Try new experience
with our app

INSTALL

INDIGONIZATION 

Part 1

  Sebuah Cerpen INDIGONIZATION Penulis Teguh Santoso Sosok teman yang selalu memusuhiku waktu sekolah dulu, tiba-tiba masuk kedalam mimpiku berkali-kali. Aku sudah tidak pernah memikirkannya lama sekali. Bahkan melupakan tentang dia. Herannya, dia membangkitkan kebiasaanku sleep walking. “Kamu mesti terapi lagi, sleep walking mu kambuh lagi” nasehat ibuku sewaktu lagi sarapan dan aku hanya mengiyakan sembari siap-siap berangkat kerja. “Kamu sering bicara dengan Maya tiap malam” “Iya Bu nanti Nur atur buat terapi lagi. Bisa kesiangan nih Bu” Kalau orang jawa bilang ini kamiweruhen. Suka nampak tiba-tiba sosok Maya dalam keseharianku belakangan ini. Teman SMP sewaktu di kampung dulu. Seingatku dia sangat membenciku. Pernah memasukkan ular ke dalam tasku. Mengempeskan ban sepedaku berkali-kali. Menyembunyikan sepatuku. Membawa buku pelajaranku tanpa ijin. Banyaklah. Kenapa tiba-tiba dia masuk dalam kehidupanku. Siapapun yang ku lihat sekilas yang kulihat Maya. Pernah aku ngigau ketiduran di Kereta Api Listrik , ku teriak menyebut namanya. Sore itu sebelum pulang dari kantor, whatsapps grup SMP ada pesan masuk. Kubuka. Tertulis dari Dina ketua kelas dulu di SMP; Teman-teman yang pulang kampung ke Semarang jangan lupa tengokin Maya, sudah sebulan lebih Maya kesurupan belum sembuh-sembuh. Semua teman di grup tahu aku tidak bakal komentar apapun menyangkut tentang Maya. 

  Bukan aku benci. Aku cuma tidak mau berurusan sama dia lagi. Berkali-kali aku beusaha menghilangkan kehadiran sosok Maya dalam benakku. Namun bertubi-tubi flashes memori perilaku buruknya itu sungguh menghantuiku. Di setiap langkahku semakin jelas sosok dia itu muncul. Ojeg on line yang membawaku pulang ke rumah itu juga namanya Maya. Cara ngomongnya pleketiplek mirip dengan Maya itu. Judes sok manis. Begitu turun Ojol itu, aku masih disekelilingi Maya, Maya, Maya yang lain. Ibu warung yang selalu sapa baru pulang Non, itu juga wajahnya Maya. Mbak-mbak londry kiloan tumben-tumbennya negur dengan senyuman Maya. Poster-poster iklan kecantikan berubah jadi wajah Maya. Penyiar berita di TV pos kampling juga berubah Maya. Wallpaper handphoneku yang berdua ibuku berubah berdua dengan Maya. “Heh, Nur, jangan melamun. Dicari Bu Maya tuh” Aku cuma bengong berhadapan dengan Isti yang berangsur-angsur berubah jadi Maya “Bu Maya siapa?” “Bu RT kita Nur, kan namanya Mayangsari panggilannya Bu Maya. Masa gak tahu” Mataku terkeriap dari siuman. Sadar-sadar sudah di tempat tidur kamarku. 

  Maya menyodorkan teh hangat pahit kesukaanku. Ku minum beberapa teguk. Dengan masih kebingungan sedikit. Ku patut diriku mengoreksi jiwaku yang masih kamiweruhen Maya. “Kamu tadi pingsan di jalan. Dibawa orang-orang kemari. Isti yang nganterin kesini” ungkap Ibuku dengan suara khasnya. Oh suara lembut itu pasti benar ibuku. Tenyata Mbak Isti tukang pijit langgananku itu yang menolongku. Aku masih belum punya bahan omongan. Masih mengingat-ingat sesuatu. “Kamu kenapa?” tanya ibuku “Gak apa-apa Bu, mungkin cuma kecapean” Aku rebahan lagi. Ibuku menyelimutinya. Kudengar ibuku menutup pintu kamarku. Mata lelahku menggiring kantuk ke alam tidurku. Sketsa-sketsa mimpi mulai kulalui. Dalam mimpi itu aku berusaha menghindari Maya. Aku justru bermimpi bertemu dengan berbagai binatang. Bertemu dengan semut yang terpeleset dan jatuh ke air, maka kuangkat dia kutepikan ke daratan. Bertemu dengan itik yang tersesat, maka ku ambil dia kususulkan dengan induknya. 

  Kemudian aku melihat batu-batu berserakan di jalanan, maka kusingkirkan semua batu itu. Akhirnya aku melihat seorang Nenek yang bertanya tentang rumahnya. Aku tidak tahu rumah Nenek itu. Dan Nenek itu berkata maukah kau membantu mencari rumahku? Maka ku iringi Nenek itu berjalan menuju rumahnya. Entah dimana rumahnya kami hanya terus berjalan. Nenek itu kurus semampai berkebaya. Sekalipun kerut wajahnya merata dari bentuk parasnya pasti dulu dia cantik. Selama berjalan dia selalu membagi senyumnya kearahku. Ketika kami istirahat di sebuah mata air. Nenek itu memintaku mengambilkan air untuk diminumnya. Aku katupkan kedua tanganku menampung air yang mengalir dari mata air itu. Begitu aku membalikkan badan, Nenek itu sudah tidak ada. Aku terus berjalan mencari-carinya. Sambil terus terkatup kedua tanganku menahan air. Sampai kakiku terkelit. Air itu menciprat ke wajahku. Aku pun terkaget dan membuka muka. Tubuhku tersender di gapura kampung yang tidak asing bagiku. Gapura harimau yang selalu ku hindari setiap pulang sekolah. Di ujung kampung itu, pasti rumah Maya. Masih mimpikah aku selarut malam begini tiba di kampung rumahnya Maya. 

