Contents
Cintaku Di Ujung Jalan
Lelaki Bernama Sakti
Beberapa hari kemudian, Dira mengikuti meeting di setiap toko buku yang akan menjual bukunya. Prediksi si penerbit terhadap karya Dira sangat positif. Novelnya akan disukai dan dibeli banyak orang karena cerita percintaan itu masih digemari. Setelah mengurus semua persiapan launching novel, akhirnya sampai pada hari pertama rilis bukunya. Dira memilih toko buku “Kanaya” untuk menjadi launching novelnya di hari pertama. Toko buku Kanaya yang berdekatan dengan kampusnya dulu mengingatkan dia akan kisah indahnya bersama Sakti. Lalu dia mengambil salah satu buku yaitu, P.S I Love You karya Cecilia Ahern. Dira tersenyum simpul melihat itu.
4 tahun lalu...
Tampak di tengah lapangan semua mahasiswa baru sedang dijemur di bawah teriknya matahari sambil semua berjongkok. Lalu mereka disuruh jalan bebek mengitari lapangan, termasuk Dira berada disana dan tampak kepanasan namun dirinya tampak menahannya.
“Cepetan dong, jalannya lelet banget! Mau pada makan siang ngga?” seru seorang seksi disiplin.
“Iya kak.” Jawab semua mahasiswa baru.
“para pemandu semuanya tolong di arahkan ke tempat masing-masing!”
Lalu semua pemandu membawa mahasiswa barunya. Saat itu Dira sudah bersama Riana dan delapan teman lainnya. Mereka bingung karena biasanya kak Devan yang mengawal mereka namun sekarang mereka dibimbing oleh kak Sakti. Sakti adalah kakak senior satu tingkat dari Dira, dia menggantikan Devan yang sedang ada urusan dengan dosen. Semua pada melongo, apalagi cewek-cewek di kelompok Dira. Sakti adalah sosok yang tampan, berbadan tinggi dan proporsional.
“Kok pada ngelamun, ayo silakan dibuka bekal kalian. Waktu kalian cuma 15 menit saja”. Sakti ternyata bersuara lantang sekaligus dingin.
Para pemandu hanya berdiri menjaga mereka semua saja dan tidak ikut makan. Dira memperhatikan Sakti yang ternyata dia memakai band P3K di lengan kanannya. Sakti kelihatan kelelahan juga karena dirinya mengurus beberapa mahasiswa sakit. Dira yang kelelahan terlihat pucat dan lemas.
“Dir, lu gak apa-apa?” Riana tampak khawatir.
“Ngga apa-apa, cuma tadi pagi gue takut telat jadi ngga sarapan.”
“Tuh kan, mending habis ini lu ke tenda p3k aja deh.”
Dira hanya mengangguk lalu mau membuka bekalnya. Lalu dia melihat ada dua botol air mineral di dalam tasnya. Dia lalu mengambilnya dan memberikan pada Sakti.
“Kak, ini minum dulu.”
“Ngga usah, makasih buat kamu aja.” Sakti masih tampak sok cool.
Dira yang masih berdiri sempoyongan, hingga membuat Sakti akhirnya melihat benar-benar mukanya Dira. Dia melihat Dira mimisan.
“Eh itu kamu mimisan.” Sakti lalu mengeluarkan saputangannya dan memberikan padanya.
“Ngga usah, makasih kak, saya ada tissue.” Namun saat Dira hendak beranjak, dia lalu terjatuh pingsan. Sakti lalu terkejut, begitu pula Riana dan mahasiswa lainnya. Mereka langsung membantu Sakti untuk mengangkut Dira.
Dira sudah terbaring di ruangan UKS kampus. Lubang hidung bagian kanannya tersumpal oleh saputangan yang Sakti tadi berikan. Tampak Sakti sedang menunggunya sambil membaca buku. Dira tak lama pun tersadar, dia memegang kepalanya lalu tersadar ada saputangan Sakti di hidungnya. Dia pun melihat Sakti duduk di sebelah tempat tidurnya.
“Aduh, maaf kak sapu tangannya...”
Sakti langsung menoleh kearah Dira yang sudah tersadar. Lalu dia mengambil botol air mineral yang tadi Dira tawarkan dan terlihat sudah habis setengah. “impas kok”. Dira lalu reflek tersenyum, Sakti juga reflek ikut tersenyum lebar.
“kamu udah ngga apa-apa?”
“Masih pusing sedikit. Tapi nanti juga enakan.”
“lain kali kalo mau ospek gini, sarapan dulu. Jadi kuat, karena banyak kegiatan. Kamu boleh langsung pulang buat istirahat.”
“Iya kak, makasih yah. Hmm, kakak siapa?”
“Saya Sakti. Pengganti Devan sementara. Biasanya saya ngurus P3K.”
Dira mengangguk lalu dia berusaha untuk bangun dari tempat tidur. Tapi Dira masih agak sempoyongan, lalu Sakti reflek memegang Dira dan membantunya. Dira dan Sakti sejenak bertatapan lalu mereka berdua malah tersenyum.
1 bulan setelah pertemuan pertama dengan Sakti...
