Try new experience
with our app

INSTALL

Jodohku Sahabatku 

Guru Baru

“Buk, Andin berangkat dulu ya!” Dengan tergesa aku berpamitan, waktu sudah menunjukkan pukul 06.30 WIB. Ibu yang sedang memasak di dapur menjawab dengan berteriak.

“Makan dulu Ndin!”

Aku sudah tidak menghiraukan ucapan ibu, takut jika sampai sekolah terlambat. Hari ini pelajaran pertama Agama. Bu Ita, galaknya minta ampun. Telat hanya satu menit saja dapat tugas menulis satu halaman penuh dengan kata “Maaf terlambat, besok tidak akan saya ulangi.”

Pegel juga menulis satu halaman folio, dengan tulisan yang sama. Banyak siswa yang sengaja datang lebih awal untuk menghindari tugas tersebut. Sial untukku, pagi ini sepertinya akan mendapat tugas yang menyebalkan tersebut. Mana angkot juga nggak nongol-nongol lagi. Hanya bisa menggerutu dalam hati.

Semua memang salahku. Gara-gara semalam begadang akhirnya bagun kesiangan. Sebenarnya sepele, hanya ingin bisa buat puisi yang indah sebagai hadiah ultah. Berkali-kali sudah tertulis di kertas, tapi tetap saja merasa tidak bagus. Padahal hanya menghitung hari dia ultah. Untuk memberi hadiah barang yang mahal, pasti aku tak mampu. Kebetulan dia suka puisi, makanya demi sebuah puisi hingga begadang sampai larut malam.

Lega rasanya angkot yang kutunggu sudah datang, dengan tergesa aku segera naik. Sopir langganan yang sudah tahu jadwalku, segera tancap gas menuju sekolah. 

“Sabar Neng, sebentar lagi sampai! Pegangan yang kuat.” katanya.

Aku suka dengan Mang Asep. Sopir angkot itu selalu tahu yang kumahu. Mengantar sekolah tepat waktu, walau terkadang penumpang yang lain pada ngomel-ngomel karena ngebut demi mengantar ke sekolah biar nggak terlambat.

Kulirik arloji, syukurlah kurang lima menit lagi. Sekita angkot berhenti persis di depan gerbang sekolah.

“Makasih ya Bang,”ucapku setelah memberi ongkos padanya.

“Sama-sama Neng, duluan yak!”jawabnya.

Angkot sudah melaju lagi, dan aku juga harus segera berlari menuju kelas. Sebelum keduluan Bu Ita masuk. Syukurlah, hanya selisih setengah menit lebih duluan dari Bu Ita. Walau aku harus ngos-ngosan mengatur napas sampai di bangku.

Kenalkan, semua orang memanggilku Andin, siswi SMA Negri 01 Semarang. Kini aku duduk di bangku kelas XII. Selangkah lagi akan menjadi mahasiswa. Kalau ada biaya kuliah. Mungkin kerja adalah pilihan kedua jika biaya itu tak ada. Maklum hanya anak seorang janda. Ibu jualan baju di pasar Johar. Usiaku masih tergolong lebih muda di banding teman-teman sekelas. 16 tahun.

“Assalamu’alaikum, selamat pagi semua.”Suara Bu Ita mengawali proses belajar mengajar. Kami serempak menjawabnya. Bagai paduan suara. 

“Pagi ini, Ibu akan menyampaikan pada kalian jika untuk beberapa minggu ke depan, pelajaran Agama Islam akan di ajar oleh Pak Wahyu. Karena ibu ada tugas dari sekolah.”

Dari pintu kelas masuklah pria tinggi, gagah, dan yang bikin kami para siswi menjerit dia ganteng banget. Sampai ada yang melongo, termasuk aku. Ya Tuhan ... senyumnya manis sekali. Sampai-sampai Intan teman sebangkuku nyeletuk. “Ya Allah, ganteng kayak artis Korea.”

Sontak seisi kelas riuh dibuatnya. Bu Ita yang terkenal galak, segera menenangkan kegaduhan ini. Penghapus dia getok-getok ke meja. Akhirnya kami diam. Walau masih banyak yang berbisik-bisik. Memuji ketampanan guru baru. Pak Wahyu memperkenalkan diri. Kini kami tahu, jika guru baru tersebut lulusan STAIN jurusan tarbiah.

Pelajaran Agama tak terasa sudah 2 jam berlalu. Saatnya berganti dengan mata pelajaran yang lain. Kami terhanyut setiap kata-kata yang keluar dari Pak Wahyu. Sudah ganteng, lembut, sholeh pula. Rasanya waktu sehari kalau bisa hanya untuk pelajaran Agama saja kami mau. Cuma para siswanya yang bete. Karena kehadirannya membuat mereka bersaing. Bahkan para gebetan siswa, ada yang minta putus seketika hanya gara-gara ingin bisa jadian sama Pak Wahyu.


 

Hari semakin sore, jam sudah menunjukkan pukul 15.00 WIB. Para siswa satu persatu meninggalkan sekolah. Termasuk juga aku. Seperti biasa, setia di depan gerbang menunggu angkot. Tidak menunggu lama, angkot yang di tunggu sudah membawaku menuju rumah. 


