Try new experience
with our app

INSTALL

SIN-TREND 

Chapter 2

  Tidak ada tambal ban, tidak ada warung atau kehidupan yang lain. Anom menghentikan dibawah pohon asem yang besar. Anom turun dari mobil untuk mengganti ban. Putri terkeriap bangun, mencari Anom yang ternyata sedang memasang dongkrak di ban belakang. Tak jauh dari mereka berhenti terdengar bunyi gantungan lonceng sapi yang berjalan kearahnya secara perlahan. Klenting.. klenting.. klenting.. Hanya bunyi yang masih terdengar diantara kabut hawa dingin disitu. Arahnya seperti menyebar dari berbagai arah bunyi itu. Putri turun mencoba turun dari mobil. “Tidak usah turun di dalam mobil saja. Ini cuma ganti ban serep saja kok” Putri memberi kode apakah Anom mendengar suara klentengan sapi? “Iya paling itu pedati sapi yang mau lewat... diluar dingin sekali jangan keluar...” Putri memperhatikan dari kaca belakang mobil, memang muncul pedati sapi menyeruak kabut-kabut tipis dari kejauhan. 

  Jalannya begitu lambat. Anom telah selesai memasang ban serep. Anom masuk kedalam mobil dan menstarternya. Kini starter tidak mau nyala. Berkali-kali dicoba. “Apa lagi ini ya.. bensin masih banyak ... oli kemaren baru ganti... aneh’ Pedati sapi itu mulai mendekat dan berhenti di dekat posisi Anom. “Mau kemana Nak” tegur nenek yang duduk di kendali pedati itu. “Cirebon Nek... masih jauhkah?” “Ini baru di perbatasan kota Cirebon... Nanti saya panggilkan montir supaya kemari” Putri memberi kode bagaimana kalau dia ikut pedati itu memastikan mendapat montir untuk kemari. “Ya sudah saya jalan dulu mencari montir” “Nek, eh temen saya ini ingin ikut e biar sekalian beli sarapan sekalian” “Ayo kalau gitu” Anom membantu Putri keluar dari mobil, memasangkan kraknya. Putri memberi kode dengan bahasa isyarat bagaimana kalau dia minta anter Nenek itu sampai ke terminal. “Kamu kan belum tahu mau cari kemana pelatih sintren itu? Biar aku yang antar saja” Putri mengangguk. 

  Putri berdiri menopang kedua kraknya melangkah kearah pedati itu dituntun Anom. Dibantunya Putri menaiki pedati itu. Putri duduk di samping Nenek, menerima kedua krak yang disodorkan Anom. Pedati pun mulai bergerak. “Ingat kesini bawa montir ya perlengkapanmu masih ada disini” Sambil melambaikan tangan kearah Anom, Putri terus memandangi Anom selama pedati itu berjalan meninggalkan Anom di tepi jalan bersama mobilnya. Anom terus memastikan hingga pedati sapi yang membawa Putri menghilang dari pandangannya. Memasuki kabut-kabut tipis itu. Tak lama kemudian baru terdengar sayup-sayup suara orang mengaji tanda subuh hampir tiba. Dan kabut-kabut tipis itu memudar perlahan. Pedati yang membawa Putri sudah tidak kelihatan. Tirai Impian “Sebenarnya kalian mau kemana?” tanya Nenek itu sembari terus mengendalikan arah jalannya sapi. 

  Putri memberi kode bahasa isyarat, bergerak-gerak menari menunjukkan memakai kacamata. “Sintren?” Putri mengangguk. Lalu menegaskan kodenya dengan bahasa isyarat mencari guru pelatih tarian sintren “Kamu mau jadi penari Sintren?” Putri mengangguk. Nenek itu melirik ke kedua kaki Putri dan krak yang disandarkan di sampingnya. Putri mencoba menjelaskan dengan bahasa isyarat bahwa dia dalam mimpinya diminta mencari pelatih tarian sintren supaya kakinya dapat menjadi kaki yang sempurna seperti layaknya perempuan. Nenek itu mencoba memahami sekalipun sulit baginya. Dia hanya menyebutkan sesuatu yang mengejutkan “Saya ini dulu penari sintren..” Putri tersenyum gembira “Tarian yang saya bawakan memukau siapapun yang menontonnya. Karena saya benar-benar perawan dan tidak pernah nikah hingga sekarang. Kenapa kamu mau jadi penari sintren?” 

  Putri memberi kode tidur terus ada mimpi dalam tidurnya untuk menjadi penari sintren “Jadi penari sintren tidak bisa membuatmu kaya, apalagi, maaf, kakimu cacat begitu. Buat apa?” Putri minta diajari menari sintren sama Nenek itu “Kalau kamu mau belajar nari sintren apa mau tinggal di gubukku di pinggir desa?” Putri menggangguk gembira. Saking gembiranya Putri lupa akan Anom yang masih menunggu montir. Putri hanya senyam senyum disamping Nenek itu yang menembang lagu sintren ‘Kembang cempoko putih.. cempoko putih diatas loyang... aiiii alaidung, indung sayang kembange malang... kapale londo buntung.. kalau sore terbayang-bayang...’ Sebelum matahari terbit, pedati itu sudah sampai di tepi sungai besar yang dirimbuni pepohonan. Nenek itu membantu Putri turun dari pedati. Dibantunya Putri memasang krak untuk melangkah kedalam gubuk Nenek yang reot itu. Rumah yang terbuat dari bambu wulung kuno itu atapnya masih menggunakan gribik. Tanpa cat atau plituran. Semuanya alami. Putri disuruh duduk diatas lincak bambu beralaskan anyaman tikar. Nenek itu mengambil anglo berisi dupa. “Duduk bersila,” perintah Nenek itu Putri menuruti. 

