Try new experience
with our app

INSTALL

Cinta 960 Jam 

Persimpangan

  Hampir 7 bulan berlalu setelah 960 jam yang aku habiskan bersama Galang. Hubungan kami masih berjalan meski harus terpisah jarak, semua tak berubah. Galang masih humoris, penuh rasa khawatir namun kini ia jadi sedikit lebih posesif jika aku terlambat mengangkat telpon atau membalas pesannya. Hubungan kami tetap berlanjut dengan pola yang sama. Iya, tanpa kata cinta dan komitment. Kini Galang dan aku sama-sama sudah menuntaskan studi. Galang bahkan hadir di wisuda ku dan berkenalan dengan ibu serta adikku. Ibu dan adikku begitu menyukai Galang, bagaimana tidak setiap aksi yang ia tunjukkan selalu membuat ibu dan adikku tertawa terbahak. Wah, rasanya kehidupan berat pasca gagalnya pernikahan ibu dan ayah seolah sirna dengan kehadiran Galang. Galang seolah mengerti betul masalah keluargaku tanpa harus ia bertanya secara langsung. Adikku yang biasanya tak cepat dekat dengan teman-temanku, malah dengan mudahnya membuka hati untuk Galang dan keduanya saling berkomunikasi dibelakangku untuk memberikan surprise diwaktu aku wisuda.


  Rasanya terlalu manis, tentang semua kisah bersama Galang sampai-sampai aku sempat merenung dan menangis saat menelpon Galang, aku takut bahwa semua itu hanyalah mimpi panjang saja. Galang yang mendengar itu bukannya menghibur malah marah dan menutup telpon seketika. Ia menghilang hampir seharian yang tak ku duga malam harinya, ia sampai di depan rumahku.

 
“Hah? Dimana? Depan jendela apaan sih? Ga jelas..” 
  Tok..tok..tok.. suara jendela mendadak terdengar setelah aku yang sedikit ngambek bicara ditelpon ke Galang. 
“Lo gitu sih, suka ga percaya sama gue. Kalo gue bilang di depan jendela ya berarti gue di depan.”
Aku masih tergangan memegangi handphoneku yang masih ditelinga, sebentar lagi bahkan jatuh dan HAAPP!! Galang sukses menangkapnya lewat jendela kamarku yang aku buka.
“Jadi mau bengong sampe kapan? Gue ga disuruh masuk gitu? Ditawarin makan malem? Tamu dari pulau sebrang nih.”
“Lewat pintu,sana!!”


  Aku pun berusaha menguasai diri untuk merespon surprise demi surprise yang aku dapatkan dari Galang.Wah, laki-laki ini benar-benar membuat aku seperti menaiki roller coaster. Aku bingung, perasaanku padanya mungkin tak hanya cinta, sayang, suka, benci, kesal. Ah, segalanya tentang Galang adalah ketidakjelasan jika aku harus menambah, mengurang atau mengalinya, juga Galang terlalu serius untuk sekedar bermain hati. Apa yang harus ku lakukan dengan perasaanku ini padamu Galang?.


  Aku akhirnya memutuskan untuk pindah ke kota yang sama dengan Galang, tentu saja Galang begitu bahagia sampai-sampai menungguku di airport dengan membawa bunga dan papan nama begitu besar bertuliskan MISS LUNA NATASHA beserta fotoku dengan wajah paling unik.


“Galaaaaang!!! Ih..malu-maluin!! Foto gue jelek banget!”
Galang tertawa lalu membuka wajahnya yang sejak tadi tertutup papan nama dan malahan kini aku dibuat terbahak karena ia menggunakan topeng wajah aktor Korea idolaku. 
“Annyeonghaseo!!”sebutnya sambil menggoyang-goyang kepala.
Galang..Galang.. Aku benar-benar kamu buat seperti seorang tuan putri yang tinggal di istana cokelat yang begitu manis yang rentan diabetes mellitus rasanya. Aku merasakannya, begitu nyata betapa Galang makin hari, makin tak malu-malu menunjukkan betapa berapi-apinya ia padaku, bahkan ditengah keramaian itu sempat-sempatnya ia mengecup bibirku. 
“Panik kan lo, panik kan!”
“Gue nggak mau ya masuk penjara cuma karena kejadian begini!”
“Ya udah yang lebih dari itu deh kalo gamau karena ini doang!”
“Galaaaaang!!!!” seperti biasa aku teriak dan mencubit pinggangnya.


