Try new experience
with our app

INSTALL

Perempuan di Tanah Abangan 

Perempuan di Tanah Abangan

Perempuan di Tanah Abangan

By Nazila


 

Hari beranjak gelap diiringi semilir angin yang menggoyangkan ranting. Suasana begitu dingin. Apalagi berada di daerah pegunungan tempat tinggal perempuan itu, hampir setiap hari dipenuhi kabut lembap mengambang di atas permukaan tanah.


 

Bu guru Hasna, begitu warga sekitar memanggilnya. Kerudung segi empat yang dibiarkan menjuntai adalah ciri khas penampilannya. Sore itu, wajah ayu sang guru yang biasanya terlihat teduh menenangkan mendadak pucat penuh kecemasan. Apa yang sedang terjadi padanya?


 

Hasna menyamankan posisi duduk. Bersila di lincak sembari bersandar di dinding. Dia memandang rimbun pepohonan yang berselimut awan lembap dengan pikiran melayang karena terus terngiang sebuah ungkapan yang membuatnya sulit memejamkan mata dengan tenang.


 

Seminggu yang lalu, Hasna menemani salah satu temannya, yang merupakan mahasiswi, untuk mengikuti sarasehan di sebuah kampus swasta di Kota Kediri. Rektor institut perguruan tinggi itu menyampaikan sambutan dan ceramah singkat.


 

"Jadi santri itu jangan hanya bisa mengaji dan mengkaji kitab saja. Kalau bisa, pendidikan formalnya ditambah. Wawasannya juga ditambah. Zaman sekarang, memiliki gelar itu penting. Ya, minimal bisa untuk nakut-nakuti tikus."


 

Hasna tersenyum mengingat kalimat terakhir dawuh sang rektor. Apa sebenarnya makna kata tikus itu?


 

Perempuan manis berhidung mancung itu menarik napas dalam-dalam. Dia mengubah posisi duduk dengan mengangkat kedua lutut sejajar badan, lalu memeluknya erat. Sangat erat seperti saat dia menguatkan diri menjalani perjuangan panjang di tanah abangan, tempat di mana dia dilahirkan.


 

Saat itu, pada tahun 1990, ada gerakan perekrutan pengajar madrasah di tingkat desa. Para remaja masjid sekecamatan Mojo-Kediri mendapatkan diklat metode iqra.


 

Hasna masih berusia dua belas tahun kala itu sehingga belum mendapat kesempatan untuk mengikuti acara pelatihan tersebut. Namun, karena memiliki kemampuan yang mumpuni, dia dipercaya untuk menjadi pengajar di sebuah lembaga taman pendidikan Alquran yang didirikan oleh remaja masjid, yang kemudian diberi nama Tarbiyatul Aulad.


 

Dua tahun kemudian, lembaga pendidikan itu mulai mengalami kendala masalah ekonomi. Dua pemuda yang merupakan pengelola terpaksa harus pergi merantau ke Malaysia untuk mencari dana. Sejak saat itulah, perjuangan Hasna dimulai.


 

"Hasna, kamu satu-satunya remaja desa yang sangat tekun. Kami pasrahkan lembaga ini kepadamu. Biarkan kami yang berjuang mencari uang dan kamu berjuang di sini," ucap salah satu pemuda menyakinkan Hasna.


 

Perlu beberapa hari Hasna memikirkan perkataan temannya itu hingga akhirnya dia menjawab dengan penuh percaya diri, "Iya, insyaallah aku sanggup."


 

Setiap pagi, Hasna pergi menuntut ilmu dengan mengayuh sepeda melewati jalanan berliku daerah pegunungan. Naik-turun seperti roller coaster yang begitu menegangkan. Namun, jalan raya pada tahun itu masih lengang, belum banyak kendaraan bermotor, apalagi mobil-mobil pribadi.


 

Meskipun berangkat menerpa hawa dingin dan pulang menantang panas matahari, Hasna tak peduli. Mulai dari sekolah formal, lanjut ke madrasah diniah di sebuah pondok pesantren yang terletak di pinggir Sungai Brantas. Kemudian, sepulang dari pesantren dia langsung bersiap-siap untuk mengajar anak-anak di TPA. Waktu itu kegiatan belajar mengajar hanya bisa dilaksanakan di musala kecil bersama tiga belas santri.


