Contents
Gadis Bermata Eropa
Hujan Pertama Di Kota Hujan
Tanah basah. Langit gelap. Segelap hati seorang lelaki yang tengah berjalan di koridor sebuah sekolah swasta. Ia tidak menyangka, langkah kakinya berada di sebuah sekolah menengah pertama. Bukan hanya untuk kali ini, tetapi untuk 1 tahun ke depan. Sebuah map berisikan tanda tangan kontrak sudah ia tanda tangani. Berisikan perjanjian dirinya bersedia untuk menjadi guru kesenian di sekolah swasta tersebut.
Langkah lelaki itu gontai. Ia kemudian memutuskan untuk duduk. Terlihat nafasnya tersengal-sengal. Tangannya meremas map yang sedari tadi dipegangnya. Nampak ia menahan emosi. Ia teringat dengan wajah-wajah para produser yang menolaknya. Sutradara yang mengabaikannya. Mereka-merekalah orang yang tidak percaya dirinya akan menjadi seorang seniman besar. Seorang aktor berkelas wahid. Bahkan tidak hanya aktor, melainkan juga seorang sutradara hebat. Yang akan berjalan di karpet merah. Menunggu piala penghormatan film jatuh di tangannya.
Tapi itu hanya di benak dan keyakinannya. Matanya berkaca-kaca. Terlihat guratan urat-urat di kepalanya. Ia meremas map itu. Bersamaan dengan suara teriakannya yang menggelegar ke seisi ruangan koridor sekolah. Juga bersamaan dengan menggelegarnya suara petir. Seketika suasana menjadi hening. Sehening ruangan koridor sekolah.
Lelaki itu masih dengan kekesalannya. Tidak bisa ia bayangkan bagaimana pengorbanan orangtuanya yang sudah menjual sawahnya di kampung untuk perjuangan dirinya menjadi seorang seniman hebat di Jakarta. Tidak bisa ia bayangkan pula bagaimana orang-orang di kampungnya menaruh harapan banyak di pundaknya untuk mengharumkan nama kampung dan daerahnya. Karena bagaimanapun, lelaki ini telah diakui bakat dan kemampuan seninya oleh masyarakat kampungnya.
Kalau untuk hanya sekadar menjadi seorang guru. Di kampungnya ia pun bisa. Tidak perlu jauh-jauh ia habiskan uang dan harta sampai ke kota orang. Apalagi hanya mengajar di sekolah yang bisa dibilang terbelakang dari segi fasilitas dan kualitas. Tapi ia tidak punya pilihan lain : Mengajar atau menjadi gelandangan ibu kota?
Saat lelaki itu mencoba menghapus bulir air mata yang mau jatuh membasahi pipinya, bersamaan itu pula muncul derap langkah kaki dari koridor ruangan sekolah. Seorang anak perempuan yang tengah asyik menari. Kaki dan tangannya bergerak seirama. Layaknya padi yang bergoyang ketika dihembuskan oleh angin. Anak perempuan itu begitu gesit dan terampil. Ia berjalan menari sampai langkahnya membawa ia keluar dari koridor sekolah.
Derasnya hujan yang turun, seakan tidak dipedulikan oleh anak perempuan ini. Ia biarkan air hujan menampar wajahnya. Memperkosa seluruh badannya untuk dibasahi. Ia tetap asyik menari dengan rautan bahagia di wajahnya. Seakan sebuah lagu sedang terputar di telinganya. Sementara lelaki itu, nampak heran melihat anak perempuan itu. Ia pun beranjak dari tempat duduknya. Ia melangkah, mendekati ke sebuah tiang tembok koridor sekolah. Ia menatap lebih dekat anak perempuan itu. Lelaki itu melihat jelas betapa menikmatinya anak perempuan itu menari di tengah guyuran hujan. Dan yang membuat pria ini heran dan terkesima adalah gerakan tariannya tidak asal. Bukan sembarangan. Tariannya membentuk sebuah harmonisasi. Enak untuk dipandang. Anak perempuan ini berbakat. Lelaki tersebut bertanya dalam hatinya : siapa anak perempuan ini?
Lelaki itu dengan mantap melangkahkan kakinya ke luar koridor sekolah. Sembari ia membuka jas hitamnya yang ia kenakan. Jas hitam itu diletakkannya di atas kepalanya. Melindungi kepalanya dari derasnya guyuran air hujan. Lelaki itu mulai mendekati anak perempuan itu. Ia coba berbagi jas hitamnya untuk meneduhkan kepala anak perempuan itu. Lelaki itu pun mulai bersapa kata.
“Kamu ngapain nari-nari di tengah hujan begini? Kamu gak takut sakit?”
Anak perempuan itu sedikit mulai terusik dengan kedatangan lelaki ini.
“kata ibu asrama ku, sakit itu untuk orang yang hidupnya tidak bahagia. Kalau hati kita selalu bahagia penyakit akan jauh dari hidup kita.”
Sang lelaki tertegun dengan jawaban anak perempuan ini. Si lelaki lebih tertegun lagi ketika melihat mata anak ini. Ia semakin yakin anak ini ada darah campuran Eropa. Pria ini pun tersenyum dan mencoba menjulurkan tangannya untuk berkenalan dengan anak perempuan ini.
“Baiklah kalau itu kata ibu asrama kamu. Oh iya, perkenalkan saya Rendy Prasetia. Saya guru kesenian baru di sekolah ini.”
Anak perempuan itu langsung salim layaknya seorang murid kepada guru. Dan anak itu hanya menjawab singkat perkenalan itu.
“ Saya, Sheila Elvanya Menez, Pak.”
Anak perempuan itu melanjutkan tariannya. Ia melangkah keluar dari lindungan jas hitam pria tersebut. Rendy Prasetia (25 tahun) lambat laun mulai tersenyum melihat anak itu. Ia melihat betapa bahagianya anak tersebut menari. Dan anak itu punya bakat. Sebuah mata eropa yang ia rasa punya mimpi yang sama dengannya. Kalau ia boleh gagal dengan mimpinya, tetapi muridnya ini tidak boleh gagal. Rendy tersenyum. Setidaknya berada di sekolah ini bukanlah mimpi buruk. Karena sekarang dia sudah punya tujuan dan harapan baru.