  Sesaat kami sibuk bercanda ditengah keramaian orang lalu lalang di Airport. Wah, benar juga yang dibilang orang-orang tentang dunia serasa milik berdua jika bersama dia yang kamu sayangi.


  Galang dengan sigap membawa semua barang bawaanku dan mengantarku menuju rumah kos yang ia sudah siapkan. Galang memang jadi orang paling sibuk saat aku bilang akan pindah ke kotanya dan aku telah dapat pekerjaan sebagai editor di sebuah rumah produksi film. Galang begitu bangga, memang beberapa kali ia bahkan menonton drama-drama yang pernah aku tulis sebelumnya, meskipun namaku hanya masuk dalam tim penulis saja.

 
  Beberapa bulan setelah kepindahanku dan kesibukanku bekerja.Aku dan Galang jadi jarang berkomunikasi. Galang juga sibuk mengurusi pekerjaannya. Galang yang memang seseorang yang cerdas dan berasal dari universitas terkemuka, langsung mendapat pekerjaan yang bagus setelah lulus. Terakhir kali aku dan Galang berjanji untuk bertemu 2 bulan lagi di akhir bulan. Jelas saja sepanjang waktu itu selama aku bisa menyempatkan diri belanja, aku membelikan berbagai barang untuk Galang, baik dari luar kota dimana aku melaksanakan proses shooting serta jalan-jalan tim. 


  Mimpi panjang yang sempat aku bahas pada Galang ternyata jadi kenyataan. Ah, bukan mimpi panjang melainkan mimpi buruk. Ya, awal dari mimpi buruk. Pernah dengar tentang selamanya itu tak pernah nyata? Benar, itu benar. Selamanya itu tidak nyata, mana mungkin setiap orang akan hidup bahagia selamanya, sedih selamanya. Kehidupan manis selamanya ataupun pahit selamanya. Begitu juga aku yang harus mengalami sebuah kenyataan yang pahit! Sangat pahit, setelah bertubi-tubi diberikan hal-hal manis oleh Galang. 


  Saat itu, satu hari sebelum aku bertemu dengan Galang. Aku sudah sangat antusias dan berdebar-debar menantikan hampir 24 jam lagi akan bertemu dengan Galang. Aku sudah rindu, sangat rindu. Mendadak aku mendapatkan panggilan dari rekan satu kantorku yang memintaku untuk menemaninya datang ke pernikahan sahabat kuliahnya.


  Entah takdir yang kejam atau aku yang bodoh karena meneruskan hubungan yang tidak jelas dari awal. Hari itu, 5 Mei 2018 aku tertegun menatap nama yang terpampang di papan depan meja pagar ayu.

 
The wedding of Galang Pradipta & Diana Putri.
 

  Langkahku mendadak terhenti, dengan cepat aku menelpon Galang. Aku begitu panik saat itu, pikiranku tak karuan, seolah segala hal, segala pertanyaan berputar-putar diatas kepalaku. Detak jantungku berdetak lebih cepat, jauh lebih cepat dibanding saat Galang mencium bibirku, memelukku, mengenggam tanganku.Rasa yang tak karuan itu membuatku menguatkan diri untuk masuk lebih dalam lagi kedalam gedung sampai akhirnya ku jumpai dia, Galang yang tengah duduk di kursi pelaminan dengan setelan putih. Aku terdiam, mematung ditengah-tengah gedung tepat berhadapan dengan pelaminan yang tengah Galang duduki. Aku dengan jelas juga melihat Galang yang terbelalak menatapku, ia berdiri namun langkahnya tak bisa menuju ke arahku, saat itu beberapa tamu menghampirinya dan menutupi pandangannya dariku.

