Try new experience
with our app

INSTALL

BABAK BARU IKATAN CINTA  

KEHAMILAN ANDIN

Kehamilan Andin masuk ke tahap lebih serius, yang membuatnya harus bedrest hingga beberapa saat. Ini membuatnya tak bisa selalu menemani Al kemanapun Al pergi. Sebagai seorang suami, Al bersikeras menyuruh Andin untuk bedrest dan lebih fokus pada kehamilannya. Begitu juga dengan Mama Rossa yang setuju dengan sikap Al agar cucu dalam kandungan Andin dapat lahir dengan selamat.

“ Mas, beneran kamu nggak apa-apa kalau nggak aku temenin?”. Kata Andin memastikan.

“ Justru saya yang mestinya tanya ke kamu. Kamu gimana? Bisa aku tinggal?” Tanya Al.

“Aku nggak apa-apa, mas. Mas tenang aja. Lagipula dirumah kan aku nggak sendiri, ada Mama sama Ncus yang temani aku.”

“Ya udah kalau gitu. Inget ya, jangan terlalu capek. Nggak usah mikirin hal-hal yang nggak penting. Fokus sama kehamilan kamu. Okey?.”

Mama Rossa datang menyapa Al dan Andin pagi itu,

“Good Morning!”

“Morning, Ma.” Jawab Andin.

“Wah, yang udah siap-siap mau berangkat kerja. Andin tumben belum siap? Nggak ikut nemenin Al, Ndin?”

“Nggak, Ma. Andin di rumah aja, dan sepertinya dalam beberapa minggu kedepan, dia bakal tetep stay di rumah.” Kata Al.

“Dokter bilang, Andin harus bedrest beberapa minggu, ma. Padahal Andin pengen temani mas Al, tapi Mas Al bilang nggak usah.” Tambah Andin.

“Justru bagus itu, sayang. Thats good! Bener yang dibilang Al, mama juga pasti akan melakukan hal yang sama buat cucu mama ini. Yaudah, dont worry, Andin. Kebetulan mama hari ini juga nggak terlalu sibuk, so.. mama bisa temani kamu dan cucu oma ini.”

“Makasih ya Ma.” Jawab Al.

“Its Ok, sayang. Yaudah... be careful ya, sayang. Hati-hati bawa mobilnya.”

“Iya Ma. Al berangkat dulu ya, Ma.”

“Daa, sayang.” Al mencium kening Andin dan mencium kedua pipi mamanya lalu bergegas berangkat.

“ Ayo, Ndin... Mama antar kamu ke kamar,”

“ Iya, Ma.” Jawab Andin tersenyum melangkah ditemani Mama Rossa.

 

***

Apa yang dipikirkan Andin berpengaruh terhadap kehamilannya. Wajar saja, belakangan ini Andin banyak melalui serentetan kejadian yang membuatnya harus memutar otak dan berpikir ekstra keras. Pikirannya melayang-layang pada Reyna dan Nino. Belum lagi Mama Rossa yang saat ini masih kepikiran tentang Elsa yang kondisinya makin nggak karuan didalam penjara sana. Ditambah lagi pemikirannya tentang buah hati yang dikandungnya saat ini. Apa Andin siap menjadi ibu yang baik dan adil pada Reyna dan adiknya.

 

***“Selamat pagi, Pak Al.” Sapa Rendy di lobby kantor pagi itu.

Dengan senyumannya, Al membalas sapaan itu. “ Selamat pagi.”

“Maaf kalau saya bertanya, tapi kok saya tidak melihat Bu Andin pagi ini ya, Pak? Ya, biasanya kan Bu Andin selalu datang ke kantor bersama Pak Al.” Kata Rendy.

“Bu Andin baik-baik saja, kan Pak?” Tanya Rendy.

“ Iya, dia baik-baik saja. Andin memang hari ini tidak bisa menemani saya dan mungkin untuk beberapa hari minggu kedepan. Bu Andin harus bedrest, anjuran dokter.” Terang Al.

“Rendy hanya mengangguk sembari berkata : “ Semoga kondisi Bu Andin cepat membaik ya, Pak.”

“Terima kasih.”

“Saya kesini membawa beberapa berkas untuk Bapak tanda tangani.” Kata Rendy.

“ Baik, mari kita ke ruangan saya.”

“Baik, Pak.” Keduanya melangkahkan kaki menuju ruang Al.

 

Dikamarnya siang itu, terlihat Andin menelepon seseorang dengan hp nya. Andin menelepon Papa Surya untuk meberitahu kondisinya yang sedang bedrest dari dokter. Papa Surya sempat cemas pada Andin dan bayi dalam kandungannya. 

“Astaga, Ndin. Tapi kamu nggak apa-apa, nak? Gimana kondisimu sekarang? Apa Papa kesana buat temani kamu, nak?”

“Ngak usah, Pa. Makasih papa udah mau kesini. Andin nggak apa-apa kok, Pa. Papa tenang aja, Andin juga sama Mama Rossa dirumah. Papa gimana disana? Mama apa kabar, Pa?” Tanya Andin.