  Jangan-jangan sleep walkingku menembus dimensi gaib seperti analisa Pamanku yang supranatural itu. Dia yakin suatu saat sleep walking ku menimbulkan kelebihan yang tidak diduga. Aku membalik badan ingin meninggalkan kampung itu. Nenek yang tadi muncul lagi dihadapanku. “Itu rumahku Nak, ayo antar Nenek kesana,” ujar Nenek itu sambil menunjuk ke rumah Maya “Kadang kita harus melupakan perbuatan buruk manusia terhadap kita apabila manusia itu butuh pertolongan kita. Perbuatan buruk manusia itu hanyalah bisikan kedengkian dari setan” “Kenapa harus aku Nek ?” “Siapapun kamu itu berarti yang ditunjuk untuk membantunya” “Aku tidak bisa apa-apa Nek, aku cuma wanita biasa” “Nanti kamu akan tahu kalau kamu tulus membantunya” Di depan rumah Maya, Nenek itu memberi kode supaya aku mengetuknya. Aku masih ragu melakukannya. Sejenak berfikir kesekian lagi. Benarkah yang akan ku lakukan ini. Akhirnya ku ketuk juga. Pintu kayu rumah kuno itu terbuat dari jati murni. Temboknya yang putih tinggi juga masih terasa kokoh bangunan itu. Hanya saja sudah mulai kusam disana-sini. Beberapa kali ku ketuk pintu itu mulai terdengar suara-suara langkah orang menuju ke pintu. 

  “Siapa ya?” suara seorang perempuan bertanya dari dalam rumah “Saya Nuraini, temennya Maya dulu” Kunci pintu terdengar dibuka. Aku mematut diri. Sosok ibu yang baru bangun itu membukakan pintu dengan terus mamandangi aku. Blues dan rok yang ku pakai bekas kerja masih ku kenakan. “Nur? Ya ampun malam-malam begini datang dari Jakarta?” “Eh saya kesini...” ku toleh ke belakangku Nenek itu sudah tidak ada “Eh dapat kabar dari teman-teman tentang Maya” “Ayo masuk dulu Nur.. sini masuk... duduk sini ... ibu bikinin teh hangat dulu ya” Ibunya Maya menggandengku masuk ke ruang tamu yang masih tampak seperti dulu. Mempersilahkan aku duduk di ruang itu. Kursi dan meja rotan kuno masih di posisi sama seperti dulu. Setidaknya sama dengan ingatanku terakhir kali aku ke rumah Maya waktu dia sakit. Si Ibu buru-buru menghambur ke dapur. Dan brakkk... brakkk.. brakkk... terdengar suara yang cukup keras dari gudang. 

  Keingintahuanku terbesit. Membuatku berdiri dari tempat dulu. Tak lama Bapaknya Maya keluar dari kamar. “Eh Nur” tegur Bapaknya, “Tunggu sebentar ya” “Itu suara apa Pak?” “Biasa, mungkin minta kembang melati lagi” Bapaknya membuka bungkusan kembang melati ditaruh ke bokor alumunium dan dibawanya ke arah gudang. Aku mengikutinya tanpa ijin. Si bapak membuka gembok gudang itu. Pintu gudang yang besar itu dibukanya. Sosok gadis terpasung dengan rambut acak-acakan dan tangan dirantai itu pasti Maya. Sekalipun rambutnya yang morat-marit menutupi wajahnya, masih ku kenali sosok itu. Si Bapak bergegas mau menyuapi kembang melati itu ke mulut Maya. Tapi disemburkannya. “Mau apa kamu kemari?” yang keluar dari mulut Maya suara laki-laki tua yang serak tapi lantang. “Saya kesini mau ketemu Maya” “Maya milikku” “Kamu tidak berhak punya Maya” “Aku tahu semua rahasiamu sama Maya...” “Saya tidak punya rahasia apa-apa sama Maya” “Kenapa kamu kesini bawa Sekar Melati” “Siapa Sekar Melati?” 

  “Kamu belum mengenal Nenek yang membawamu kemari?” “Nenek?” “Sekar Melati kamu jangan ikut campur... Minggir kamu... buat apa kamu bawa boneka mungilmu ini” Zzzzreeepphh.. Aku terhempas berpudar dalam kisi-kisi partikel udara dan cahaya menembus dimensi yang baru sama sekali ku alami. Yang ku rasakan hanya cahaya di udara yang mengapung. Ringan tanpa beban. Seakan-akan aku bisa terbang. Di sekitarku seperti halusinasi uap panas dengan membentuk berupa-rupa wajah seram. Dan dihadapanku uap panas halusinasi itu perlahan mewujud sosok raksasa bermuka jelek dan bertaring. Apakah ini yang namanya dimensi alam gaib? “Disuruh apa kamu sama Sekar Melati?” “Saya mau ketemu Maya... dimana dia?” “Buat apa kamu temui gadis yang sudah tidak punya rasa takut” “Saya tidak peduli...” “Maya tidak suka sama kamu dari dulu, dan kamu tahu itu” “Maya tetap temanku!” Aku tidak tahu tiba-tiba aku bisa berubah membela Maya. Mungkin pengaruh Nenek Sekar Melati itu. Semua yang kuucapkan spontan keluar dari mulutku. Atau ini dorongan Nenek itu yang mempengaruhi dengan caranya sendiri. Aku tidak tahu. Yang ada rasa pembelaan dari jiwaku untuk merebut Maya sungguh kuat.