 
  Aku dengan lemas berusaha keluar dari gedung dan berpamitan dengan rekanku dengan alasan tak enak badan, urusan mendadak dan segalanya. Rekanku bahkan merasa begitu aneh, seolah sesuatu terjadi padaku. Hari itu, bahkan pandangan mataku pun tak fokus.aku benar-benar ingin segera berlari namun langkah kakiku begitu lemas, tubuhku seolah tak bertulang.


“Luna!!!”
Suara Galang, ya itu suara Galang yang memanggil namaku disaat aku berjalan tak tentu arah.Aku tak tahu harus pergi kemana saat itu, yang ada dipikiranku hanya bagaimana caranya aku bisa menjauh dari gedung itu. Aku tak ingin lihat Galang tapi Galang terus memanggilku dan mengejarku dengan setelan pernikahannya itu. 
“Luna dengerin gue! Luna!!!”
Galang menaikkan nada suaranya. Kenapa? Apa lagi yang mau dijelaskannya padaku? Seolah semua hal tentang kepercayaanku pada Galang runtuh, hancur!
“Luna, please. Luna!!!”
PLAAAK!!! Hanya dengan tamparan keras di pipi Galang caraku menjawab panggilannya yang tak kunjung henti. 
“Lo boleh tampar gue ribuan kali, gue terima, gue siap! Tapi please lo dengerin gue dulu.”
Aku tak kuasa lagi menahan air mataku, begitu saja akhirnnya mengalir deras. Tubuhku yang sejak tadi lemas akhirnya terduduk di pinggiran jalan, kala itu ada sebuah taman tak jauh dari sana dengan sigap Galang membawaku duduk dibangku taman sekitar sana. Aku meronta begitu keras,  tapi Galang lebih kuat disbanding aku yang saat itu masih shock dan tak percaya dengan apa yang aku saksikan didalam gedung. 
“Gue tau lo pasti akan terluka gara-gara gue Lun, makanya gue…”
“Makanya apa? Makanya lo ga pernah bilang soal perasaan lo ke gue?”
“Perasaan gue kurang jelas selama ini? Lo butuh apa? Kata? Perasaan gue lebih nyata dari sekedar kata Luna.”
“Oh, jadi karena itu lo ngerasa ga ada yang butuh dijelasin tentang hubungan ini? Lo pernah mikir ga sih perasaan gue gimana? Nggak kan? Buat lo semua biasa aja kan karena lo bisa menik…”
 

  Aku merasa begitu tertekan, sampai tak sanggup lagi melanjutkan kata-kataku. Aku ingin segera pergi namun saat aku berdiri Galang malah menarik lenganku. Ia tarik aku duduk disampingnya. Tubuhku seketika tak ingin lagi condong kearahnya, tapi Galang meraih bahuku dan membuatku harus menatapnya dengan air mata yang terus mengalir diantara kemarahan-kemarahan yang aku luapkan.


“Luna, coba lo inget lagi..sejak awal lo kenal gue, kita deket dan gue menunjukkan semua perasaan gue. Lo pernah nanya nggak kenapa gue begitu? Gue melakukan itu sama siapa aja? Atau apapun hal mengenai perasaan? Nggak pernah kan? Lo tau kenapa?”
“Setelah semuanya jadi kusut, lo mau nyalahin gue yang ga mempertanyakan maksud lo? Jadi gue yang salah mengartikan semuanya?”
“Ini dia. Ini diri lo yang sebenarnya Lun. Lo terlalu takut menghadapi hal-hal yang udah lo duga. Gue tahu betul lo nggak pernah mau membahas segala tentang rasa diantara perjalanan kisah kita karena lo takut. Lo takut jawaban yang akan lo dengar ga sesuai harapan lo.”
“Terserah! Apapun itu, lo jahat lang! Lo jahat!!”
“Luna, gue tahu kalau kita berdua bahas hal-hal tentang perasan. Kita hanya akan saling terluka.”
“Kita? Lo bilang kita? Lo ga punya mata? Cuma gue disini yang terluka! CUMA GUE!!!”
Pertengkaran itu harus terhenti karena seseorang datang memanggil Galang untuk kembali. Hatiku makin berkeping-keping mengetahui bahwa kini seseorang yang selalu ada untukku kini menjadi milik orang lain. Bukan maksud merasa akulah orang yang berhak atas kepemilikannya, hanya saja aku merasa bahwa cerita singkatku dengan Galang yang begitu manis akan selalu berjalan seperti itu. 
“Lo pulang dan jangan pergi kemanapun atau ngelakuin hal-hal aneh. Gue pastiin gue akan nemuin lo dimanapun kalau lo nekat coba-coba pergi!”
 

