda sehingga membuatku berharap bisa melihat fotonya di story.


 

Eh, sepertinya ada yang janggal. Bukankah Khanza sedang istihadhoh? Kok mainan air.


 

[Wah, liburan ke mana nih? Istihadhoh kok mainan air, gak takut tembus.] Aduh, aku kepo banget sih.


 

[Hahaha. Itu foto-foto hari Minggu kemarin waktu liburan ke pantai Gemah bersama Kak Reihan. Sekarang lagi di rumah aja.]


 

[Hehehe. Oh, ya, Za.]


 

Hatiku berdebar ketika membaca kata "Kak Reihan". Debarannya semakin keras lagi saat ErHa membalas komentarku tadi meskipun hanya satu kata "aamiin".


 

Bermula dari itulah kami saling lempar komentar dan hampir setiap hari berbalas inbox. Aku merasa nyaman sampai-sampai bercerita tentang kehidupanku yang penuh aturan dan larangan. ErHa menasihatiku dengan baik dan bahasa yang tidak menyinggung perasaan.


 

***


 

November tahun ini, artinya sudah tiga bulan aku saling bertukar cerita. Tidak ada obrolan yang serius, hanya sekedar berkomentar di status masing-masing atau berbicara sekedarnya melalui inbox. Dan selama itu pula aku berjaya luput dari kecurigaan Khanza dan lolos dari perhatian Umi.


 

Namun, seiring berjalannya waktu, aku merasa sikap Umi berubah. Beliau tidak terlalu menekan. Apa mungkin karena pesan Ayah kemarin sebelum berangkat ke luar kota?


 

Saat itu aku hendak berangkat ke sekolah. Tak sengaja kudengar percakapan Ayah dan Umi di meja makan.


 

"Umi, sebaiknya jangan terlalu mengekang Shofi. Cara mendidik Umi selama ini sudah benar, menanamkan nilai disiplin dan tanggung jawab kepada Shofi, tapi ... sekarang dia sudah hampir 17 tahun, anak seusianya penuh jiwa pemberontak. Ayah tidak bisa membersamainya selalu, jadi Umi harus mendekatinya, posisikan diri Umi sebagai teman sebagaimana salah satu prinsip mendidik anak ala Rosulullah."


 

Kulihat Umi menyimak dengan seksama, dan aku terus menguping di balik bifet pembatas antara ruang makan dan ruang tengah.


 

"Karena anak seusia Shofi butuh teman untuk mencurahkan semua keluh kesahnya, jangan sampai ada orang ketiga atau orang asing sebagai tempat rujukan dan menjadi pendengar setianya. Jadilah teman terbaiknya untuk menyelesaikan setiap masalah yang dia hadapi. Jangan terus menerus menekan dia dengan larangan ini-itu. Ayah mengerti, Umi masih takut dengan kejadian yang menimpa Zakiya, kan?"


 

Zakiya. Aku pernah mendengar nama itu, tapi kapan?


 

Tin ... tin ....


 

Suara klakson tanda panggilan dari Bude Maysaroh membuatku terpaksa berhenti menguping. Aku bergegas menghampiri mobil yang sudah terparkir di halaman.


 

Ke mana pun pergi, aku selalu diantar dan dijemput Bude Maysaroh, kakak perempuan Umi yang telah menjanda selama empat belas tahun. Meskipun sudah kepala lima, keberanian menyetirnya tidak kalah dengan yang lebih muda.


 

Sepulang sekolah, kudapati Ayah masih di rumah karena keberangkatan beliau ke luar kota diundur besok pagi. Darinya aku memperoleh informasi tentang Zakiya.


 

Singkat cerita dari Ayah, Zakiya adalah putri Bude Maysaroh. Belum sempat mengenal dia dan bapaknya karena mereka meninggal saat usiaku masih sekitar 30 bulan. Ternyata Umi menyimpan trauma dahsyat atas kematian keponakannya yang menghilangkan nyawa sendiri akibat hamil di luar nikah.


 

Umi yang mendambakan seorang anak selama lebih sepuluh tahun berselimut rasa takut yang mahabesar jikalau putri semata wayangnya tergelincir dalam pergaulan bebas.


 

***


 

Makin hari, perlakuan Umi semakin hangat kepadaku. Memberiku ruang menyampaikan keinginan hati. Semua kegiatan yang semula terasa berat penuh tekanan, aku bisa menunaikan dengan ringan. Seringan anganku yang melayang di balik sosok akun ErHa. Namun, belakangan ini dia jarang online.


 

Rinduku menumpuk kian menggunung dan seolah runtuh saat kuterima sebuah amplop dari Khanza yang katanya titipan dari Kak Reihan. Aku belum berani membukanya. Apa mungkin karena tidak aktif di FB sehingga dia mengirimiku surat?


