Contents
ADEK SUPER
ADEK SUPER
Adek Super
By Nazila
Saat itu, aku sudah kelas satu SMK. Namun, baru terlintas di otak berbagai keanehan. Salah satunya adalah pertanyaan; mengapa aku sangat berbeda dengan kakak laki-lakiku? Padahal, kita dilahirkan dari ibu yang sama. Kakak sangat pendiam, kalem, rajin, dan pandai. Sedangkan aku, anak yang bedigasan dan pemalas. Ah, bodo amat! Yang penting aku terlahir dengan wajah tampan.
"Mak, dulu waktu mengandung aku, nyidamnya apa, sih? Kok Mas Afham pinter aku enggak?" protesku, sesaat setelah duduk di lincak dapur yang sama bersama Emak.
Seperti tak menghiraukan keberadaanku, Emak terus saja sibuk mengulek bumbu hingga terasa goyangan karena kekuatan tangan Emak melembutkan rempah-rempah.
"Maaak!"
Belum juga mulutku bungkam, satu siung bawang putih mendarat cantik di jidat lebarku.
Cletuk!
"Aduh, Mak." Aku mengusap jidat kasar lalu menempelkan ujung telapak tangan di pucuk hidung mancungku.
Masih untung bawang yang melayang. Coba kalau ulekan cobek di tangan Emak, pasti memar-memar wajah manisku ini.
"Sampean iki lucu, Le. Kalau mau pintar, ya, yang semangat belajarnya, hormati guru, dan taat kepada orang tua. Insya Allah ... sampean akan mudah memahami pelajaran dan mendapat ilmu yang bermanfaat. Ngerti, Cah bagus?"
"Ya, ya, Mak." Aku berlalu meninggalkan dapur yang dipenuhi aroma khas tempe busuk yang sedang direbus.
Hampir setiap hari Minggu, aku mengganggu Emak yang sedang sibuk di dapur memasak sambal tumpang atau menggoreng adonan rempeyek.
Seperti biasa, Emak menyiapkan menu jualannya di kantin MTS swasta yang berdiri kokoh di depan rumah sehari sebelumnya. Alasannya masuk akal, kalau sudah menjadi blendrang alias sudah dihangatkan beberapa kali, makanan khas Kota Kediri ini akan semakin nikmat rasanya. Apalagi memakannya saat perut terasa lapar, nikmatnya bertambah ratusan kali lipat.
Dari ambang pintu dapur, aku melihat Bapak yang sedang sibuk membersihkan becak tuanya. Bukannya membantu, aku malah memutar badan menuju kamar Mas Afham untuk menggodanya.
Tanpa mengetuk pintu, aku langsung nyelonong masuk dan menghempaskan badan di kasur. Mas Afham hanya melirik lalu kembali fokus ke layar laptopnya.
"Mas, otakmu nggak keriting apa? Setiap saat menatap angka, angka, angka, dan angka."
"Heh, kriting-kriting. Emangnya emi." Dia menutup laptop lalu menghampiriku dan mengacak-ngacak rambut adiknya yang tampan ini.
"Ah, Mas. Gak asik. Hari libur belajar mulu," protesku kepada mahasiswa fakultas ekonomi itu.
Memang benar, sih, yang dilakukan Mas Afham. Sebagai pelajar, waktu adalah ilmu sehingga tidak boleh disia-sikan. Akan tetapi, kalau libur, bolehlah istirahat sebentar.
Karena kepandaiannya, Mas Afham mendapatkan beasiswa kuliah di universitas ternama di Kota Surabaya. Dia hanya pulang saat libur kuliah atau libur panjang.
Keluarga kami sering sekali mendapat nyiyiran dari tetangga berkaitan tentang pendidikan. Kata mereka, kami hanyalah anak dari penjual nasi tumpang dan tukang becak yang sok bergaya menyekolahkan anak tinggi-tinggi.
Sebenarnya, bukan tentang apa pekerjaan orang tua dan berapa penghasilannya. Karena bagi Bapak dan Emak, pendidikan adalah investasi terbaik sehingga mereka selalu mengusahakan semaksimal mungkin untuk kami.
Satu tahun kemudian, Mas Afham telah resmi menyandang gelar S1 Akutansi dan langsung diterima bekerja di Bank Indonesia (BI). Sejak saat itu, perekonomian keluarga kami terbantu dengan gaji Mas Afham.
