Try new experience
with our app

INSTALL

Cinta 960 Jam 

Maaf

  Menjelang akhir dari 40 hari kegiatan KKN, akhirnya kami masuk pada puncak acara dimana harus melakukan simulasi pertolongan pertama saat dusun mengalami kebakaran secara baik dan benar dibantu oleh tim Damkar.  Kegiatan itu berlangsung meriah dan dapat tanggapan positif dari warga dusun begitupun pejabat pemerintahannya. Aku sibuk mengabadikan semua moment-moment disana termasuk memotret wajah tampak Galang yang tengah sibuk menemani para pejabat setempat untuk sekedar bercengkrama.
  Jujur saja bosan juga rasanya tanpa Galang disampingku, karena anggota lainnya sudah jelas diboyong Riri untuk menjauhi aku. Seperti biasanya ditengah kebosananku Galang berhasil mengusirnya begitu saja dengan mengirimkan pesan beremoji lucu yang ia sempatkan kirim ditengah percakapan yang ia lakukan dengan orang-orang. Galang bahkan mencuri pandang kearahku duduk dan memintaku untuk sabar menunggunya selesai berbincang. Ah, ini dia hal yang membuat aku semakin dibuat terperosok jatuh kedalam lautan hati Galang. Aku seolah tak ingin menemukan jalan kembali ke daratan. Aku ingin terus tenggelam dimana hanya ada Galang dan aku berdua saja.
  Hari itu setelah Galang dan aku berpisah usai makan siang dan karena Galang harus mempimpin proses simulasi. Aku sibuk memotret setiap moment yang ada sampai akhirnya aku harus mengalami sebuah peristiwa yang mengancam nyawa.
  Hari itu saat simulasi dimulai, disaat Galang pun sibuk dengan tanggungjawabnya sebagai ketua pelaksana. Riri dengan skenario yang telah matang ia rencanakan memulai aktingnya untuk minta maaf padaku di hari terakhir kegiatan. Entah karena aku bodoh atau memang terlalu mudah percaya, ah sama saja ya. Aku mengikuti kemauan Riri dan kebodohanku ini sukses membuat rencana Riri berjalan mulus. Aku terjebak di dalam sebuah gudang kecil yang pengap tanpa handphone dan kameraku yang sebelumnya berhasil Riri ambil.
  Aku sudah lemas, mungkin sudah hampir 3 – 4 jam aku terjebak. Aku berusaha meminta tolong dan mencari jalan keluar tapi tak bisa. Sunyi, dingin, pengap yang hanya aku rasakan. Aku yang tengah berdiri dibelakang pintu kala itu telah kehilangan tenaga untuk mengetuk. Aku pun mundur selangkah demi selangkah lalu terduduk lemas diantara beberapa tumpukan kardus berdebu. Mataku mulai menatap samar-samar di gudang pengap yang redup cahaya, sampai tiba-tiba BRAAAKK!! Terdengar suara pintu gudang itu di dobrak. Aku melihat sekilas cahaya yang menutupi sosok lelaki tinggi, kurus yang sibuk menanyakan keadaanku dengan suara yang jadi menggema ditelingaku. Dia Galang. Galang datang menyelamatkan nyawaku, kini wajahnya jelas terlihat saat ia mulai mengangkat tubuhku ke pelukannya. Aku dapat melihat dengan jelas wajah Galang. Sesaat sebelum mataku akhirnya terpejam karena begitu lemas, aku berusaha membelai wajah Galang yang tampak begitu panik dan seolah takut kehilangan. Aku merasakannya, sangat jelas.
  Aku yang saat itu antara sadar dan tidak, samar-samar melihat bagian belakang tubuh Galang dan suaranya yang tengah marah.aku tak pernah melihatnya semarah itu sejak awal. Aku kira dia hanya mampu mengeluarkan candaan konyol yang menghibur. Saat itu ia begitu marah. Ia teriak pada semua anggota yang membiarkan Riri melakukan ini, meski samar. Aku ingat betul bahwasanya Galang hampir saja memukul Riri. Galang begitu emosi. Wah, jadi begini rasanya dikhawatirkan seseorang begitu dalam. Hatiku seolah diselimuti kabut hangat, lebih hangat dari selimut yang aku gunakan saat aku kedinginan di malam saat musim penghujan datang di kotaku. Maklum, kotaku adalah kota dingin dan sering hujan meski belum masuk musim penghujan. 
  Aku membuka mata, saat itu kulihat sudah sekitar jam 21.00, malam itu puskesmas sudah sepi. Galang masih terjaga disampingku sambil tersenyum dan mengenggam erat tanganku. Entah apa yang aku pikirkan saat itu, seketika aku bangkit dan menjatuhkan tubuhku pada Galang. Aku memeluknya. Aku! aku memeluknya terlebih dulu! Kupeluk ia dengan erat, sangat erat sampai aku dapat dengan jelas merasakan detak jantungnya dan juga jantungku beradu dalam satu irama.  Air mataku mengalir tanpa suara. Entah mengapa, malam itu kebahagiaan semakin terasa begitu manis dan aku menikmatinya. Aku senang Galang tak mengajukan pertanyaan apapun, bahkan ia sama sekali tidak bicara padaku tentang kejadian hari ini. Galang hanya membalas pelukanku dengan erat. Saat ia melepaskannya, dengan segera Galang menghapus sisa air mataku, dan ia meminta maaf. Hanya maaf disertai tatapan sendu darinya yang baru aku lihat malam ini, untuk pertama kalinya setelah hampir 40 hari kami bersama. Aku tahu betul didalam tatapan itu seolah menyimpan banyak kata yang terlalu berat untuk ia ungkapkan. Aku hanya mengangguk, air mataku lagi-lagi menitik.Galang mengulangi lagi kata maafnya dengan lembut lalu seketika wajahnya dan wajahku bertemu begitu dekat dan Galang mencium bibirku. Aku terbelalak sesaat, jantungku benar-benar tak beraturan detaknya. Saat sebelah tangannya mengenggam salah satu tanganku, seketika aku memejamkan mataku dan mencoba hanyut dalam kehangatan malam yang ia ciptakan.