Contents
Bayangan Kita
Chapter 4
Memang sudah 3 tahun lamanya pula aku merantau ke tanah orang. Aku pun tak tahu kabar Ayu semenjak ia menangis malam itu, yang sebelumnya aku selalu memperhatikannya. Namun yang aku tahu, bahwa aku telah lama jatuh cinta pada gadis tangguh ini. Mungkin dulu aku dapat mengejek diriku sendiri dengan mengatakan bahwa itu hanya cinta monyet khas remaja. Namun selama masa perantauan pun aku tak dapat melupakan paras moleknya yang benar-benar ayu.
Dengan kulit yang berwarna kuning langsat, rambut panjang dan hitam yang tak berubah, serta kacamata yang selalu menghiasi mata indahnya membuatku benar- benar jatuh.
Tak terasa semenjak awal percakapan kami siang itu membuatku semakin memahami dirinya yang sebenarnya. Mengagumkan. Satu kata yang pantas disandangnya atas kepeduliannya pada nasib anak-anak yang termanjakan oleh gadget dan kecanggihan teknologi lainnya.
Ia berhasil menumbuhkan minat membaca anak- anak usia dini dengan menyulap sebuah gubuk untuk dijadikan perpustakaan, dan lantas mereka menamai tempat itu sebagai “Laboratorium Sejuta Mimpi”. Aku paham betul bagaimana upayanya untuk pertama kali merubah kebiasaan anak-anak di desa kami untuk ikut mencintai buku. Perjuangan itu ku bayangkan tak ‘kan jauh berbeda dengan semangat Kartini masa kini.
Sungguh hal tersebut membuatku malu sendiri. Ayu yang hanya lulusan SMA sudah mampu mengemban tugas selayaknya sarjana pendidikan, berbeda dengan diriku. Seolah kecintaannya pada anak-anak dan buku telah lebih dari perasaan kasihku padanya.
Satu lagi hal membekas yang pernah ia katakan padaku “Punya mata tapi tak bisa melihat, punya telinga tapi tak bisa mendengar musik, punya hati tapi tak pernah tergerak dan karena itu tidak pernah terbakar, itu hal yang paling aku takuti. Walupun aku hanya mengutip kata-kata itu dari novel yang pernah aku baca, namun itu lah yang menjadi semangatku tetap membara kini”. Aku pula masih ingat ia mengakhiri kata-kata itu dengan senyuman menghadapku.
Aku percaya setelah beberapa minggu kami lewati dengan bertukar imajinasi-imajinasi liar ala kanak-kanak yang biasa kami lakukan dulu, bahwa sudah ada sesuatu yang tumbuh dalam dada kami. Rasanya seperti gerombolan kupu-kupu yang berterbangan di perut atau seperti bunga matahari yang baru mekar. Sungguh hal yang tak terkira dapat membuatku tersipu-sipu tiap malam dengan memandangi langit-langit kamar. Aku teringat saat aku dan Ayu duduk menghadap hamparan sawah yang kian menguning.
“Aku paham rasa sakitmu, yu. Aku harap kamu bisa kembali membuka hati” kataku.“Tapi aku ingin sembuh dari luka masa laluku dan membesarkan putra kecilku dengan baik. Setidaknya itu yang bisa ku lakukan kini” sahut Ayu sembari tersenyum dan mengajak anaknya bermain.
Setiap kami berjumpa perasaan itu tak dapat terlontar, karena ia pun tak menginginkannya. Aku tidak bisa jujur tentang perasaanku pada Ayu. Namun, aku tahu di setiap cahaya yang menerangi tubuh kami, bayangan kami berdekatan, selalu. Seperti berpelukan, tak peduli walau hanya bayangan dan aku akan selalu menunggu bayangan itu hilang dan ia akan membuka hatinya kembali suatu saat nanti.