Try new experience
with our app

INSTALL

Ikatan Cinta 

Apakah Ini Saatnya?

"Kat, jadwal saya hari ini apa?"

"Ini pak draft finalisasi kontrak dengan PT Dwi Warna sudah selesai. Pak Nino tinggal kasih cap jempol aja."

Beginilah rutinitas yang kujalani sehari-hari. Tanda tangan dokumen (mungkin untuk sekarang lebih tepat disebut cap jempol dokumen), cek proyek serta meeting dengan banyak rekanan bisnis. Benar juga kata Katrin tenggelam dalam kesibukan bekerja bisa menjadi obat untuk mengobati kerinduan terhadap Reyna.

"Kat, ini sekarang kamu sms Rendy pake hp saya. Bilang dia pak Nino ajak dia makan di kafe baru teman pak Nino siang ini. Nama kafenya ada di notes hp saya!"

"Bapak serius mau bantu saya? Saya ada temen curhat tentang mas Rendy aja udah seneng."

"Saya cuma membantu mendekatkan kamu sama Rendy aja. Sisanya biar usahamu dan takdir yang menentukan."

 

Kamar Apartemen Rendy

Setelah makan malam, aku memutuskan untuk masuk kamar. Tadi siang diajak pak Nino berkunjung ke kafe baru temannya bersama Katrin. Makanannya enak belum lagi ada semacam siaran radio di dalam kafe itu. Tema yang dibawakan penyiar menyentil perasaan. Gagal move on persis yang kurasakan selama beberapa tahun ini. Setiap kata-kata yang diucapkan sang penyiar selalu terngiang-ngiang di otak.

Tok ... tok ... tok ...

"Masuk aja ma."

"Aduh ... Rendy kamu itu setelah makan langsung ninggalin mama. Kan mama pengen denger ceritamu sama mbak Katrin."

"Gak ada spesial ma. Lagian aku makan siang ada pak Nino juga bosnya Katrin."

"Aduh ... mama berharap semoga kamu berjodoh dengan mbak Katrin."

"Mama ada-ada aja."

"Ren,kamu kenapa responnya begitu? Maaf mama jadi buka luka lama. Kamu masih mikirin Bella ya? Mama tahu kamu masih trauma ditinggal dia menjelang hari pernikahan tapi sudahlah itu masa lalu. Semua itu bukan salahmu. Takdir baik maupun buruk sudah ditentukan oleh Allah. Manusia itu hanya bisa berusaha dan ikhlas menjalani hidup yang sudah digariskan."

"Maafin Rendy, ma. Tenang ma, aku bener-bener sudah ngelupain Bella."

Aku memeluk mama berusaha menenangkan beliau yang nampak khawatir karena anak tunggalnya hanya tahunya menghabiskan waktunya dengan bekerja saja. Omongan mama hampir persis dengan kata-kata penyiar tadi siang. Apakah ini saatnya? Memaafkan diri sendiri? Membuka lembaran baru? Mencari cinta yang baru?