 

Ah, sudahlah. Aku mau bersiap menata baju ke dalam tas untuk persiapan menginap dua hari di rumah Pakde Ahmad dalam rangka haul Mbah Kakung ke-20 seperti tahun lalu.


 

Semua sudah siap. Kami hanya pergi bertiga. Bude Maysaroh tinggal di rumah karena ada tanggungan mengajar anak-anak mengaji.


 

Perjalanan dari Kediri ke Jepara bisa memakan waktu kira-kira enam sampai delapan jam. Kemungkinan kami akan sampai di kediaman Pakde dini hari.


 

Perjalanan yang cukup melelahkan. Kami beristirahat di masjid sekalian untuk melaksanakan salat Isya. Satu jam melepas lelah, kami melanjutkan ekspedisi.


 

Menjelang fajar, kami telah sampai di desa tujuan. Memasuki gang menelusuri rumah warga. Di sana tampak sebuah masjid megah bercat hijau muda menyambut kedatangan kami, sisi kanan dan kirinya ada bangunan memanjang barisan kamar-kamar santri dan madrasah.


 

Ayah memarkir mobil tepat di halaman rumah Pakde. Irama lantunan ayat suci dari arah masjid menggema beriringan suara percikan air kran di tempat wudu.


 

Saat turun dari mobil, beberapa santri putra menyalami Ayah, lalu membantu membawa barang bawaan kami. Sedangkan di ambang pintu, sudah berdiri Pakde Ahmad dan istri.


 

"Saya bantu, Ning." Salah satu kang santri menawarkan jasa. Tanpa basa-basi, kuulurkan tas jinjing ke tangannya.


 

Dia berjalan di belakangku bersama satu kang santri lain yang juga membawa tas milik Umi, sedangkan dua lainnya mencuci mobil Ayah.


 

Kami dipersilakan duduk di ruang tamu. Belum sempat menanyakan kabar dan lainnya, azan Subuh berkumandang.


 

Pakde Ahmad sudah menyiapkan tempat istirahat untuk kami, tapi aku memilih menikmati suasana pesantren yang asri sembari melihat hilir mudik para santri menyandang mushaf menuju aula tempat acara semaan Quran kubro.


 

"Tidak istirahat di kamar, Ning?" Suara kang santri yang tadi membawakan tasku membuat sedikit terkejut.


 

"Eh, enggak," jawabku sembari menggeleng dan tersenyum canggung.


 

"Apa kang santri ini khodam ya? Kok berkeliaran di ndalem terus, nggak sungkan apa sama keponakan kyainya," batinku.


 

"Ya udah, saya ke kamar dulu." Aku mengangkat kaki memutar badan.


 

Aku masuk ke dalam kamar yang biasa kutempati saat menginap di sini. Duduk di tepi ranjang merogoh tas slempang mengambil amplop biru tua dari Kak Reihan. Sedikit tebal, mungkin dia menulis berlembar-lembar ungkapan isi hatinya. Ah, aku tak sabar ingin membacanya.


 

Sayup-sayup terdengar bacaan juz tiga puluh. Kubuka perlahan kelopak mata yang masih berat.


 

Berkali-kali jemariku melakukan gerakan seperti meremas-remas. Mengingat-ingat, sepertinya aku belum sempat membaca isi surat dan masih menggenggamnya sebelum akhirnya tertidur.


 

Kucari di dalam tas, nihil. Di bawah bantal, di kolong kasur, juga tidak ada. Ah, ke mana?


 

"Kamu mencari apa, Sayang?" Entah sejak kapan Umi di ambang pintu.


 

Aku hanya nyengir.


 

"Kamu mencari ini?" Umi mengipas-ngipas kertas biru tua. Mirip dengan amplop yang kucari.


 

"Emm, apa itu, Um?"


 

"Salat Zuhur dulu gih! Lalu ikut khataman Quran di aula," perintah Umi.


 

"Iya, Um." Aku bergegas ke kamar mandi.


 

Selesai salat, kulipat mukena dengan rapi. Mematut diri di depan cermin mengenakan gamis ungu muda dengan khimar warna senada.


 

Di aula, Pakde Ahmad sudah memimpin doa khotmil Quran. Aku mengamini dengan perut keroncongan. Baru sadar kalau sejak pagi belum makan.


 

Acara semaan Alquran sudah usai. Besok adalah puncak acara haul. Terop mewah nan elegan sudah berdiri tegak di depan masjid siap menaungi ratusan tamu undangan.


 


 

***


 

"Shofi, Umi mau bicara denganmu."


 

Aduh, jangan-jangan membahas amplop biru tua itu.


 

"Iya, Um."


 

Kami duduk bersebelahan di tepi ranjang. Aku tak berani menatap wajah Umi.


 

"Ada hubungan apa kamu dengan kakaknya Khanza?"


