Contents
Akhir Dari Cerita
Pertemuan
“Di setiap pertemuan pasti ada perpisahan”. Mungkin hanya aku yang membenci kalimat itu, atau kamu juga? Kamu yang memberi pertemuan singkat lalu membiarkan semua itu menjadi perpisahan. Perpisahan pahit yang belum pernah aku rasakan, sejak 27 tahun aku hidup di bumi.
Aku SenjaLarasati, begitulah namaku dibentuk seindah mungkin oleh kedua orangtuaku. Nama yang belakangan ini membuatku tersadar Senja tidak akan selamanya bersama Jingga. Ya! Dia Jingga, pria yang 7 tahun terakhir mengisi hidupku yang bagiku itu singkat tapi tidak tau dengannya, dia yang mewarnai langitku. Namun entah apa yang dia pikirkan, sehingga harus meninggalkanku di hari dimana dia akan memintaku pada orangtuaku.
“Senja.. bangun Nak. Sudah siang.” Pecah suara seorang wanita paruh baya, yang aku panggil Ibu membuat semua mimpiku berakhir. Padahal di mimpi itu, aku bertemu dengan Jingga. Huh. Nampaknya hidupku akan terus dibayang-bayangi dirinya.
Aku pun bersiap, memulai hari ke-365 tanpa Jingga mengantarku pergi kerja, tanpa Jingga yang memakaikan helm di kepalaku, tanpa Jingga yang selalu membuatku tertawa lepas diatas motornya sepanjang perjalanan. “Aku bisa. Aku pasti bisa.” Terukir kata itu didalam pikiranku, meskipun sangat berlawanan dengan hati.
“Senja. Itu kenalan.” Ah lagi-lagi ada suara yang membuyarkan lamunanku dari Jingga. Dan aku sudah hapal suara siapa itu. Dimi, teman kantorku yang tomboy tapi selalu beruntung dalam percintaan hingga sekarang dia sudah menikah dengan pria yang dia cintai. Lalu aku menoleh ke seseorang yang ditunjuk Dimi padaku. Seorang pria dihadapanku tersenyum mengulurkan tangannya. “Maroon. Maroon Saputra. Creative design baru, Mba.” Sontak semuanya tertawa, karena dia memanggilku “Mba”. Apa aku terlihat tua? Dimi langsung saja mengejekku tanpa aba-aba.
“balik ke meja masing-masing! Mau gue laporin ke bos?”. Ancamku pada mereka yang akhirnya kembali ke meja masing-masing namun masih saja terdengar tawa ejekan.
“Oke, nama kamu siapa tadi? Maroon? Iya Maroon. Ini tugas kamu hari ini, kalo bisa diselesaikan sebelum jam 5 sore. Nanti kalau udah selesai, kirim ke email aku.” Perintahku pada pria yang tampak polos itu. Dia hanya mengangguk lalu tersenyum.
“emangnya kamu umur berapa?”. Tanyaku kemudian karena masih belum terima dipanggil “Mba”. “26 tahun Mba.” Jawabnya masih dengan wajah polos yang membuatku semakin kesal, entah kenapa aku benci kalau dipanggil “Mba”. “Kalo gitu, jangan panggil saya “Mba”, panggil nama aja. Senja. Kaya anak-anak lainnya. Paham? Yaudah kamu boleh mulai kerja.” Dia hanya mengangguk, lalu pergi ke meja yang sudah disediakan untuknya.
Aku mencoba kembali fokus pada pekerjaanku, namun yang ada di dalam pikiranku hanya Jingga. Oh Tuhan, apa sih yang Jingga buat sampai aku seperti ini! Lalu tatapanku teralih ke Maroon. Entah kenapa, pertemuanku dengannya seperti akan membekas menjadi kenangan.
***