Try new experience
with our app

INSTALL

Bayangan Kita 

Chapter 2

  Hari ini adalah hari yang ku tunggu-tunggu. Melihat lembut matanya, dan ingin segera mendekapnya.

“Emakkkk….” Suaraku lantang.

  Kuciumi tangannya yang khas dengan aroma rempah-rempah yang selalu menemaninya. Segera ku peluk ia seolah rinduku sudah tumpah begitu saja.

  Ia adalah ibuku, Mak Endah. Orang-orang biasa menyebutnya begitu disini. Ia adalah seorang pedagang cengkeh, maka dari itu aku pun tak heran bila aroma itu terus melekat di badannya. Namun, sorotan matanya yang lembut dibalik guratan-guratan yang telah menghiasi wajah cantiknya tetap membuatku merasa nyaman bila memeluknya.

“Kok ndak telepon dulu toh?” tanyanya yang mulai penasaran.

“Yo.. biar jadi kejutan wae lah mak” jawabku tersipu malu.

  Sang langit telah merubah jubahnya keunguan, suara jangkrik yang khas pedesaan seolah pula menyambut kedatanganku. Di halaman rumah kami yang berhiaskan lentera kecil kesayangan bapak telah dikerumuni sekawanan kunang-kunang yang seakan bercerita satu sama lain. Suasana itu pula yang membuatku terkadang larut dalam tingkah mereka.

  Entah firasat kuat seorang ibu yang percaya anaknya akan kembali atau hanya kebetulan saja, di meja makan kami telah tersedia menu gudeg gerang asem yang menjadi favoritku. Sayang sekali Tari, si anak tomboy yang telah berubah itu tak ikut makan bersama dengan kami. Ia langsung pulang setelah mengantarku.

“Wah.. emak memang juara! Tahu saja kalau anak kesayangannya ini akan datang.” Sambilku menyendok nasi dari bakul.

“Oalah.. ini bukan emak yang masak, tapi tuh..” emak melirik ke dapur membuat ku penasaran.
“Siapa?” kataku.

  Seolah mendengar pembincangan kami, seorang gadis dengan rok katun merah bermotif bunga dan baju kaos putih itu keluar dari bilik dapur. Wajahnya nan rupawan mengajakku kembali bernostalgia. Masih terngiang di kepalaku saat kecil dulu, dengan tidak sengaja tali layanganku yang berhamburan melilit betisnya yang kuning langsat. Tak akan aku lupa. Ayu tenan.. sama seperti namanya Ayu.

“Hush! Udah bengong aja. Bagaimana kerjaanmu di negeri orang? Lancar ora?” suara emak membangunkanku dari lamunan.

Setelah suapan pertama aku menjawab “Oh ndak juga mak. Aku bosan. Maka dari itu aku ingin buka usaha disini.”

“Nah begitu kan apik.. waras juga akhirnya ini bocah.” Tanggap emak sambil tertawa. Aku pun tetap melahap menu malam itu dengan nikmatnya.

“Emak toh sudah bilang dari dulu mulailah untuk bangun desa mu dulu. Jangan melihat gaji besar lalu lupa akan desa sendiri. Kalau kamu mau mengajar disini sambil turut membantu Ayu kan lebih handes..”

“Ayu? Membantunya? Apa maksudnya?” tanyaku dalam hati.

Setelah makan malam kami usai, dan kembali aku berbaring di tempat tidur kesayangan. Aku pun tak henti-hentinya bertanya. “Apa maksud emak yang tadi?”

  Aku merantau ke negeri orang untuk mengadu perutunganku di bidang kuliner. Aku memang senang memasak, tapi masakan emak memang tak akan terkalahkan. Walaupun aku adalah lulusan dari sarjana pendidikan, tanpa aku tahu bagaimana nasibku, aku memilih untuk lebih mengandalkan hobiku.

  Seperti layaknya kehilangan jati diri atau hanya berubah haluan. Atau mungkin aku terlalu angkuh yang berlaku seperti seorang pejuang yang ingin mengembara. Haus akan kemenangan yang padahal kemenangan itu akan aku dapat setelah aku temukan bahagia. Bahagia dari sanubariku sendiri. Dentingan detik jam menemaniku berbincang dengan hangatnya pada diriku sendiri.

“Ayu.. mengapa ia bisa tinggal disini? Bukankah ia dulu tinggal diujung desa dengan ibunya? Apakah lukanya telah sembuh? Apa dia juga resah sepertiku setelah saat itu…”

  Ahhh.. ribuan pertanyaan itu menggelayut dikepalaku seakan mengusik waktu tidurku.
 

***