  Nenek duduk didepannya dan meletakan anglo yang sudah mengepul asap dupa. “Tirukan gerakan saya menari sintren” Nenek itu mulai menari perlahan dan ditirukan oleh Putri. Dari perlahan hingga semakin cepat. Nenek itu menari sambil beringsut pantatnya memutar-mutar, ditirukan Putri. Terus menerus dilakukan. Hingga Putri pun semakin trans. Ada energi yang menyusup ditubuhnya. Tanpa sadar Putri berdiri menari sintren. Nenek itu hanya memandangnya. Mata Putri membelalak putih. Kakinya masih cacat tapi sudah dapat berdiri menari tanpa kraknya. Gading yang retak Anom masih tertidur di mobilnya. Dia terbangun oleh bunyi klakson truk yang memekakkan telinga. Masih belum ada montir yang datang. Matahari sudah tinggi. Di tengoknya tas pink dan tas pinggang berisi ATM dan segala perlengkapan yang dipersiapkan untuk Putri masih tergolek di jog belakang. Anom memukul stir mobilnya. “Bodohnya aku” Anom mengambil handphonenya dan menuliskan teks di whatsapp kalau dia tidak bisa masuk kerja. 

  Dia juga mengirim teks ke Ayahnya supaya kantor ditangini Om nya. Handphone diletakkan kembali. Anom mencoba menstarternya dan mesin seketika menyala. Sebelum menancap gas, Anom berpikir keras mau kemana mencari Putri. Rasa bersalah Anom telah membasah darah di tulang. Ia merasakan suram tanggung jawab yang membebani, seperti gading yang retak. Anom menjalankan mobilnya. Arah jalannya seperti bimbang mau kemana tujuannya. Dalam lalai fokus pikiranya itu, sebuah bis yang melaju cepat menggilasnya dengan sadis. Hancur berkeping-keping mobil itu. Birong Rambut panjangnya terikat tali ijuk yang merentang ke langit-langit rumah. Sisa rambutnya terurai menjuntai diseluruh wajahnya. Kedua tangannya terentang tambang kapal di kanan kiri bambu penyangga rumah itu. Piyamanya semakin lusuh. Dan kedua kakinya yang cacat itu sudah mulai membentuk kaki yang sempurna setelah seminggu terapi dengan Nenek Misterius itu. Tiada daya upaya apapun yang dapat dilakukan Putri. Pasrah seluas semesta.

  Anglo dupa itu masih mengepul diantara kedua kakinya yang menganga. Seperti layaknya diratus. Putri merasakan ada dua ruh yang menghuni tubuhnya. Parasnya mirip menyerupai Putri hanya saja berkebaya hitam. Mungkin karena itu juga pakulitan Putri menjadi semakin berwarna kecoklatan hitam. Aneka macam kembang bertaburan di sekitarnya. “Genap 13 hari kakimu akan sempurna. Dan kamu akan menjadi penari sintren yang sangat memikat. Tapi ingat apapun yang telah ku bisikkan kedalam hati dan pikiranmu, wajib kamu lakukan” Dalam 13 hari kulit Putri menjadi coklat tua dengan paras yang menggairahkan. Dalam 13 hari kemudian, kaki sempurna seperti impiannya terwujud. Dan di minggu berikutnya, dia sudah bisa menari melenggang lenggok diatas kurungan ayam. Menjadi penari sintren mumpuni yang banyak mengundang penonton karena keseksian tarianya. 

  Begitu komentar para laki-laki yang pada suka nyawer. Sampai akhirnya terdengar oleh Datuk Keling, pawang sintren terkenal di pantura. Saat ini dia sudah tidak ada yang namanya Putri lagi. Dia lebih dikenal sebagai Ratu Birong, atau Ratu Hitam yang memukau. Datuk Keling mengundang Birong tampil di pesanggrahan seni budayanya di perbatasan kota Brebes. Obor-obor telah dinyalakan mengelilingi area pentas sejak 5 sore. Penonton pun sudah melingkar sabar menunggu. Rombongan penabuh gamelan serta para saur manuk sudah mulai menembang lagu-lagu sintren. Birong masih belum kelihatan. Seperti biasa Birong hanya masuk arena menjelang surup srengenge. Datuk Keling sudah duduk di sofa bersama para aparatur desa. Jajan pasar dan minuman disajikan gratis untuk semua yang datang. Iring-iringan payung kertas dengan untaian tirai benang-benang berwarna warni itu, mengantarkan langkah Birong yang berjalan mundur memasuki arena. Tepat ditengah arena, beberapa orang tim mengikat tubuh Birong dengan tali-temali tambang yang sangat kuat. 

  Diikatnya erat-erat. Begitu pula diikatnya mata Birong. Ditarik pun tak lepas. Digosok pisaupun tak retas. Senja itu sang Nenek pawang nya Birong tidak bisa hadir karena sakit. Uluk salam dupa dilakukan asisten Nenek. Birong terkulai lemas dimasukkan kedalam kurungan ayam yang besar. Diberikannya seperangkat pakaian sintren kedalam kurungan itu. Dalam beberapa saat kurungan itu terbuka, dan Birong telah berpakaian tarian sintren lengkap. Sedang tali temali tambang tadi sudah terlepas tanpa ada yang terputus.