Dira, Riana, dan Bian sedang menjajaki perpustakaan mereka berpencar mencari buku-buku yang akan dipelajarinya. Lalu Dira melihat bagian novel sastra. Dia mengambil salah satu novelnya lalu mengeceknya. Ternyata di sudut lorong novel sastra tersebut duduk seorang mahasiswa yang menutupi mukanya dengan novel. Tak lama terdengar suara seperti membersihkan hidung habis menangis. Dira lalu melihat kearah sudut itu penasaran tapi dia membiarkan. Perlahan Dira mendekati sudut lorong karena mengecek beberapa novel. Mahasiswa tersebut tidak sengaja melihat Dira dan di saat bersamaan, Dira melihat ternyata itu Sakti. Sakti langsung menghapus air matanya.
“Kak Sakti, kenapa?”
“ah..ahaha cuma terharu aja.”
Dira lalu mengambil saputangan yang mana itu adalah saputangan yang Sakti berikan waktu itu dan memberikannya.
“Biasanya cowok gengsi kalo ketangkep nangis sama cewek gara-gara baca novel atau nonton film. Tapi kak Sakti...”
“ngapain gengsi, mengekspresikan apa yang kita rasakan terhadap sebuah karya seni adalah apresiasi juga kan. Saputangannya ambil aja, itu buat kamu.”
“Iya kak. Hmm, kak Sakti suka novel romance yah?”
Sakti sadar kalau dirinya sedang membaca novel P.S I Love You by Cecilia Ahern dan tergeletak begitu aja. “Ah iya, kamu baca deh! Bagus, menyentuh..”
“Noted kak. Nanti aku baca juga. Sekarang aku harus cari novel buat diteliti pake teori Marxisme.”
“oh gitu, tahun lalu saya juga meneliti pake teori itu buat tugas tingkat 3. Kayanya yang asik, kamu harus pake novel yang ini.” Sakti lalu menunjukkan salah satu novel lalu menerangkan ke Dira. Dira tampak terkesima dengan penjelasan Sakti.
Pembicaraan mereka berlanjut ke sebuah restoran padang yang selalu dibanggakan oleh Sakti dan memang rasa masakan padangnya terenak yang pernah aku coba di Jakarta. Sakti senang membicarakan karya sastra dan apa yang dia baca. Bahkan Sakti senang membaca kritik sastra yangn Dira buat dan mencoba menganalisis apa yang kurang. Bahkan mereka pergi ke toko buku yang disukai oleh mereka. Kebiasaan tersebut membuat mereka bersama lebih lama.
Hingga Dira merasa telah menyukai Sakti, tapi ada yang janggal dengan menyukainya. Sakti terlalu polos, bahkan sangat terlalu mudah untuk menyukainya. Dia hanya memiliki beberapa teman, dan tidak punya pacar. Tapi hampir satu tahun kebersamaannya dengan Dira. Tidak meninggalkan apapun. Bahkan Dira tidak pernah tau apa yang Sakti rasakan padanya. Yang dia tau Sakti hanya rajin belajar dan ingin cepat lulus kuliah. Hingga Dira membuat list yang akan dia paparkan kepada teman-temannya untuk diceritakan.
“Sakti selalu pergi ke perpustakaan dan restoran padang sama gue, bahkan dia juga mau di ajak ke coffee shop buat ngerjain tugas bareng. Sakti kadang suka antar jemput gue buat pergi kuliah. Sakti suka pinjemin gue buku dan apapun yang kira-kira ngebantu tugas gue. Kita suka telponan sampai malem cuma ngebahas film sama buku. Udah gitu gue ajak nonton di bioskop dia juga mau. Dia ngga pernah berpaling ke cewek secantik apa di depannya kalau sama gue. Dia selalu fokus ke gue. Tapi kita ngga pernah bahas atau fokus ke diri kita sendiri.”
“bentar deh, dia ngga pernah berpaling ke cewek secantik apa itu, apa jangan-jangan dia gay?” Bian nyaut tanpa alamat.
“Hmm..kalo dari gelagatnya sih ngga yah, karena dia intens banget lho sama Dira.” Gerry juga ikut mikir.
“Gue rasa, dia tuh nyaman sama lo, Dir. Dia bukan tipe orang yang gampang ekspresiin perasaannya tapi dia bakal ngasih waktunya Cuma buat cewek yang dia sukain. Lo inget-inget deh kalian pernah ngasih sesuatu buat masing-masing ngga?” Riana ikut termenung dengan Dira.
“iya bener, emang Gerry, gampang ngomong suka aja sama cewek-cewek. Diterima kaga, ditampol iya.” Bian ketawa-tawa sambil ledekin Gerry. Gerry cuma merengut kesel.
“Yang gue inget, dia ngga pernah ngembaliin kotak bekel yang gue kasih ke dia. Gue nanyain terus tapi dia lupa mulu sampe gue ikhlasin. Buku dia yang gue pinjem juga ngga boleh dibalikin.” Dira lalu meneruskan curhatnya.
“Dia suka sama lo, Dir. Kayanya lo harus tanya sama dia kalian berdua itu apa. Walaupun kalian keliatan udah kaya pacaran. Tapi status boleh diperjelas dong udah mau setahun setengah lho.” Riana menjawab agak menohok ke Dira.