 

Meski berhasil mendapatkan murid dengan jumlah yang bisa dihitung jari, perjuangannya tidak semudah menjentikkan jari. Hasna harus mendatangi rumah warga satu per satu demi memperoleh izin agar anak mereka boleh belajar mengaji. Kendala tidak hanya selesai di situ, setiap kali ada jaranan, hiburan kala itu, murid yang hadir di kelas semakin berkurang. Ternyata, mereka lebih peduli menonton hiburan tak mendidik daripada menuntut ilmu supaya terdidik.


 

Setahun berlalu, sudah tidak ada lagi kendala biaya untuk mendukung kegiatan mengaji karena kedua sahabat Hasna aktif mengirim uang.


 

Saat Hasna berusia lima belas tahun, dia masih melalui hari-hari seperti biasanya. Namun, gadis pemilik tekad kuat itu semakin merasakan perjuangannya sangat berat. Sekali lagi, dia harus menghadapi para orang tua yang beranggapan bahwa anak-anak mereka sudah capek belajar di SD sehingga kalau sore masih pergi ke TPA, maka akan mengganggu pelajaran.


 

Bukan Hasna namanya kalau menyerah. Dengan dukungan orang tua, doa, juga rida, langkah Hasna semakin mantap. Dia berinisiatif mendirikan kegiatan jam'iyyah dibaiyyah bersama ibu-ibu muda setiap malam Minggu dan rencananya akan dilangsungkan setiap dua minggu sekali. Dengan harapan, dia bisa memberikan sosialisasi betapa pentingnya pendidikan keagamaan seusai acara membaca selawat Nabi bersama.


 

Meskipun kegiatan berjalan dengan tertatih-tatih, semangat Hasna justru kian berapi-api. Dia berpikir keras sepanjang malam atas masalah yang dihadapi. Bukan lagi tentang susahnya mengajak anak-anak mau mengaji, tetapi juga sulitnya menyadarkan sebagian besar masyarakat yang masih belum melaksanakan salat.


 

Hasna memutuskan untuk datang kepada para guru dan sahabatnya di pesantren. Dia mencurahkan segala resah di hati. Hingga akhirnya, pertemuan itu menemukan sebuah solusi cemerlang yang kesimpulannya dia harus membingkai diri sebagai ustazah meskipun di usia yang masih belia. Semua itu bertujuan agar jati diri itu tampak sehingga masyarakat bersedia mendengarkan dan menurut.


 

Mulai saat itu, Hasna mengubah penampilannya, dari kerudung segi empat kecil yang hanya diselipkan di telinga berubah mengenakan kerudung panjang yang menutup dada. Ke mana pun dia pergi selalu memakai baju kurung dan sarung batik khas santri yang biasanya hanya dia pakai saat pergi ke pesantren. Bahkan, saat menemani ibunya pergi ke kebun, dia juga memakai pakaian seperti itu.


 

"Wah, itu lo, ada ustazah, calon bu nyai. Ke mana-mana kerudungan panjang, sarungan," cibir salah seorang warga ketika melihat Hasna dan ibunya berkebun.


 

Hasna yang sedang membungkuk memetik sayur hanya menoleh sebentar kemudian melanjutkan kegiatannya kembali. Entah itu ejekan yang ke berapa kali, Hasna tak pernah menanggapi. Diam baginya adalah cara terbaik agar tidak lebih tersakiti. Dia justru mengamini dalam hati. Itu hanyalah sebagian ujian kecil untuk meraih mimpi, pikir Hasna menyemangati diri.


 

Sedangkan ibu yang berdiri di hadapannya hanya bisa mengusap-usap bahu sang putri. Sabar, sabar, mungkin begitulah arti belaian itu.


 

Sepulang dari kebun, Hasna masuk kamar lalu berdiri di depan cermin. Dia memperhatikan gadis berbadan tinggi di hadapannya, wajah ayu yang berbingkai kain lebar, baju longgar sepanjang lutut, dan kain sarung yang membelit kaki. Lagi, gadis desa itu menatap iba wajah sendu di depannya sembari menahan kaca-kaca di sudut mata agar tidak terjatuh di pipi.


 

Usia remaja yang biasanya dinikmati dengan main-main, suka-suka, bergaul dengan banyak teman, bebas mengurai rambut, memakai rok mini, dan bentuk kesenangan lainnya, semua itu tidak terjadi pada Hasna. Di masa remajanya, dia justru harus menutup diri, membatasi pergaulan, memfilter teman, dan menahan diri dari godaan dunia liar.


 

Hasna mengepalkan kedua tangannya erat, erat sekali. "Aku harus kuat!" gumamnya penuh keyakinan.


