Contents
Cinta 960 Jam
Kesan
“Gue tahu, kamu males banget natap mata orang yang ngobrol sama lo. Tapi khusus gue, gue mau lo tatap mata gue ya.siapa tau ada pelangi kaya lagu”
Mengingat hal ini, aku terus tersenyum geli dan seolah masih terasa dengan jelas bagaimana kedua tangannya meraih wajahku dan ia mendekatkan ke wajahnya agar mata kami saling bertemu. Ia menatapku begitu dalam. Detak jantungku benar-benar tak beraturan saat itu. Waktu terasa terhenti sejenak, aku seolah terhanyut di dalamnya tatapan yang ia berikan.
Dia GALANG, lelaki yang mampu merubah seluruh kehidupanku setelah 40 hari yang kami lalui. Bukan sejenis kontrak mengenai angka 40 hari itu. 40 hari adalah waktu dimana aku dan Galang yang dipertemukan melalui sebuah kegiatan Kuliah Kerja Nyata Skala Nasional, dimana seluruh mahasiswa dari kampus negeri terbesar di seluruh Indonesia dipertemukan dan dijadikan 1 kelompok untuk melaksanakan misi yang ditentukan pemerintah. Galang dan aku tergabung dalam 1 kelompok yang memiliki misi untuk pencegahan kebakaran karena lahan di dusun yang kami tinggali adalah lahan Gambut yang rentan terbakar.
Aku rasa misi ini adalah sebuah boomerang bagiku dan Galang.Kenapa? Karena bukannya mencegah kebakaran, aku dan Galang justru malah membuat diri kami terbakar api asmara.
“Awas!!Ada koper!!!”
“Arrgghhttt!!!”
Tragedy koper ini menjadi awal aku dan Galang memulai kisah. Koperku meluncur dijalanan menurun kala itu dan langsung menyerang Galang hingga terjatuh. Kamera Galang hamper ikut mendarat di aspal, untung saja ia menghindari kondisi itu. Galang pun harus jatuh dalam posisi ajaib dan membuatnya jadi bahan olok-olok semua anggota, padahal saat itu ia tengah perkenalan diri sebagai ketua kelompok. Maklum sikap ceroboh dan santaiku mungkin memang menyusahkan beberapa orang, tapi kali ini aku lakukan untuk orang-orang yang bahkan belum mengenalku.
Tak butuh waktu lama bagiku dan Gilang hingga akhirnya kami menjadi dekat. Dihari kedua, moment yang mendekatkanku dan Galang adalah saat dimana aku dan Galang harus terlambat menghadiri rapat besama pihak kecamatan untuk membahas visi misi kami sebagai anggota. Galang dan aku benar-benar membuat marah seluruh anggota kelompok. Padahal, justru kami mengalami sial karena seluruh anggota kami adalah orang terakhir yang menggunakan motor dan kehabisan bensin ditengah jalan, sementara yang jualan bensin begitu jauh, maklum saja namanya juga dusun kecil. Alhasil aku dan Galang pun harus berjalan kaki cukup lama untuk bisa sampai ke kantor kecamatan.
Di 40 menit perjalanan Galang dan aku mendorong motor menuju kantor kecamatan itu pun jadi moment akhirnya aku dan Galang berkenalan secara resmi, karena sejak hari pertama kedatangan aku dan Galang hanya saling panggil dengan ‘heh’ ‘woi’ ‘situ’ ‘sana’.
“Gue Galang Pradipta”. Galang menyodorkan tangannya yang sebenarnya sibuk memegangi motor, ia tampak seolah berusaha untuk kenalan sehingga membuatku tak enak jika tak balas jabat tangannya.
“Luna Natasha”
“Udah tau sih, gue kan liat nama lo di absen kelompok. Gue cuma ngasih tau nama gue sih, bukan ngajak kenalan. Gue rasa lo butuh tahu nama ketua kelompok lo.”
Aku kesal, dan mendorongnya hingga oleng dan hampir terjatuh bersama motor kearah selokan besar, untung saja Galang hanya bercanda. Galang tertawa terbahak sambil sibuk mendorong lagi motor operasional yang diberikan pak RT untuk kelompok kami. Galang tampak berkeringat cukup banyak saat itu, baju batik rapi yang ia kenakan sebelumnya kini sudah berantakan, bahkan seluruh kancingnya sudah terbuka dan menampakkan baju kaos putih yang melapisi kemeja batik warna mustard miliknya.
Aku tersenyum melihat jurus-jurus humor yang dikeluarkan oleh Galang demi membunuh bosan dan lelahnya kami berjalan tanpa banyak orang lalu lalang dijalanan untuk dimintai tolong membelikan bensin.
Selang beberapa waktu Galang menyempatkan diri untuk mampir ke rumah warga untuk membawakan minum untukku. Tetap saja cara awalnya membuatku jengkel, ia membuatku mendorong motor yang cukup berat itu sendirian dengan bilang ia harus ke toilet dan mencari rumah warga yang terdekat, padahal saat itu disekitar sana rumah warga jaraknya cukup jauh. Galang jalan duluan meninggalkan aku mendorong motor. Di tengah jalan sendirian jelas aku menyumpah serapah. Sesampainya diujung jalan, ternyata Galang menyerahkan botol air minum untukku sambil tersenyum dan mengusap kepalaku.
“Kasian cewek nggak cantik dorong motor berat sendirian!” Galang tersenyum menatap dalam padaku dan mempersilahkan aku untuk minum, dengan wajah cemberut dan kelelahan aku minum air yang dibawa Galang.
“Minumnya jangan sambil cemberut lah, nanti keselek susah lagi gue nyari tambahan airnya. Ini aja udah marathon 10 kilo loh.”
“Bodo amat!”
Akhirnya kali ini aku yang jalan duluan meninggalkan Galang yang keberatan mendorong motor. Galang jelas-jelas tertawa sambil minta ditunggui. Teriknya matahari siang itu tak membuat lelah Galang untuk meledekku sepanjang perjelanan demi tadi, membunuh lelah dan bosan.
Galang memang begitu, ia tak pernah menyatakan apapun niatannya dalam arti sebenarnya. Galang selalu melakukan tindakan-tindakan mengejutkan untuk menunjukkan maksudnya, mungkin karena ia begitu malas menjelaskan sesuatu yang menyangkut perasaannya., terutama rasa cintanya.