Try new experience
with our app

INSTALL

Gadis Bermata Eropa 

Ketika Anak Eropa Harus Berpulang Ke Eropa

         Nampak berdiri sebuah panggung teater berukuran kecil. Di situ terlihat jelas Vanya sedang memegang sebuah naskah. Dan ia seperti sedang memberikan komando kepada teman-temannya. Rendy yang sedang duduk di pinggir panggung tersenyum menyaksikan tingkah polah Vanya. Dia tidak salah. Mata Eropa Vanya tidak bisa berbohong kalau dia punya kesenangan yang sama. Punya mimpi yang sama. 
          Pandangan mata Rendy kemudian beralih kepada Anita yang datang membawakan makanan dan minuman untuk para anak teater. Rendy tersenyum. Anita mendukungnya dalam mengembangkan ekskul teater ini. Tiba-tiba senyuman yang mengembang itu terganggu. 
“ Cie.. cie.. diperhatiin mulu itu bu Anita. Samperin dong. Jangan cuma diem doang. Gimana sih bapak sebagai lelaki” ketus Vanya kepada Rendy
“ Apaan sih kamu. Udah sana pimpin lagi teman-teman latihan teater. Pokoknya kalau jelek. Kamu orang yang pertama, pak Rendy pelototin.” 
Vanya memanyunkan bibirnya. Ketika Vanya ingin beranjak kembali, Vanya tiba-tiba berbalik kembali. 
“Tapi Pak Rendy masih ingat janji pak Rendy juga kan? kalau sekolah kita menang lomba teater maka pak Rendy akan kembali ikut-ikut casting? Pak Rendy udah janji sama aku untuk tidak menyerah. Ingat itu. Heeeeuh.” Ketus Vanya sambil berlalu.
         Rendy hanya tersenyum. Anak itulah yang membuatnya punya semangat hidup kembali. Punya harapan kembali. Dia tidak tahu apakah dirinya akan berhasil atau kembali gagal menjadi aktor. Tapi itu kini tidak terlalu ia pusingkan. Ia masih punya Sheila Elvanya Menez. Anak bermata Eropa yang akan meneruskan mimpinya. Ilmu-ilmunya semua akan diberikan kepada Vanya. Jika Vanya berhasil maka sama saja ia pun berhasil meraih mimpinya. Karena di dalam sana ada ilmu yang mengalir darinya. 
Tiba-tiba latihan teater terhenti. Pak Djaelani datang bersama dua orang perempuan. Satu perempuan sudah tidak asing lagi bagi Rendy. Itu adalah ibu asrama Vanya. Tetapi siapakah perempuan satu lagi?. Rendy penasaran. Ketika dia ingin menghampiri. Tiba-tiba, Vanya sudah berlari dengan menangis. Ibu asrama Vanya dan satu perempuan lagi izin pamit kepada kepala sekolah dan berusaha mengejar Vanya. Rendy ingin mengejar tapi dicegat oleh Pak Djaelani. Pak Djaelani meminta Rendy untuk tidak ikut campur urusan keluarga. Rendy kaget. Anita menjelaskan kalau ibu Vanya datang menjemput. Tetapi Vanya tidak mau kembali. Ia merasa telah dibuang oleh ibunya di panti asuhan. DEG! Rendy terdiam. Rendy kaget Vanya masih mempunyai ibu kandung!
       Semenjak kejadian itu. Panggung teater sepi. Tiada hadirnya Vanya sangat berpengaruh. Karena Vanya lah yang menjadi bintang utama dalam pentas itu. Untuk mencari penggantinya semua anak tidak mau, merasa malu, dan tidak yakin bisa. Dan jika berkaca dengan waktu maka akan sangat mepet sekali. Inilah akhirnya yang membuat panggung teater itu menjadi sepi. Satu demi satu anak akhirnya malas untuk datang ke sanggar teater. Rendy kini hanya berteman dengan sepi. Termasuk hari ini. Dua hari menjelang pentas teater. Ia harus menutup rapat impian dan mimpinya lagi. Dan Ia tahu konsekuensinya. Sebuah janji. Ia akan mengundurkan diri dari sekolah ini. Janji itu tidak mungkin akan ia cabut kembali. 