 

Dengan senyum mengembang, Hasna keluar kamar. Seolah-olah kepalan itu mengirim jutaan kekuatan ke dalam dirinya.


 

Tak peduli dengan gunjingan para tetangga, Hasna terus menjalani rutinitas yang padat seperti pulang pergi dari pasantren ke rumah yang sudah dia jalani selama kurang lebih tujuh tahun; dari tahun 1992 sampai 1999. Pagi sampai siang menjadi murid, sore sampai malam menjadi guru. Ditambah lagi dengan kegiatan jam'iyyah dibaiyyah yang semakin banyak aggotanya.


 

Meskipun melelahkan, hal itu justru membangkitkan semangat Hasna karena edukasi yang dia sampaikan bisa didengar oleh banyak warga, khususnya para ibu yang merupakan madrasah pertama dan utama bagi anak-anaknya.


 

Bingkai diri sebagai ustazah yang sengaja diperankan Hasna mulai tampak hasilnya. Banyak orang tua yang sadar betapa pentingnya pengetahuan agama sehingga mereka berbondong-bondong memasukkan anak-anak ke TPA. Jumlah santri kian bertambah, dari tiga belas menjadi enam puluh anak. Bahkan, sudah ada santri senior yang bisa membantu mengajar adik-adik kelasnya.


 

Pada tahun 2000, tepatnya setelah Hasna lulus madrasah diniah di pesantren, dia dipanggil Romo Kiai pengasuh pondok. Hal ini sungguh mengejutkan hati Hasna sehingga membuatnya semakin dilema.


 

"Mulai sekarang, kamu sekolah lagi dari awal bersama anak-anak. Bermukim mengurus para santri." Kiai mengatakan dengan serius penuh harap. Memang perempuan seperti Hasna sangat patut untuk diharapkan.


 

Sanggupkah dia mengajar di pesantren? Apalagi harus bermukim dan menjadi penguru.


 

Bagaimana dengan murid-murid di rumah dan lembaga pendidikan yang sudah dirintis selama bertahun-tahun? Apalagi lembaga itu sudah mulai berkembang.


 

Dan, bagaimana dengan keinginannya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi?


 

Pertanyaan-pertanyaan itu pula yang terus membayang di angan Hasna sampai detik ini.


 

Tak terasa hari makin menggelap. Hasna menguatkan pelukan kedua lututnya di badan seraya mengepalkan kedua tangan erat-erat. Kali ini bukan untuk menghangatkan diri dari hawa dingin senja di pegunungan, tetapi bentuk kekuatan tekad dan keyakinan yang kian mantap.


 

"Aku pasti bisa!" gumamnya penuh percaya diri.


 

"Bu Guru Hasna!" Teriakan bocah-bocah berbalut mukena sambil menyandang kitab suci membuat Hasna terkesiap.


 

Perempuan yang disapa segera melonggarkan dekapan dan membuka kepalan tangannya. Dia juga menurunkan kedua kaki dari lincak sembari memberi senyum kepada anak didiknya.


 

Saat punggung para bocah itu semakin menjauh, Hasna masuk ke dalam rumah. Wajah muramnya kini kembali cerah.


 

"Bapak, Ibu, Hasna ingin bicara sebentar," ucapnya saat melihat kedua orang tuanya hendak berangkat salat Magrib berjamaah.


 

Mereka bertiga berdiri saling memperhatikan wajah satu sama lain.


 

"Hasna sudah mantap. Hasna akan mengajar di pesantren." Hasna menjeda perkataan dan mengulum bibir sendiri.


 

"TPA Darul Aulad Hasna serahkan kepada Bapak dan Ibu," lanjutnya, "untuk kuliah, Hasna bisa menundanya sementara waktu." Hasna menghela napas. Merasa lega atas keputusannya.


 

"Kalau kamu bisa ngajar sambil kuliah, kenapa harus nunda-nunda. Jangankan kamu pasrahi murid-murid ngajimu, membiayaimu sampai jadi sarjana pun Bapak sanggup!" jawab sang bapak penuh keyakinan sembari menepuk-nepuk pundak putri semata wayang.


 

Sepasang bola mata anggur Hasna seketika membelalak. Hampir tidak percaya dengan kalimat yang baru diungkapkan oleh sang bapak.


 

"Hasna pasti akan belajar sungguh-sungguh sampai berhasil dan menjadi kebanggaan Bapak Ibu dan masyarakat desa kita." Janji perempuan tanah abangan itu penuh kobaran api semangat dan mata yang menyala-nyala.


 

Tamat.