Contents
Akhir Dari Cerita
Harapan
“kopi Mba, eh Senja?” tawarnya sambil menyodorkan secangkir kopi padaku. Tatapan matanya terasa hangat, senyumnya bisa membuat semut berkerumun diwajahnya. Manis sekali. Ahh! Apasih aku? Kenapa dia bisa mengalihkan pikiranku dari Jingga?
“thank you. Tapi aku gak ngopi.” Jawabku berusaha menolak halus. “oh sorry, aku kira kamu ngopi. Yaudah aku minum aja deh dua-duanya. Mubazir.” Aku sontak terkekeh mendengar perkataannya. 2 cangkir kopi ingin dia habiskan sendiri? Ya mudah-mudahan dia bisa tidur nanti malam. Kami pun terlibat percakapan seru, sampai lupa jam makan siang segera berakhir. Tapi setengah hatiku memberontak, seolah meyakinkan jika Jingga akan kembali dan tidak ingin membuka sepenuhnya untuk Maroon. Toh aku dan Maroon baru saja kenal beberapa jam yang lalu. Tapi tatapan matanya sama persis seperti disaat Jingga menatapku. Aku memang benar-benar belum bisa melupakan Jingga.
“Maroon kece tuh.” Tiba-tiba suara Dimi membuyarkan fokusku pada desain yang sedang aku kerjakan. Mataku sinis menatap Dimi, tapi aku paham Dimi pasti mengerti arti dari tatapanku. “Jangan ganggu gue deh Dim.” Jawabku malas lalu kembali fokus pada pekerjaanku.“Gue serius, Senja. Lo tuh harus lupain Jingga. Dia udah kabur tanpa kabar sampe sekarang, apa yang lo harapin? Dia muncul lagi tiba-tiba? Terus minta maaf, terus ngelamar elo, terus kalian nikah, tapi hidup ga bahagia?”. DEG! Kata-kata terakhir Dimi membuatku tersentak, entah kenapa kata-kata itu pernah juga aku pikirkan. “Kenapa lo bisa bilang gue gak bisa bahagia sama Jingga?”. Dimi terdiam, melihat mataku basah dan air mata di dalamnya hendak turun turut membasahi pipiku. Dengan suara pelan dan lembut Dimi menjawab “bukan gitu maksud gue, Ja. Tapi lo juga harus mikir, dengan hilangnya Jingga tanpa kabar sampe sekarang, apa lo ga mikir gimana dimasa depan? Gue tau lo cinta banget sama Jingga. Tapi lo juga harus realistis dengan keadaan, banyak kemungkinan yang udah terjadi sekarang atau bahkan banyak kemungkinan yang akan terjadi nanti.Sekarang udah waktunya lo bahagia, Ja. Buka hati lo, buat orang selain Jingga.”Kemudian Dimi meninggalkan mejaku. Aku terpaku dengan perkataan Dimi, pikiranku tiba-tiba terasa penuh.
Aku melihat dari sudut lain, Maroon memperhatikanku. Aku rasa dia tau kalau air mataku jatuh karena perkataan Dimi. Ya, memang apa yang dikatakan Dimi benar, aku harus bisa memulai hidup baru tanpa bayang-bayang Jingga. Tapi untuk membuka hati, kurasa aku tidak bisa. Karena aku benci dengan pertemuan dan perpisahan, aku tidak bisa membayangkan kembali kalau aku bertemu dengan pria lain namun pada akhirnya aku juga harus berpisah dengannya.
Namun seketika semua itu berubah, setelah Maroon berusaha menghiburku saat itu. Maroon menghampiri mejaku saat aku tidak bisa lagi membendung air mataku. Hangat. Itu yang kurasakan. Genggaman tangannya. Cara dia menghapus air mataku.“Udah Senja, jangan nangis. Kamu gak mau kantor ini banjir air mata kamu kan?” begitulah cara dia menenangkanku. Seperti Jingga, tapi lebih lucu. Ah! Jingga lagi Jingga lagi. Padahal aku sudah bertekad sejak hari itu, dimana Dimi menasehati aku, aku tidak mau lagi menyebut nama Jingga dalam pikiranku.
Hubunganku dengan Maroon pun dimulai. Bukan! Kita tidak pacaran, hanya dekat tapi lebih dari teman. Candaan dan kepolosannya lumayan bisa membuatku perlahan melupakan Jingga. “Aku tau, aku gak bisa gantiin Jingga dihati kamu. Tapi aku mau isi sebagian hati kamu, yang Jingga gak bisa miliki.” Entah belajar darimana dia bisa mengucapkan kata-kata itu, padahal sudah 6 bulan kami dekat, Maroon sama sekali tidak bisa romantis, setiap perkataannya selalu berujung membuat aku tertawa.
Lega. Itu yang aku rasakan saat ini. Aku punya Maroon. Maroon meringankan beban yang sudah kutanggung selama hampir dua tahun belakangan ini. Ah.. rasanya hidupku sekarang seperti air yang mengalir.“Terima kasih Maroon, kamu baik.” bisikku pada Maroon. “Aku yang terima kasih, sudah diberikan kesempatan untuk menganggu hidupmu.” Balasnya dengan membisikkan ditelingaku.
***