Sungguh aneh, kesuksesan yang diraih Mas Afham tidak menjadikan aku termotivasi. Entah apa yang merasuki diriku? Aku merasa tak punya keahlian apa pun apalagi kepandaian akademis.
Namun, pernah suatu hari aku merasa bagaikan pahlawan kehujanan karena mendapat banyak pujian dan aneka bingkisan hadiah dari seorang mama muda yang datang ke rumah.
Bapak dan Emak tidak mengerti sampai akhirnya mama muda itu mengakatan bahwa semua itu sebagai ucapan terima kasih kepadaku karena nyawa putrinya telah terselamatkan.
Mama muda itu juga bercerita panjang sekali; mulai dari kecemasannya saat melihat kondisi si buah hati sampai kesulitannya membopong sambil menangis di tengah hujan menuju puskesmas.
Padahal, bagiku biasa saja. Karena waktu itu, aku hanya sedang bermain hujan-hujanan. Tidak jauh dari tempatku, ada gadis kecil terpeleset ke selokan. Dia sudah mengambang. Aku segera berlari dan menarik tangannya dan menahan agar dia tidak terseret air selokan yang mengalir deras.
Aku menggendong dia dan mendekapnya erat seraya mencari ibunya yang ternyata sedang asik bermain ponsel di bale-bale rumah. Terlalu asih dengan layar ponsel sehingga tak memperhatikan kalau putrinya sudah bermain di luar tanpa pengawasan.
Mas Afham yang sedari tadi mendengarkan cerita mama muda itu menepuk pundakku dan berkata, "Adikku memang super."
Aku ... hanya tersenyum.
***
Satu tahun sudah Mas Afham bekerja dan aku segera lulus SMK. Belum terpikir olehku mau melanjutkan ke mana, padahal Mas Afham sudah siap menanggung biayanya.
"Mas, foto siapa ini? Cantik sekali," godaku kepadanya.
Kulihat foto kecil di dalam dompetnya. Kaget juga karena selama ini kakakku yang lebih terlihat imut dariku itu tidak pernah punya pacar.
Mas Afham segera menutup dompetnya dan membela diri, "Apaan sih, Dek!"
Jujur, aku tidak suka kalau dipanggil "Dek" karena membuat jiwa keperkasaanku sirna seketika.
"Besok akan kukenalkan kepada Bapak dan Emak. Dia dokter. Kamu suka, kan, punya kakak ipar dokter?"
Mataku berbinar. Aku mengangguk sambil tersenyum bahagia.
Keesokan harinya, Mas Afham memperkenalkan dokter cantik itu kepada Emak dan Bapak. Kulihat rona kebahagiaan terpancar di wajah Emak. Seperti yang beliau idam-idamkan, memiliki mantu seorang dokter.
Acara pernikahan akan dilaksanakan setelah kelulusanku. Kemudian, setelah aku lulus nanti, Bapak memintaku agar bersedia menerima tawaran Bapak Kepala Mts untuk mengajar pelajaran tambahan komputer sesuai jurusan yang kupelajari selama tiga tahun ini.
Kata Bapak, kalau aku tidak mau melanjutkan belajar lagi, aku harus mengamalkan ilmu supaya semakin berkah dan menjadi orang yang bisa memberi manfaat. Seperti Bapak yang suka rela menjadi tukang sapu di sekolah sebelum berangkat narik becak.
Hari kelulusan pun tiba, Emak dan Bapak memelukku seolah-olah mereka bangga memiliki putra sepertiku. Meskipun aku memiliki karakter yang bertolak belakang dengan Mas Afham, mereka tak pernah membeda-bedakan. Karena menurut mereka, setiap anak itu unik dan memiliki kecerdasan masing-masing.
Mas Afham pun memelukku dengan erat, erat sekali, dan ternyata ... pelukan itu adalah pelukan terakhir untukku.
Tepat dua hari setelah aku resmi menjadi alumni anak SMK, Mas Afham mengalami kecelakaan yang merenggut nyawanya saat perjalanan menuju Surabaya.
Entah bagaimana aku menjelaskan perasaan sakit itu. Tak bisa tertuliskan.
Karena kami sedang berduka, para karyawan warung nasi tumpang yang dibangun Mas Afham dua bulan yang lalu diliburkan untuk sementara waktu.