  Mau pergi kemana aku? Tujuanku datang ke kota ini selain mengejar cita-cita dimana Galang juga didalamnya yang masuk list masa depanku. Ibu dan Adikku malam itu seolah menjadi sebotol cuka yang ditumpahkan di luka meradang, mereka mengirimi pesan yang menanyakan Galang didalamnya dan berkeinginan untuk main ke ibukota demi bertemu dengan Galang bahkan dengan santainya mereka bertanya kapankah aku akan melangsungkan pernikahan dengan Galang. Tersayat-sayat hatiku, bernanah luka itu. Jika ada perumpamaan paling sakit diantara yang paling sakit, mungkin begitu rasanya. Aku hanya bisa menangis, tak ada hal lain yang bisa aku lakukan selain menangis bahkan bukannya kembali pada Tuhan aku malah menyalahkan takdirnya yang begitu kejam karena membiarkan aku hanyut di dalam kisah yang sia-sia. Padahal ketika aku bahagia aku bahkan tidak bersyukur kepada Tuhan atas kebahagiaan yang aku dapatkan. Dasar manusia tak tahu di untung. Siapa? Ya, Aku. Entahlah, yang bisa aku lakukan hanyalah menyumpah serapah dan menyalahkan, berharap luka ku dapat sembuh dengan lekas.


  Malam itu, hujan turun dengan derasnya. Sama seperti air mataku yang juga tak henti-hentinya mengalir. Aku mencoba tak membuat gaduh sekitar karena sudah dinihari dan aku bersembunyi toilet dengan membiarkan keran terus hidup agar tangisku jadi samar, namun suara lainnya muncul. Suara gedoran pintu disusul dobrakan keras, aku terpaksa keluar dan kulihat Galang sudah berdiri dengan basah kuyup ditengah-tengah ruangan. Lidahku kelu tapi Galang malah dengan segera menyambar tubuhku untuk masuk dalam dekapannya. Aku meronta sekuat tenaga, aku tak ingin disentuh olehnya. Sekuat tenaga aku mencoba memukulnya, namun ternyata Galang malah terisak. Aku tertegun. Berbagai pertanyaan kembali muncul dalam benakku. Apa yang terjadi? Mengapa ia menangis? Mengapa di malam pertama pernikahannya ia malah berlari menerobos kediamanku? Mengapa ia tak bersama wanita yang telah ia persunting? Ada apa sebenarnya?


  Galang memohon padaku agar aku membiarkannya menginap bersamaku. Baru kali ini aku melihat kehancuran Galang, matanya tak lagi ceria, dapat aku lihat bahwa ia miliki banyak masalah yang harus ia hadapi dan tak ada lagi canda dalam kata-katanya. 