        Tiba-tiba bunyi pintu berderit. Anita masuk. Anita kemudian minta izin untuk duduk di samping Rendy. Anita membawa kabar kalau Vanya lagi-lagi belum pulang ke asramanya. Vanya yang tidak ingin pulang ke Eropa bersama ibunya untuk kembali ke ayahnya. Vanya yang masih sakit hati telah dibuang oleh ibunya di depan pintu panti asuhan. Ibunya sudah mengakui kesalahannya. Karena saat itu, ibunya pun ditinggal pergi oleh ayah Vanya ke Eropa. Kini keduanya sadar akan kesalahan masing-masing. Dan ingin menebus kesalahan itu dengan mengajak Vanya kembali ke Eropa. 
        Rendy hanya terdiam. Rendy bingung sekaligus khawatir tentang keadaan Vanya. Vanya ke mana dan berada di mana. Rendy dan Anita sudah berusaha mencari Vanya kemanapun tetapi belum juga menemukan hasil. Mereka pun sudah melaporkan ke polisi. Kini mereka menunggu hasil pencarian polisi sembari mereka juga tetap berusaha untuk mencari Vanya. Rendy tidak marah dengan Vanya. Karena Rendy mencoba memahami perasaan Vanya. Kini Rendy beranjak dari tempat duduknya. Ia pun melangkah ke panggung teater. Rendy mencabut kain hitam yang terbentang lebar sebagai layar panggung teater. Anita memasang wajah sedih. 
“ Kenapa dicabut, pak?”
“ Pentas teater itu gak mungkin ada, bu. Saya harus mengikhlaskannya. Saya memahami perasaan Vanya. Saya tidak marah.”
“ Tapi kalau pentas teater ini gak ada bukannya pak Rendy nanti..”
“ Gak papa, bu. Ini mungkin jalan saya.” 
      Rendy tersenyum tipis. Sambil berlalu dengan membawa kain hitam. Anita nampak sedih sambil memandangi punggung Rendy yang berjalan membelakanginya. Anita juga tidak bisa membohongi kalau ia bersedih. Bersedih jika Rendy meninggalkan sekolah ini. Anita pun beranjak dari tempat tersebut. Anita tidak ingin terlihat oleh Rendy akan kesedihannya. 
Tetapi nampaknya kesedihan Anita malah semakin menjadi di hari terakhir Rendy di sekolah tersebut. Padahal, Rendy benar-benar tidak dikeluarkan dari sekolah. Semua guru merasa kehilangan sosok Rendy maka dari itu Pak Djaelani hanya meminta ekskul teater ditutup. Tetapi bagi Rendy, jika ekskul teater ditutup, sama saja artinya mimpinya juga ditutup. Lagipula harapan dan mimpinya di teater itu kini telah tiada : Sheila Elvanya Menez. Anak bermata Eropa. Tabungan dari gajinya selama mengajar beberapa bulan dirasa cukup oleh Rendy untuk memulai petualangan baru. Entah mencoba menjadi aktor lagi. Melamar pekerjaan lain atau jalan membawanya kembali menjadi guru. Yang pasti satu, Rendy tetap akan keluar dari sekolah ini. Karena ia juga ingin menepati janji yang terucap olehnya. Pantang baginya melanggar sebuah janji. 
     Rendy pun berpamitan pergi. Tampak anak-anak teater menangis merasa kehilangan sosok Rendy. Pun dengan guru-guru yang ada di sekolah itu merasa sedih. Sementara Pak Djaelani berusaha untuk tidak menunjukkan kesedihannya. Rendy tidak melihat sosok Anita. Rendy berpikir mungkin Anita sedang sibuk. Tetapi ternyata, di atas sana, di tingkat dua gedung sekolah, bu Anita menatap semua. Menatap dengan mata yang berkaca-kaca. Ia kehilangan sosok rekan kerja terbaiknya. Ia kehilangan cintanya. Tapi Anita tidak mampu membendung keinginan dan prinsip Rendy. Anita hanya mampu melepas Rendy dengan doa. Langkah demi langkah membuat Rendy hilang ditelan oleh alam. Bersamaan dengan jatuhnya bulir air mata Anita.