Ucapan bela sungkawa digital terus membanjiri pesan What'sApp-ku. Air mata Emak tak berhenti mengalir meskipun beliau sudah mencoba menahan. Begitu pun dengan Bapak.
Dalam pelukanku, Emak berkata, "Sampean ngerti, Le. Kenapa orang tua yang kehilangan anaknya tidak ada sebutan untuk mereka?" Kueratkan pelukanku tanpa menjawab pertanyaan Emak.
"Kalau anak ditinggal ibunya disebut piatu. Suami kehilangan istri disebut duda. Tapi ... kalau ibu kehilangan anak tidak ada sebutannya karena sakitnya terlalu dalam, Le." Emak semakin terisak sesenggukan dalam dekapan tubuh kekarku.
Sedangkan aku, sekuat tenaga menahan rasa perih di kedua mata yang kian memanas.
***
Empat puluh hari setelah kepergian Mas Afham, warung nasi Emak buka kembali dan Bapak pun mulai bekerja narik becak. Sementara aku, selain mengisi pelajaran komputer di Mts, juga bekerja sebagai satpam di sebuah swalayan besar di Kota Kediri. Karena mengajar itu bukanlah suatu pekerjaan yang diharapkan upahnya, tetapi merupakan pengamalan ilmu.
Ada ratusan pesan di WA-ku yang belum sempat kubuka. Sepertinya, semua berisi ucapan turut berduka cita. Namun, ada satu pesan dari nomor tak dikenal yang menarik perhatianku. Chat dari Reni, temanku waktu SD dulu. Tumben. Kubalas saja dengan kata 'terima kasih'. Tak berselang lama, dia membalas lagi. Akhirnya, sejak saat itu, kami jadi sering chattingan.
Reni adalah anak tunggal dari seorang pengusaha mebel. Sudah enam tahun kami tidak bertemu. Sebagaimana cita-citanya dulu, dia melanjutkan pendidikan di fakultas kedokteran. Kupikir, tak ada salahnya aku mendekatinya karena selama ini Emak menginginkan menantu seorang dokter.
Aku memutuskan datang ke rumah Reni untuk menemui orang tuanya. Bukan melamar, hanya silaturrohim. Reni dan ibunya menyambutku dengan baik, tetapi tidak dengan bapaknya. Aku dihina habis-habisan. Katanya, aku hanya seorang satpam, tidak pantas bersanding dengan putrinya yang calon dokter itu.
Sejak penghinaan itu, aku bangkit. Bukan demi mendapatkan Reni, tetapi demi diriku sendiri agar menjadi lebih baik.
Aku bingung, apa yang pantas untuk diriku. Tubuhku tegap, tinggi, juga berotot. Menjadi satpam memang sudah cocok. Namun, pekerjaan apa yang lebih baik lagi sesuai bakatku.
Aku mencari info ke sana kemari sampai akhirnya aku menemukan sebuah kabar gembira di papan reklame yang berisi tentang rekruitmen dan seleksi untuk calon anggota POLRI.
Di sana juga diumumkan, bahwa tidak dipungut biaya sepeser pun bagi masyarakat yang berminat menjadi anggota polisi. Betapa bahagianya. Aku segera meminta izin Emak dan Bapak.
Dengan mengantongi restu orang tua, aku berangkat mengikuti seleksi dengan membawa semua persyaratan. Allah selalu memudahkan segala urusan jika kita mendapat rida orang tua. Aku lulus, dan akhirnya melanjutkan sekolah di akademi kepolisian.
Empat tahun sudah aku mengenyam pendidikan kepolisian. Kini, aku sudah resmi diangkat menjadi perwira polri dengan output pangkat inspektur polisi dua (Ipda).
Emak dan Bapak sangat bahagia. Jika Mas Afham tahu, dia juga pasti sangat bahagia.
Aku sudah mulai bertugas. Hari-hariku sungguh menyenangkan. Melindungi masyarakat juga menolog banyak orang.
Di tengah melaksanakan tugas sebagai abdi negara, aku mendapat kabar dari Emak kalau Bapak kecelakaan saat narik becak. Padahal, aku dan Emak sudah melarang Bapak narik. Namun, beliau tidak mau kalau hanya duduk diam di rumah. Ingin menyegarkan otak katanya. Mungkin, karena Bapak adalah pekerja keras sehingga tak mau bermalas-malasan.