 

Mendadak jantungku berdetak kencang. Aku bingung harus menjawab apa. Seketika terbayang semua saat-saat aku sering bersua di aplikasi Facebook dengan akun ErHa.


 

"Tidak ada, Um," jawabku dengan suara bergetar.


 

"Tadi umi membangunkanmu untuk sarapan, lalu menemukan amplop ini di kasur." Umi meletakkan amplop biru tua di pangkuanku.


 

Aku hanya diam sembari menatap amplop yang seolah menjadi warna-warni. Kepalaku mendadak pusing.


 

"Ayo! Ditunggu Pakde di meja makan. Perutmu belum diisi dari pagi." Umi menepuk bahu kiriku pelan sebelum beliau beranjak dari kasur.


 

Aku mengangguk lemas.


 

Amplop itu sudah terbuka. Umi pasti telah membaca semua isinya. Aku takut Umi marah.


 

Di ruang makan sudah ada banyak orang. Ada Pakde, Bude, si kembar Hasan dan Husain, kakak sepupuku, Umi, dan Ayah.


 

Aku berdiri terpaku. Bingung mau duduk di mana. Tersisa dua kursi kosong; di sebelah Bude dan di sisi kanan Ayah.


 

"Duduk di sini!" Bude menepuk kursi yang berada di dekatnya.


 

Aku mengangguk, lalu duduk di samping Bude.


 

Satu menit kemudian, bangku kosong di depanku, tepatnya di sisi kanan Ayah telah diduduki kang santri yang tadi pagi menyapaku di teras.


 

Sebegitu dekatkah khodam sang kyai sampai makan siang pun juga ikut bersama dalam satu meja? Aku membatin.


 

Tidak ada obrolan sampai semua piring kosong.


 

"Nak Shofi!" panggil Bude.


 

Aku menoleh dan memberinya senyum termanis. "Dalem, Bude."


 

"Kamu masih ingat dengan Mas Syafiq?"


 

Nama itu seperti tidak asing. Seingatku Pakde memang mempunyai anak lain, tapi dari tadi yang terlihat hanya si kembar.


 

"Kakaknya Mas Kembar, geh?"


 

Mendendar jawabanku, semua orang di depan meja makan tertawa dan aku tidak mengerti apanya yang lucu.


 

"Yang duduk di samping ayahmu itu Mas Syafiq. Waktu kecil kalian sering bermain bersama, tapi sejak mondok di Darul Qiyam Gontor 6 Magelang, dia jarang pulang."


 

Aku kembali tersenyum dan menunduk malu. Bisa-bisanya aku pangkling dengan kakak sepupu sendiri.


 

Tak lama, sudut mata kananku menangkap gerakan siku Bude menyenggol-nyenggol lengan Pakde.


 

Dan, beberapa saat kemudian.


 

"Ehm." Pakde berdehem. Sepertinya ingin membuka percakapan.


 

Aku dan semua, termasuk Mas Syafiq serentak memandang Pakde. Si kembar pun tak mau ketinggalan. Ada apa? Kira-kira begitu isi kepala kami.


 

"Nak Shofi."


 

"Ya, Pakde," jawabku sembari terus menatapnya. Aduh, ada apa ini?


 

"Ehm, kami sebenarnya ... berencana menjodohkan kalian. Maksud Pakde, kamu dan Mas Syafiq. Tapi ya, ini hanya rencana kami, selebihnya kalian sendiri yang memutuskan." Perkataan Pakde berhasil membuat jantungku kembali berdetak kencang.


 

Aku berpaling. Menunduk sambil merasai getaran jantung yang menjalar ke seluruh anggota tubuh. Semuanya terdiam hingga seolah-olah aku bisa mendengar suara detak jantungku sendiri. Seiring kedua mata yang memanas, pikiranku melayang ke amplop biru tua. Sungguh, aku tak bisa mengkhiati perasaan sendiri.


 

Rasanya aku ingin segera melarikan diri dan membaca surat itu. Bukankah Umi sudah mengetahuinya. Mengetahui hubunganku dengan pemilik amplop biru tua itu. Tapi mengapa beliau tidak mengeluarkan sepatah kata pun?


 

"Ehm, Shofi pamit ke kamar dulu geh?"


 

"Ya sudah, Nak. Pikirkan dulu baik-baik," jawab Pakde Ahmad.


 

Aku berlari kecil. Membuka pintu kamar dengan kasar dan tergesa melempar bantal yang menindih amplop biru itu. Dengan tak sabar, kutarik kertas putih yang terselip di dalamnya.


 

Saat lipatan kertas terbuka sempurna, ada sesuatu yang terjatuh. Aku sedikit tersentak. Kupungut sebuah gelang kaokah yang menyerupai butiran tasbih kecil berwarna cokelat tua.


