Try new experience
with our app

INSTALL

Bayangan Kita 

Chapter 3

  Tak terkira, si jago pun berbunyi menyerukan kegagahannya. Dari sisi lain di ruas-ruas jendela bambu ia menyusup seperti selendang sutra yang kuning memancar, sinar mentari mulai membangunkanku. Tiada suara lain selain si jago yang berkokok. Rupanya emak telah pergi ke ladang menjemput cengkeh-cengkehnya, dan aku juga sebenarnya resah mencari keberadaan Ayu.

  Setelah membersihkan diri dan bersiap, aku keluar. Di halaman tak biasa ku dapati suara anak-anak yang begitu riangnya berlari menyusuri jalanan seolah kan pergi ke suatu tempat. Mereka berusia kurang lebih 8 sampai 12 tahun yang memakai baju seadanya, membawa buku-buku, tanpa tas.

  Aku sadar di desaku bahkan di ujung kota sana, anak-anak seperti mereka sudah tak biasa untuk menyapa alam. Bercibaku dengan segala nikmat terknologi yang membuat kepekaan intuitif mereka terkikis. Namun disini? Dengan lari-lari kecil, mereka tertawa untuk hal yang tak penting, ada yang menengok ke angkasa seakan memperhatikan sesuatu, ada pula yang bernyanyi entah nyanyian apakah itu. Ku dapati diriku turut hanyut bersama langkah-langkah mereka.

  Sampai akhirnya kami melewati sawah yang terhampar hijau bagai permadani hingga menuju pada salah satu gubuk yang di luarnya terdapat ayunan sederhana. Gubuk nan indah yang tak aku sangka dihiasi oleh rak-rak buku yang berwarna-warni. Aku kurang paham tempat apakah itu karena diriku hanya bersembunyi dibalik pohon jambu.

“Kakak ketahuan!!!!..” Suara dari balik punggungku sungguh membuat terkejut.

  Seorang anak laki-laki yang dua gigi seri depannya ompong telah menemukan persembunyianku. Anak-anak yang lain pun mulai curiga dan mencari-cariku. Begitu juga dengan dia, si gadis berkacamata.

“Eh mas Andi kesini toh, mari mas masuk dalam laboratorium sederhana kami.” Gadis itu akhirnya menyapaku, tersenyum.

“Hm iya, baiklah” jawabku canggung.

“Laboratorium? Apa tujuan mereka menamai tempat ini seperti itu?”  tanyaku dalam hati.

  Beriringan, dadaku pula tersentak, dia bukannya Ayu? Seorang gadis yang aku kenal sedari kanak-kanak dulu. Ingatanku kembali melambung. Tangisnya 10 tahun yang lalu khas membekas dalam masa remaja pun terngiang. Perpisahan orang tuanya yang menjadikannya harus tegar menghadapi ibunya yang akhirnya depresi. Sungguh, kala itu aku tidak dapat membayangkan bagaimana nasibku bila menjadi dia.

  Masa-masa dimana ia seharusnya mulai untuk jatuh cinta tapi dihabiskannya untuk mencari sesuap nasi, menyelesaikan segala pekerjaan rumah, dan menjaga ibunya. Aku tidak tahu apakah ia kala itu ia cukup beruntung atau tidak karena tidak memiliki saudara  lagi, sehingga tanggung jawabnya hanya untuk seorang ibu. Tapi kini, dia sungguh berbeda.

“Mas? Ojo ngelamun toh.” Sentaknya membuyarkan ribuan pertanyaan dalam kepalaku.

“Dik, piye kabar mak mu?” Tanya ku dengan basa-basi.

“Emak sekarang sudah tenang disana mas, 3 tahun yang lalu emak ku sudah meninggal makanya Mak Endah mengajakku tinggal bersama. Supaya gak kesepian katanya..” Wajah pilunya tak bisa ia sembunyikan dariku.