Aku segera pulang dan membawa Bapak ke rumah sakit besar agar mendapat penanganan terbaik. Sedikit pangkling, dokter yang menangani Bapak adalah calon istri Mas Afham dulu. Dia masih sama, cantik dan santun.
"Apakah kamu si adek super itu?" tanya Bu Dokter setelah memeriksa kondisi Bapak.
Aku yang duduk di depan mejanya merasa heran. Bagaimana dia bisa tahu panggilan sayang itu?
"Apa, Dok? Adek super?" Aku bertanya heran dan diam sejenak.
"Dulu, Mas Afham memang sering memanggilku begitu. Mungkin, karena rasa sayang seorang kakak kepada adek," imbuhku.
"Bukan, tapi kamu memang adik super. Super baik, pemberani, penolong, rela berkorban. Mas Afham sering bercerita tentang kamu. Waktu kecil, kamu sering memanjat pohon demi menolong kucing yang ketakutan turun ...."
Belum selesai dia bicara, aku menyela.
"Masku ternyata pintar ngomong, ya, kalau dengan pasangannya," ujarku disusul tawa kami bersamaan.
"Entah, bagaimana kucing itu bisa naik pohon, tapi nggak bisa turun," lanjutku. Kemudian, kami tertawa lagi.
"Mas Afham juga cerita," ucapnya dengan suara sedikit parau seperti menahan pedih. "Kamu pernah telat ke sekolah dan dimarahi karena seragammu kotor. Kamu harus mengikuti remedi, bahkan nyaris tidak dinaikkan kelas karena menyelamatkan nenek-nenek yang sebagian rumahnya kebakaran, padahal kamu sendiri takut api." Kali ini dia menatapku. Buliran bening jatuh di pipinya.
Aku tahu, pasti dia sedang rindu. Seperti aku yang selalu rindu pada kakak laki-laki superku.
Kami bercerita terlalu lama. Segera aku pergi menemui Bapak di kamar rawat inap setelah mendengar penjelasan tentang kondisinya. Beliau tidak apa-apa, hanya kecapean sehingga membuatnya terjatuh. Lukanya juga tidak terlalu serius. Besok sudah boleh pulang.
Pertemuanku dengan Bu Dokter mantan calon kakak ipar terus memenuhi otak.
Sejak kapan dia ditugaskan praktik di RS kota kami?
Dan, mengapa sampai sekarang dia belum menikah?
***
Satu minggu setelah kepulangan Bapak dari rumah sakit, Bu Dokter datang menjenguk dengan membawa buah tangan banyak sekali. Katanya, sebagian buah dan makanan itu untukku agar aku selalu sehat dan kuat supaya bisa menolong banyak orang. Ah, jadi tersandung, eh tersanjung.
Saat kami mengobrol berdua, Bu Dokter mengeluarkan sesuatu dari tasnya; sebuah kertas dengan coretan pena. Dia menyuruhku untuk segera membacanya.
"Silvia kekasihku. Jika aku tidak bisa menepati janji untuk menikahimu. Tunggulah adik superku sampai dia sukses. Dialah yang akan memenuhi semua janjiku padamu."
Menitiklah air mataku sesaat setelah membaca surat wasiat Mas Afham yang dia tulis untuk calon istrinya. Tak bisa kubayangkan, betapa sedihnya saat dia merangkai kata-kata itu di tengah keadaannya yang sedang berbaring lemah.
Kulipat kembali kertas usang dengan tinta yang mulai luntur itu, lalu memberikannya kepada Bu Dokter. Dia menatapku lama dengan mata memerah dan berkaca-kaca.
Aku bisa mengartikan tatapan sendu itu. Inikah yang namanya jodoh di tangan Tuhan? Setelah aku dihina dan ditolak mentah-mentah, sekarang aku mendapatkan jodoh yang jauh lebih baik.
"Bapak Ipda Fazil Akbar, aku tidak pernah mencarimu demi menunaikan wasiat kakakmu. Tapi, aku selalu memohon kepada Allah, agar Dia mempertemukan kita di waktu yang tepat."
Mendengar kata-katanya, ada yang sedang berkembang di sini. Hati.
Tamat.