Try new experience
with our app

INSTALL

(TAMAT) Printemps a Paris 

4: Apa Bahasa Prancisnya "Satpol PP"?

Di Bandara tadi, aku telah menggumam Paris, j’arrive! Sekarang, aku menggumam: Eiffel, aku datang! Yeah, kini aku berdiri di taman yang luas dengan air mancur indah dengan background sebuah menara tinggi menjulang. Dengan berdiri di sini, siapapun akan yakin jika dia sudah berada di Prancis, seperti turis-turis yang sibuk berfoto itu. Tapi jika kau melihatku saat ini, kamu pasti percaya jika aku lebih mirip anak hilang daripada seorang turis. Ditengah keramaian orang lalu lalang menikmati indahnya sore itu, aku berjongkok diantara tas dan koperku. Celingukan dan tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan. 

Aku hampir putus asa, bahkan tidak peduli seandainya Satpol PP akan mencidukku kemudian dibawa ke kantor polisi. Oh, itu mungkin lebih baik daripada semalaman aku nongkrong di sini karena tak tahu arah tujuan dan mungkin saja polisi tibum itu akan mengantarku sampai ke rumah maman.

Ngomong-ngomong, apa bahasa Prancisnya Satpol PP?

            Aku mengamati orang-orang yang hilir mudik. Ya, ini musim panas dan kemungkinan besar mereka itu bukan penduduk lokal, tapi turis mancanegara. Berbagai bahasa sliweran di telingaku. Inggris, Rusia, Jerman, juga Jepang, eh mungkin Korea. Entahlah. Telingaku tidak bisa membedakan antara bahasa Jepang dan bahasa Korea. Adakah orang Prancis diantara mereka itu? Mata dan telinga kupertajam, lalu mulai mencari orang Prancis. Kau tahu sebabnya? Aku mencari penduduk lokal yang bisa kupinjami telponnya. Gotcha! Aku melihat seorang madame sedang berjalan dengan laki-laki tua dan mereka berbahasa Prancis. Langsung saja kukejar dia.

            “Madame, excusez-moi. Pourriez-vous m’aider[1]...” kataku. Ya, akhirnya aku bisa mempraktekan ilmu kursus di CCF Jakarta itu di tanah Prancis sendiri. Berdebar rasanya.

            “Oui, s’il vous plaît, mademoiselle[2]...” jawabnya riang. 

Nah lho, selanjutnya apa, ya? Terbata-bata kukatakan bahwa aku baru tiba dari Indonesia dan seterusnya lalu segera menyentuh inti persoalan jika aku ingin meminjam telponnya untuk menelpon mamaku di rumah. Madame itu dengan senang hati mengeluarkan ponselnya dan memberikannya padaku. Aku menelpon rumah dan mama yang menerima. Mama bilang tadi anak tirinya sudah menjemputku di bandara tapi tidak ketemu lalu wanita itu berteriak menyuruh anak tirinya untuk segera berangkat lagi menjemputku di menara Eiffel. 

            “Merci beaucoup, Madame, merci, merci” ujarku seraya menyerahkan ponsel itu lagi sambil memanggut-manggutkan kepala berkali-kali. Oh, aku belum bisa meninggalkan gesture Indonesiaku ketika berucap terimakasih. Jadilah ucapan merci itu terdengar seperti ucapan matur nuwun atau nuhun ditelingaku. Madame itu tersenyum sambil melontarkan kalimat yang tidak kupahami, aku hanya bisa tersenyum sambil mengangguk-angguk.

*

Sambil menunggu jemputan, iseng aku mengeluarkan kamera digitalku dan mulai berfoto-foto narsis seorang diri. Hasilnya memang tidak maksimal, menara Eiffelnya selalu terlihat separuh dan wajahku mendominasi. Ketika kucoba mengambil menara Eiffelnya secara penuh, wajahku tidak terlihat samasekali. Aku menggeser-geser posisi yang tepat sampai ke tepi kolam dan hampir saja aku terpeleset. Untung saja tidak tercebur kolam, jika iya, mungkin aku akan jadi tontonan turis paling menarik di sana. 