 

Aku tak percaya: otak dan hati seperti bertengkar membaca kenyataan ini.


 

"Umi mengerti yang kamu rasakan." Tiba-tiba Umi sudah berdiri di ambang pintu. Segera kulipat kertas putih itu asal-asalan dan mendekapnya bersama gelang yang terjatuh di pangkuan.


 

"Maafkan Shofi, Um." Kuseka sudut mata yang mulai basah.


 

Umi menghampiriku dan kami duduk bersisihan seperti tadi. "Umi yang seharusnya meminta maaf, Nak. Umi tidak pernah mendengarkan curahan hatimu sehingga membuatmu lebih nyaman bercerita dengan orang lain." Beliau mengelus bahuku.


 

Aku hanya diam. Menunduk.


 

"Sekarang katakan, apa saja yang kamu rasakan dan kamu sembunyikan dari Umi. Jangan takut, Sayang." Umi membelai ujung kepalaku.


 

"Sebenarnya Shofi menyukai ...."


 

"Suka dengan pemilik akun ErHa," sahut Umi sebelum aku menyelesaikan ucapan.


 

Hatiku tersentak. Dari mana beliau tahu? Isi surat yang mungkin telah dibaca Umi bukan membahas tentang itu.


 

Bagaimana aku bisa menjawab? Hatiku telah patah. Rasanya lebih sakit dari pada ditinggal kekasih ketika lagi sayang-sayangnya.


 

"Mengapa hanya diam? Haruskah Umi menyimpulkannya sendiri?"


 

Aku mengahambur ke pelukan Umi, terisak menahan perih di hati.


 

"Kamu berharap Reihan memiliki perasaan yang sama denganmu, tapi kenyataannya dia hanya meminta maaf karena lupa mengembalikan gelangmu yang terjatuh di depan butik tempo hari."


 

Hatiku menjerit sakit.


 

"Inilah kesalahanmu yang sebenarnya, Nak."


 

Aku merenggangkan pelukan dan menatap Umi penuh tanya. "Apa, Umi?"


 

"Kamu salah menaruh harapan, Sayang. Seharusnya, hanya Allah satu-satunya tempat berharap dan diharapkan."


 

Aku sangat malu.


 

"Ya sudah. Tenangkan pikiran dan pikirkan baik-baik dawuhnya Pakde Ahmad tadi. Di note pad ini ada banyak quote, bacalah. Siapa tahu bisa membantu." Setelah memberikan ponselnya, Umi keluar kamar.


 

***


 

Lelah menemui para tamu yang dari Mahgrib sudah berdatangan, kurebahkan tubuh dan membuka ponsel Umi mencari aplikasi note pad.


 

Jantungku yang baru saja istirahat dari maraton kembali terguncang. Semua quote, cerpen, cerbung, dan puisi yang ada di catatan Umi pernah kubaca dan semuanya tertanda ErHa (Ruqoyyah Hamdani). Nama umiku.


 

Jadi?


 

Aku ingin meminta penjelasan dari Umi. Kupacu kaki dengan kekuatan mata tinggal 5 watt.


 

Kemudian, tiba-tiba saja ....


 

"Au!" Kepalaku tersenggol gulungan karpet.


 

Laki-laki bersarung dengan baju koko hijau muda membalik badan. Meletakkan gulungan karpet dan mendekatiku.


 

"Terburu-buru, apa mau mencari Umi?" tanyanya memasang senyum berlesung. Di atas hidung mancungnya ada dahi yang sebagian tertutup peci putih.


 

Baru kali ini, aku sedekat ini dengan Mas Syafiq. Wajahnya banyak berubah. Terlihat lebih tampan daripada waktu kecilnya dulu.


 

"Kok diam? Jangan cari Umi, aku bisa, kok, memberi jawaban. Tapi ...."


 

"Apa, Gus?" tanyaku sangat penasaran sambil menatapnya ragu.


 

"Bukalah hatimu untukku, Ning!"


 

Mulut dan mata membulat sempurna. Bebera detik kemudian, wangi bukhur memenuhi ruang hidungku.


 

"Mana ponsel Umi?" Perempuan yang beraroma khas itu merangkulku dari belakang.


 

***


 

"Shofiya, Shof! Pakde Ahmad dan keluarga sudah datang." Panggilan Umi membangunkanku dari lamunan panjang.


 

Jam dinding di atas kalender yang kuberi tanda lingkaran di angka 19 Desember telah menunjuk angka delapan. Ternyata sudah dua jam aku berdiri di balik jendela berteman aroma petrikor.


 

Sungguh, hembusan udara dari kibaran tirai bagaikan angin surga. Sejuk menembus kalbu yang berbunga karena sebentar lagi akan tersemat cincin pertunangan di jari manisku.


 

Selesai.