“Oke kalau gitu, nak. Salam buat Ibu Rossa ya, Ndin. Papa sama Mama baik-baik aja disini. Mama....”

“Mama kenapa, Pa?” Tanya Andin.

Raut wajah Papa Surya seperti tersadar sesuatu.

“Mama... mama baik-baik juga, Ndin. Kamu jaga kesehatan disana ya, nak. Bedrest ini harus kamu jalani dengan baik. Oke, nak?” Kata Papa Surya.

“ Iya, Pa. Salam buat Mama ya...” Jawab Andin.

 

***

Papa Surya terpakasa menyembunyikan kabar Mama Sarah kepada Andin. Papa Surya tidak mau kalau Andin bertambah pikiran memikirkan istrinya itu. Yang ada dalam pikiran Papa Surya saat ini adalah bagaimana agar Andin, anaknya itu bisa melewati masa bedrest dengan baik agar tidak mengganggu kehamilan dan proses persalinannya. 

“Biar apa yang terjadi pada Mama Sarah menjadi urusanku saja, kasihan Andin.”

 

***

 

“Siapa yang telpon, Mas?” Tanya Mama Sarah.

“Andin, Ma.” Jawab Papa Surya.

“Ada apa dengan Andin, Mas?”

Papa Surya mulai menjelaskan kabar bedrest Andin kepada Mama Sarah. 

“Dia titip salam buat kamu, ma. Andin tanya kamu tadi. Papa rasa Andin juga sudah tahu tentang kondisimu sekarang yang masih kepikiran Elsa. Tapi tadi Papa nggak banyak cerita soal mama dan Elsa, Papa takut kalau nanti Papa kasitau, malah Andin makin kepikiran.” Kata Papa Surya.

“Iya, Mas. Kali ini aku setuju sama kamu. Kita semua udah melalui masa-masa yang berat karena Elsa. Mama juga nggak mau kalau ini semua bikin Andin sedih lagi. Udah banyak peristiwa buruk yang Andin alami. Termasuk apa yang udah mama lakukan ke dia.” Kata-kata Mama Sarah diiringi air mata membasahi pipinya.

Papa Surya berusaha memeluk dan menenangkan istrinya itu. Mendekapnya sedalam dan sedekat mungkin.

“ Udah, ma... Udah berlalu. Mama nggak usah inget-inget lagi ya, Andin juga udah maafin Mama. Udah ya.”

“Tapi Mama merasa nggak bisa maafin diri mama sendiri, Pa.”

“Tenang, ma... Mama yang kuat. Ada Papa sama Mama. Mama pasti bisa.”

 

Terdengar suara ketukan pintu dari kamar Andin. Mama Rossa datang dengan segelas susu hangat dan sandwich kesukaan Andin. Andin sempat kaget karena yang mengantar makanan adalah Mama Rossa.

“Lho... kok mama yang antar makanannya? Ncus kemana, ma?” Tanya Andin.

“ Hey.. hey hey... Masa mama nggak boleh nganter makanan kesukaan anak mama sendiri.”

“ Bukan gitu, Ma. Boleh banget malah. Andin yang minta maaf...”

“Ups! No No No... Gak ada yang perlu dimaafin. Mama lakuin buat kamu because mama sayang sayang sama kamu. Ayo, minum susu dulu, yuk cucu Oma.” Kata Mama Rossa.

Mama memberikan segelas susu hangat pada Andin lalu Andin meminumnya.

Setelah Andin meminum susu itu,

“Makasih ya, Ma.” 

“Sama-sama, sayang.” Mama Rossa menaruh gelas berisi susu itu disebelah tempat tidur Andin.

“Mama gimana? Masih kepikiran Elsa?” Tanya Andin.

“Its ok, sayang. Mama much better now. Udah jauh lebih baik dari terakhir kali kita bahas Elsa. Mama justru kepikiran sekarang sama Elsa. Bagaimanapun juga kasihan Elsa, tapi Mama juga nggak terima untuk apa yang sudah dia perbuat pada Roy.”

“Elsa emang dari dulu nggak pernah bisa berubah, ma. Selalu iri sama Andin.” Kata Andin.

“But, Im ok Andin. Makasih ya udah jadi teman curhat Mama kapan hari.”

“ Sama-sama, Ma.”

“ Yaudah, kamu lanjut istirahat ya, Ndin.”

“Iya, Ma.”

 

Sementara itu, Nino yang masih tak bisa melihat sedang merangkul boneka pemberian Reyna. Terlukis kesedihan yang berat dari tatapannya. Lamunannya membawanya saat terakhir kali Reyna mengunjunginya.

“Halo Om Baik, Om Baik udah sembuh?” Tanya Reyna.

“Iya sayang, Om Baik udah sembuh. Om Baik boleh peluk kamu?” Tanya Nino.

Pelukan Reyna membuat makin sedih. Bagaimana jika Reyna tahu dirinya putri kandung Nino.