Aku tertawa-tawa sendiri sambil melihat hasil jepretanku yang kurasa kurang keren untuk kupamerkan pada Naro, Cyntia atau Dewi. Sambil berselonjor kaki, kusebarkan pandangan pada orang-orang di sekitar situ. Ah, untung saja ini musim panas jadi meskipun sudah jam tujuh malam, matahari masih bertengger seperti jam empat sore. Aku mengeluarkan jaket karena kurasa hawa sudah mulai dingin. Yeah, musim panas di Eropa tidak sama dengan musim kemarau di Indonesia. Musim panas disini tetap saja dingin!

Diantara orang yang lalu lalang itu, pandanganku terpaku pada seorang lelaki bule yang jangkung, mungkin sekitar 180 sentimeter, sedang berkeliling-keliling. Dia mempunyai potongan rambut spike berwarna coklat tua, memakai stelan jeans dan t-shirt. Penampilannya secara  overall, sangat sporty, segar dan tentu saja wajahnya tampan. Lebih tampan dari bule-bule CCF Salemba yang jadi native speaker. Yang membuatku tak bisa mengalihkan tatap padanya adalah, dia memegang selembar karton putih yang ditulisi besar-besar dengan spidol hitam: Julie-Anne Clemenceau. Julie-Anne itu seperti namaku, tapi siapa Clemenceau? Ketika laki-laki itu membalikkan badan, aku ingat sesuatu, astaga! Aku menepuk dahi. Bukankah Clemenceau adalah nama keluarga maman? Berarti cowok keren yang membawa karton putih itu, saudaraku? Sambil berteriak girang seorang diri, kukejar dia.

            “Excusez-moi...Je suis Julie-Anne. Je suis de Jakarta” teriakku girang, Dia menurunkan kartonnya kemudian dengan alis berkerut, memandangiku dari atas ke bawah.

            “Mais, non! C’est Julie, toi[3]?” tanyanya kemudian dilanjutkan dengan kalimat-kalimat panjang dalam bahasa Prancis. Aku mengerut-ngerut alis. Ya, Tuhan, tidak sedikitpun aku memahaminya! Gawat!

            “Pardon?” tanyaku. Dia lalu mengulangi perkataannya dengan begitu cepat, intense, mengalir deras dari bibirnyadan sekali lagi aku berkata pardon, suatu kata singkat berarti maaf, yang kita ajukan jika kita tidak mengerti perkataan lawan bicara. Aku meminta dia mengulanginya pelan-pelan, jangan terlalu cepat sebab aku tidak mengerti. Oh yeah, kini dia hanya diam sambil mengacak-acak rambut, terlihat putus asa. Begitupun aku, tak kalah putus asanya.

            “Ok, never mind!” katanya, kali ini dengan bahasa Inggris. Aku membelalak, lebih tepatnya berbinar karena laki-laki penjemputku itu, bicara bahasa Inggris. Kau tahu, bahasa yang kumengerti untuk saat ini.

            “Just come with me!” serunya. Sesaat setelah mencegat taksi, dia menyambar koperku dan memasukkan dalam bagasi taksi yang telah siap menunggu. Kami meluncur.

            “Aku sudah melihatmu di bandara tadi, tapi aku tidak mengira kamu itu Julie-Anne” katanya dalam bahasa Inggris “Aku membayangkan kamu pirang, tidak menyangka jika wajahmu sangat Asia dan berambut hitam seperti ini”

            “Apa maman tidak cerita? Papaku kan orang Indonesia” kataku.

            “Cerita sedikit. Tapi tidak nyangka saja. Dan satu lagi, kukira kamu sudah mahir bahasa Prancis. Marie bilang, kamu sudah belajar français selama satu tahun dan aku menduga pasti bahasa Prancismu sudah lancar” katanya.

