Contents
Akhir Dari Cerita
Dilema
Kebahagiaanku sempurna, itulah yang setidaknya sedang kurasakan saat ini. Bersama Maroon, disampingku. Bersama Maroon, yang menuntun jalanku. “Senja, Ibu seneng banget ngeliat kamu yang sekarang. Semoga selamanya kamu seperti ini ya, nak. Ibu gak mau liat kamu sedih lagi. Juga, Ibu lihat Maroon memang anak yang baik.” Ucap Ibuku ketika aku meminta pendapatnya soal baju apa yang cocok aku kenakan untuk makan malam bersama Maroon. Aku menatap Ibu haru, kebahagiaanku bertambah karena mendapat dukungan itu dari Ibu. Aku tersenyum, seolah memberi tanda kalau aku setuju dengan perkataanya. “Yang merah cocok untuk kamu, terlihat elegan.” Kata Ibu lagi padaku. Aku pun bergegas, memilih gaun berwarna merah yang akan menampilkan bahuku.
Kakiku melangkah ke meja yang sudah dipesan Maroon, aku melihatnya dari kejauhan. Dia ada disana, memakai kemeja berwarna putih tampak maskulin, yang jarang Ia tunjukkan dihadapanku atau mungkin dihadapan semua orang. Langkahku bergetar, karena ini kali pertama Maroon mengajakku makan malam resmi seperti ini. Aku melihat sisi lain dari Maroon malam ini, bahasanya seperti ditata sekali. “Silahkan dipesan dulu makanannya.” Katanya semacam waiters yang akan melayani kami. Lalu, “kamu cantik sekali malam ini.” Aku ingin tertawa, ini bukan dia, ini bukan bahasa yang selama ini dia pakai dihadapanku.
“Mar, santai aja. Aku lebih suka kamu ngomong santai sama aku dibanding harus kaya gitu.” Ejekku agar dia sadar aku tidak kuat mendengar perkataan selanjutnya yang akan Ia lontarkan. “Aku keliatan nervous banget ya? Aduh sorry ya. Abis beneran deh, aku bener-bener terpesona.” Jawabnya. “sama aku?” balasku dengan nada yang sedikit ingin tau tapi juga mengejek. “Sama gaun yang kamu pakai sekarang. bisa-bisanya dia cocok banget di kulit kamu.” Aku cemberut mendengar jawabannya, tapi kemudian dia tertawa yang membuatku juga tertawa.
Maroon menggenggam tanganku, sontak seluruh darahku memanas. Alirannya sangat tenang. Dia menatapku dengan senyum manisnya dan aku membalasnya. Malam itu sangat berarti buatku, setelah penantian panjangku untuk melupakan Jingga, akhirnya hatiku terbuka untuk Maroon. Namun malam yang bahagia itu tidak seindah yang kuharapkan dengan seseorang yang tiba-tiba meraih tanganku. Dan seketika aku terkejut melihat orang itu. Kurasa Maroon juga sama terkejutnya. Jingga, dia datang menghancurkan malamku dengan Maroon.
“Aku tau dari Ibu kamu ada disini, makanya aku kesini. Aku mau minta maaf sama kamu, Senja.” Katanya yang seketika langsung memelukku. Aku hanya terdiam, masih belum marsa mencerna apa yang sedang terjadi, sementara Maroon menatap kami seperti sudah tau dan mengerti apa yang sedang kami rasakan.
Aku membanting pintu rumahku, kurasa Ibu sudah tau apa yang terjadi. Dia hanya berdiri diam di ruang tamu menatapku, namun aku tidak peduli. Amarahku mengalahkan segalanya. Aku lari masuk ke kamarku. Tidak ada suara, hening. Hanya tangisku yang terdenger pelan. Aku tidak habis pikir, Jingga dan Ibu menghancurkan malamku bersama Maroon. Akupun tidak bisa berkata apa-apa pada Maroon saat tadi Ia mengantarku. Namun dia terlihat tenang, seolah benar-benar mengerti.
“Aku perlu bicara sama kamu, Senja. Waktu itu, aku pergi bukan tanpa alasan. Aku punya alasan. Kania membutuhkanku saat itu, dia sakit parah bahkan harus dirawat di luar negeri. Aku gak tega disaat dia bilang, gak ada orang yang peduli sama aku. Kamu tau aku dan Kania sudah kenal sejak kecil.” Perkataan Jingga itu terus terngiang dipikiranku, yang kemudian memunculkan banyak pertanyaan dan penyesalan. Menyesal kenapa aku tidak bertanya, kenapa dia lakukan itu? Kenapa dia tidak bilang dari awal apa sebab dia harus pergi begitu saja? Sayangnya aku hanya diam, menarik tangan Maroon untuk pergi.
Perasaanku bercampur aduk, setengah hatiku senang akhirnya bertemu Jingga tapi setengah lagi aku membencinya. “Senja, maafkan Ibu, Nak. Jingga tadi datang ke rumah, tanya kamu dimana. Ibu gak mau kasih tau, tapi dia bilang ada hal yang harus dia jelaskan ke kamu, penting katanya. Ibu tau Ibu salah, tapi setidaknya kamu mendengar penjelasan Jingga dulu.” Terdengar suara Ibu dari balik pintu kamarku yang kemudian aku buka, karena aku sudah tidak kuat menanggung ini semua sendirian.
Ibu masuk langsung memelukku. Air mataku semakin tidak terbendung.“Ibu tau Jingga salah, tapi kamu coba pikirkan alasannya. Ibu gak menyuruh kamu untuk kembali dengan Jingga, karena Ibu tau kamu sudah bahagia bersama Maroon. Yang Ibu mau, kamu tidak ada dendam yang tersimpan di hati kamu. Biar kamu tenang menjalani hari-hari kamu. Biarlah semua ini, hati kamu yang memilih.” Aku semakin memeluk Ibu dengan erat “makasih Bu.” jawabku.
***