 

Ibu sudah menyiapkan makan untukku. Sayur bayam, tempe goreng beserta sambal tomat sudah tertata rapi di meja makan. Bagai orang kelaparan, aku melahapnya. Ibu sangat tahu makanan kesukaan anaknya. Sungguh beruntung mempunyai orang tua seperti beliau. Sampai kini, juga tidak menikah lagi, hanya demi menjaga perasaan anaknya. Semenjak Ayah meninggal satu tahun yang lalu, Ibu menjadi tulang punggung kami.


 

Beruntunglah, Ayah meninggalkan satu kios di pasar, yang bisa di gunakan untuk berjualan. Sumber penghasilan kami. Memang tidak mudah menjadi orang tua tunggal. Namun ibu dengan ikhlas membimbingku dan menghidupi hingga kini. Tidak kenal lelah beliau bekerja. 


 

Malam ini, aku terus saja memikirkan ide puisi sebagai hadiah ultah untuk Indra. Seseakun yang selalu membuat semangat dalam hidup. Sosok Indra hanya kukenal lewat akun facebook. Hanya lewat sebuah chat kita berinteraksi. Pertama mengenalnya, saat aku salting tulisan yang selalu di unggah. Rangkaian kata yang tersusun membuat hati bergetar. Sisipan ilmu agama selalu tertulis. Mungkin itulah yang membuat arti tersendiri dalam hati.


 

Kami berteman baru enam bulan lalu, tapi kami sudah akrab saja. Dia juga yang membuatku mengerti arti kata syukur yang sesungguhnya. Bagiku dia teman yang mengerti. Memberi motivasi, semangat, teguran tanpa menjatuhkan. Sekarang aku juga lagi semangatnya belajar literasi. Menulis adalah salah satu wadah mencurahkan semua isi hati lewat rangkaian kata.


 

“Ndin, Kamu sudah tidur belum?” Terdengar suara lantang ibu memanggil.

“Belum, Bu ... lagi belajar!” jawabku dari kamar. Sengaja berbohong supaya ibu tidak marah.


 

Kumatikan lampu kamar, agar terkesan sudah tidur. Walau sebenarnya aku masih asyik mencoret-corek kertas dengan pena. Menulis puisi terindah untuknya. 

[Ndin ... sudah tidur?]

Ponselku bergetar, sengaja pakai pengaturan sillen agar tak bersuara. Rupanya ada messeger masuk. Dari Indra! kenapa malam-malam begini dia messeger. Segera kubalas.

[Belum, tumben malam-malam chat?]

[Aku nggak bisa tidur!]


 

Akhirnya malam ini kami berbalas chat. Tak terasa pukul 02.00 WIB dini hari. Mengobrol dengannya lewat chat juga terasa sebentar. Selalu saja ada kata yang bisa kita rangkai menjadi bahan obrolan. Terkadang bisa bikin tertawa, baper atau kadang cemberut. Semua hanya lewat tulisan. Namun sudah cukup jelas tergambar, seakan kami saling bicara bertatap muka.


 

Apakah ini yang di namakan cinta? Entahlah, yang jelas saat dia tidak mengirim pesan, terasa ada yang kurang. Padahal sampai kini siapa di balik seseakun itu aku belum pernah tahu. Kenyamanan sudah melupakan segalanya. Tidak peduli bagaimana sosoknya, yang aku tahu, cukup dengan rasa itu saja.


 

Seperti kemarin, aku kesiangan. Berangkat sekolah tergesa-gesa. Lagi-lagi semua karena begadang. Mang Asep kenapa juga belum lewat? Rasa gelisah sudah menyelimuti jiwa. Alamat terlambat kalau begini. Kembali aku lirik arloji, pukul 06.40 WIB. Hati makin berdebar, andai jalan kaki tetap saja terlambat, dan tidak mungkin karena jauh.


 

Motor matic tiba-tiba berhenti persis di depanku. Pengendara itu membuka helmnya. Seraut wajah yang kemarin baru saja kulihat. Lelaki ganteng yang bikin cewek seisi kelas baper. Pak Wahyu, guru magang baru di sekolahku, sementara menggantikan Bu Ita.

“Kamu anak SMA 1 kan?” tanyanya padaku.

“Iya, Pak!” jawabku.

“Ayo bareng aku saja, biar tidak terlambat, sudah siang ini!” 

Aku hanya mengangguk, segera naik boncengan. Tas aku taruk di tengah sebagai pembatas antara diriku dengan Pak Wahyu. Hatiku lega, karena dapat tumpangan ke sekolah. Akhirnya tidak terlambat. Tidak lupa juga mengucapkan terima kasih. Segera menuju kelas.


 

Di depan pintu kelas sudah berdiri Ela, menghadang. Dengan muka masam menatapku penuh curiga.

“Eh kamu, kulihat tadi boncengan sama Pak Wahyu ... Ada hubungan apa kalian?” Dengan menunjuk jarinya ke bahuku.

“Nggak ada apa-apa! Cuma kebetulan saja berbarengan.” Jawabku sembari menerobos masuk kelas.

“Andin ... aku belum selesai bicara!” Ela berteriak dari luar. Namun tak aku hiraukan. Males pagi-pagi ribut dengan hal-hal yang unfaedah. Terus saja aku melangkah tanpa berhenti, menuju bangku. 


 

Bersambung