Try new experience
with our app

INSTALL

Cintaku Di Ujung Jalan 

Pulang

  Sepasang kaki terlihat jalan tergesa membawa koper berwarna abu-abu. Hingga tampak kerumunan yang melambaikan tangan kearahnya dan memanggilnya. 
“Hey, Nadiraaa!!!” panggil beberapa orang yang ada di depannya. 
 

 Nadira, 29 tahun, tampak cantik dengan tinggi semampai,  telah pulang ke Indonesia setelah menempuh studi S2nya di Cambridge. Kepulangannya disambut oleh Ayah dan teman-teman masa kuliahnya, Bian, Riana dan Gerry. Dira, sapaan akrabnya menceritakan pengalamannya di Cambridge. Dira menghambur mereka dengan pelukan dan tersenyum bahagia. Dia pun memeluk ayahnya dengan erat, terjadi keharuan di antara keduanya. Gerry yang paling caur di antara mereka langsung memecah keharuan tersebut. 
 

“Ehm..laper...Ehm..traktir kelulusan.” 
Dira langsung melirik ke Gerry, “Iya..iyaa makan masakan padang yaah! Gue kangen banget!”  
“Yaampun kasian bener yang makannya English Breakfast muluu!” Bian ikut nyaut. Dira hanya melirik kesal ke Bian yang senyam senyum.
Lalu ayah Dira jadi agak sedih, “maaf yah, ayah ngga sempat kirimkan kesana.”
Dira langsung menatap ke ayahnya, “Ngga apa-apa ayah, Dira juga inginnya makan masakan padang itu sama ayah dan sobat-sobat Dira. Ayah jangan merasa bersalah.” 
“Iya om, Dira juga sering bilang ke aku gitu. Jadi om ngga usah sedih.” Riana tampak mencoba menjelaskan juga ke Ayah Dira. Dira pun tersenyum mendengarnya. Mereka lalu pergi dari sana. 
 

  Sampailah mereka ke sebuah restoran masakan Padang dan duduk di meja yang cukup panjang. Nadira mulai bercerita tentang launching novelnya yang akan diadakan akhir minggu ini. Cerita Dira sempat terpotong-potong karena pelayan terus-terusan memberikan lauk-lauk yang menggiurkan. Gerry langsung melihat Dira yang makin ngga keru-keruan ceritanya. 
 

“Makan dulu kali, itu mata udah mau ikutan masuk ke piring!” 
“Hahaha..iyaa ger. Lo liat aja sih!” Dira tampak malu tapi tertawa saja. 
“Iya makan dulu, kamu mau ayam pop kan?” Ayah dengan nadanya pelan dan lembut membuat Dira langsung mengangguk. 
 

  Mereka makan dengan lahapnya sambil sesekali ketawa-tawa karena ulahnya Gerry. Lalu Dira agak terdiam dan melihat ke sebuah sudut, meja yang hanya terdiri dari empat orang. Dira tertegun cukup lama hingga Riana sadar sahabatnya itu melamun. 
 

“Masih inget yah?” 
Dira tersadar lalu agak bingung menjawab, “Ngga kok Ri, ngg, ngga tau..” 
“Gue juga ngga dapet kabar apa-apa soal dia”. Riana tampak sudah tau maksud Dira. 
“Ah, yaudah lupain aja Ri”.   
 

  Sesampainya di rumah, Dira masih merangkul ayahnya masuk. Ayahnya kekeuh ingin membawa kopernya Dira. Lalu dia bertanya. 
 

“Ibu sama Hardy mengunjungi kamu selama disana ngga?” 
  

  Dira lalu agak terkejut dengan pertanyaan ayahnya. “Hmm, tiga bulan sekali yah. Tapi kadang suami barunya itu ngga dibawa. Terus Alvin mana yah?” 
Sembari masuk ke dalam, ayah mulai bercerita. Ayah bilang, dia ikutan ekskul musik, biasanya pulang jam 8. Dira hanya menghela nafas lelah, kenapa anak orang tuanya tidak membawanya saja. Ayah mencoba menenangkan Dira dengan bilang kalau, setidaknya Alvin ada saat malam ayah, jadi ayah nggak pernah merasa sendiri. Dira menghela nafas kembali dan bilang pada ayahnya. 
 

“Dira masih heran sama ibu, kenapa harus nitipin Alvin disini”. Dira merasa kesal tapi dia tahan sebisa mungkin di depan ayahnya. 
“Tenang ayah, Dira udah di Jakarta dan akan selalu bersama ayah. Kalau Alvin atau siapapun macem-macem sama ayah, Dira adalah pelindung pertama buat ayah”.
 

  Ayahnya tersenyum lalu merangkul ayahnya itu. Dira adalah anak tunggal, ia hanya memiliki satu adik tiri dari pernikahan kedua ibunya. Selama ini mereka berusaha untuk membiayai biaya sekolah adik tiri Dira, Alvin. Ayah masih sangat tersinggung dengan pernikahan kedua ibu Dira. Dira selalu berusaha menghibur dan membantu melupakan sosok istrinya.