  Galang, maaf aku tak pernah tahu bahwasanya pernikahan yang kamu lakukan ternyata adalah hal yang sangat tidak ingin kamu lakukan. Galang ternyata harus menjadi pengganti pimpinan keluarga Diana. Ayah Diana merupakan korban tabrakan yang disebabkan oleh Ayah Galang. Kedua orangtua mereka terlibat dalam kecelakaan yang sama dan keluarga Diana tak punya biaya selain dari ayahnya. Ibu Galang selama ini membiayai kehidupan Diana dan ibunya dan Galang pun harus bertanggung jawab atas semua itu dengan menikahi Diana meskipun Diana tak pernah menyukainya. Diana begitu membenci Galang karena melihat Galang yang terbayang baginya adalah kecelakaan ayahnya, begitu juga dengan Galang. Aku tak menyangka kehidupan yang harus dijalani Galang begitu penuh luka. Cerita konyol tentang adik dan ibunya selama ini ternyata hanya cerita masa lalu indah yang ia harapkan kembali disaat dimana ayahnya masih ada.

 
  Malam itu, aku baru menyadari bahwa lukaku masih belum sepadan dengan luka hati Galang. Kini ia harus hidup memeluk luka sepanjang hidupnya, bahkan aku kini juga menjadi salah satu luka yang akan menghantuinya setiap hari. Tangis Galang membuatku tersadar bahwasanya Galang jauh lebih terluka melihatku banyak menangis. Galang jauh lebih hancur melihatku jadi berkeping-keping.


  Aku baru sadar bahwa Galang yang menyembuhkan lukaku dan keluargaku malah memendam lukanya sendiri. Cintaku belum seberapa dibanding cinta Galang padaku. Aku belum melakukan apa-apa untuk membahagiakan Galang. Aku sadar selama ini hanya Galang yang terus menghadiahiku kebahagiaan dan kehidupan manis, seolah Galang terlahir sebagai pemberi kebahagiaan tanpa harus merasa bahagia, tapi Galang marah saat ia dengar aku menyatakan hal itu.

 
“Luna, 960 jam yang gue lalui sama lo di dusun terpencil adalah waktu paling indah setelah gue kehilangan bahagia tanpa papa. Bisa bikin lo senyum adalah kesempatan terbaik yang pernah gue dapet. Sayangnya kita terjerat takdir yang rumit dan menyakitkan.”
 

  Aku memeluk Galang dengan erat untuk masuk lebih dalam ke dasar lukanya, berharap pelukanku yang tak seberapa itu mampu sejenak menghapus luka yang dirasakan Galang. Malam itu putuskan untuk menutup kisah rumitku dengan Galang. Aku menghargai tanggungjawab yang harus ia pikul saat ini. Galang bukan lagi Galang yang ku kenal dulu. Aku tak ingin menjadi luka meradang lainnya bagi Galang, meski penuh tangis dalam pelukan kami malam itu, kami berdua sadar bahwasanya cinta tulus yang kami punya ini mungkin ditakdirkan untuk berakhir tanpa saling memiliki raga namun menjadi penopang hidup bagi orang lain. Aku memohon pada Galang agar tidak hancur, begitupun sebaliknya. Meskipun bohong jika aku bilang aku akan baik-baik saja kedepannya. Galang bukalah seseorang yang mudah dilupakan, bukanlah luka yang dengan cepat pulih. Malam itu aku putuskan membiarkan Galang untuk terlelap dalam pelukanku hingga pagi.  Sejak itu aku tak tahu lagi apa yang terjadi padanya, karena ku putus segala akses yang berhubungan dengannya. Aku berharap Galang dapat merasakan kebahagiaan walau hanya sekali lagi dalam hidupnya.


“Perjalan yang cukup panjang ini akhirnya sampai di sebuah persimpangan. Aku sudah melihat arah yang kamu pilih untuk pergi. Kini aku akan mencoba mencari jalan lain. Jalan dimana aku takkan lagi bertemu kamu. Aku tak ingin menjadi luka lebih dalam lagi untukmu.
Berbahagialah..Meski cinta ini terus tumbuh didalam hati kita, tapi hidup yang kamu punya tak mengizinkanmu untuk memilih aku, cinta yang kamu inginkan. Mungkin, aku dan kamu hanya dipertemukan untuk saling terluka untuk jadi lebih kuat dikehidupan ini.”


SELESAI