“Bagaimana kalau Reyna tahu, kalau aku ayah kandungnya? Bagaimana kalau dia tahu dia putri kandungku? Apa dia masih akan tetap sayang sama Om Baik?.”

Nino takut rasa sayang Reyna padanya akan berubah menjadi marah dan benci. Toh semakin hari Reyna akan tumbuh besar dan akan tahu yang sebenarnya. Pikiran Nino semakin tak karuan ketika dirinya pun belum tau kapan mata butanya dapat melihat lagi.

 

“Lebih baik hentikan niat anda sekarang juga untuk mencari tahu tentang Reyna. Saya tidak akan biarkan Andin dan Reyna jatuh ke tangan anda lagi.” Kata Al.

“Saya hanya hanya ingin mencari kebenaran dan keadilan. Itu saja.” Kata Nino.

Pukulan keras tepat menghantam ke wajah Nino. Al sangat geram.

“Cukup! Saya sudah peringatkan anda berkali-kali. Jangan ganggu keluarga saya. Keadilan? Lucu rasanya kata itu terdengar ditelinga saya. Mana keadilan untuk Andin terlebih Reyna saat mereka dulu bersama anda? Mana??!! Anda bahkan sudah membuang Reyna jauh-jauh bahkan saat dia ada dalam kandungan istri saya!.” Kata Al tegas dan marah.

 

Bayang-bayang pukulan Al membekas lekat pada dinding ingatan Nino. Air matanya deras mengalir. Rasanya sesak menyelimuti ruang-ruang bernafas Nino.

 

*** 

Sepulang dari kuliah , Kiki yang sedang haus melihat segelas jus buah segar diatas meja makan. Matanya terbelalak melihat satu-satunya pelepas dahaganya itu. Matanya melirik kiri kanan memastikan keadaan sepi dan benar-benar tak ada orang. Senyum titip terlihat pada raut wajah Kiki yang melangkah dengan penuh keyakinan ke arah segelas jus itu. Kini tangannya sudah berada pada gelas dan bersiap meminumnya.  Belum juga diangkatnya gelas itu, suara keras terdengar oleh Kiki.

“Kiki!!!!!!!”

“Taruh nggak gelasnya!!”

Suara Ncus membuyarkan imajinasi Kiki yang ingin segera meminum jus itu.

Aduuuhh.... langsung minum yaa??? Enak bener dehh!!.” Kata Ncus.

“Waduuuhh!! Mbak Mirna... iya, maaf e Mbak. Kiki udah haus banget ini loh!”

“Ya, tapi kan nggak minum jus itu juga, Kiki!!”

“ Eeh.. iya deh Mbak”

“ Hmmm, habiiiss jusnya ada diatas meja, lagi semdirian, kesepian, kan sayang kalau nggak ditemenin, mbak.”

“Huh! Bisa aja nge-les nya ya sekarang. Udah kuliah jadi makin jago aja ngelesnyaaa.”

“Iya, Maaf Mbak. Kiki kan nggak tau.”

“Tau nggak, itu jusnya Bu Andin. Dimarahin baru tau rasa.”

“Ups!! Astaga!! Maaf mbak. Beneran ini, jus nya belum Kiki sruput. Please lah Mbak Mirna. Jangan laporin Kiki yaa..”

“Makanya, lain kali jangan asal sruput sriput aja.”

“Emang, Bu Andin nggak nemeni Pak Al di kantor hari ini, Mbak?” Tanya Kiki.

“Hussst!! Duh jangan keras-keras ngomongnya. Bu Andin itu sekarang lagi bedrest...”

“Ohh, bedrest yang tempat tidur itu??”

“Huuussst!!! Itu springbed! Beda.”

“Lha terus apa, Mbak?”

“Makanya kalau orang lagi jelasin itu jangan asal sruput-sruput ....”

“Srobot-srobot, Mbak”

“Nah, ya itu maksudnya.”

“Jadi Mbak Andin lagi bedrest. Istirahat lebih lama untuk kehamilannya. Nggak boleh kepikiran sama yang lain-lain. Bedrest biar lebih tenang, makanya Ncuz bikin jus ini. Gitu.”

“Oooh, gitu...”

“Yaudah, ncuz tinggal bikin jus yang baru lagi buat Bu Andin.”

“Lohhh jadi yang ini gimana, Mbak??”

“Terserah deh mau diapain..” Mirna berlalu meninggalkan Kiki.

“ Lohh.. Lohh. Mbakk.. Mbak Mirna...Jus nya ini diapain?”

“Udah dibilangin jangan teriak-teriak”

“Ooh.. iya, maaf Mbak. Jus nya diapain terus?”

“Terserah deh, Minum juga boleh.” Mirna pergi.

Sambil memandangi segelas jus itu, Kiki pun berkata : “ Oh, jus! Kasian banget kamu. Dianggurin, padahal kamu bukan jus anggur. Sini yukkk ikut Kiki..” (Bersambung)