            “Marie?”

            “Iya, mama kamu!  Namanya Marie, kan?”

Oh, aku mengangguk paham. Tanpa dijelaskan, aku mengerti jika di sini, tidak ada keharusan memanggil mama tiri dengan sebutan maman, mama, ibu, bunda atau apapun. Menyebut nama saja sudah cukup.

            “Aku belajar français untuk pemula, tingkatan yang paling dasar” timpalku “For your information, bahasa kalian sulit sekali dipelajari. Aku yakin, butuh tujuh tahun untuk bisa mahir”

            “Tujuh tahun untuk belajar satu bahasa? Selama itukah?” tanyanya sambil membesarkan matanya sehingga mata birunya yang bening seperti kelereng itu terlihat jelas.

“Aku berani bertaruh aku bakalan bisa bicara bahasa Indonesia dalam waktu seminggu jika kamu ajari”

Walah! Sombong sekali Prancis yang satu ini. Bisa bahasa Indonesia dalam waktu seminggu, katanya? Yang benar saja!!

            “Ohya kamu pasti bisa. Bahasaku memang mudah dipelajari. Tidak seperti bahasa kalian yang super ribet itu” balasku, tidak mau kalah. 

            “Masa, sih? Mungkin memang ribet jika dipelajari oleh orang yang tidak teacheable seperti kamu” ujarnya lalu menoleh kearahku “Kalau semua orang di negerimu berpikiran sama sepertimu, bahwa belajar bahasa asing memerlukan waktu yang lama, mana bisa maju bangsamu itu? Pantas saja kalian gampang sekali diintimidasi bangsa lain. Aku yakin banyak orang di negaramu yang masih tergagap-gagap bicara bahasa Inggris, ya kan?”

Hey! Ini keterlaluan! Aku baru menginjak Prancis dan sudah bertemu orang yang bicaranya seperti ini? By the way, bagaimana aku bisa punya saudara yang begitu menyebalkan begini? Gawat, deh! Baiklah, ini adalah pertemuan pertamaku dengannya dan aku tidak mau merusaknya. Aku mencoba untuk berdamai. Ah, orang Indonesia memang cinta damai. Eh, ngomong-ngomong siapa sih yang tamu? Dia atau aku? Kenapa harus aku yang berbaik-baik padanya? Jadi kuputuskan untuk diam saja, sambil sedikit cemberut. Kemudian dia menoleh padaku.

            “Ohya, kita belum kenalan secara resmi” katanya sambil tersenyum, seperti tersadar sesuatu. Tangannya diulurkan padaku dan mengenalkan diri.

            “Je m’appelle[4] Sébastien. Sébastien Riquet dan kamu bisa panggil aku Séb katanya seraya melempar senyum lagi. Ya, melihat senyum mengembang di bibirnya, aku merasa lebih baik dan merasa lebih nyaman. Kau tahu, ternyata dia sangat manis kalau tersenyum. 

“Umurku 19 tahun. Mungkin lebih pantas jika kamu panggil aku kakak” katanya lagi. 

            “Oke, brother Séb!”

Séb tersenyum kecil lalu menggeleng.

“Frère[5] Séb ...?

Séb menggeleng lebih kuat, lalu mulai tertawa mendesis.

Whatever!” kataku putus asa.

            “Non! Non! Tidak usah begitu. Cukup tahu saja, jika aku ini lebih tua darimu”

Kemudian aku tertawa lepas, seperti baru terhindar dari sesuatu yang buruk, lalu membuang pandangan ke luar. Di luar jendela taksi ini, pemandangannya sangat indah. Sinar orange dari barat memantulkan cahaya ajaib yang menyulap kota bagai sebuah panggung besar dengan seribu pesona yang siap diisi para seniman untuk naik pentas. Taksi melintasi bangunan-bangunan indah berwarna natural, diselingi dengan jembatan-jembatan, juga taman-taman kota yang asri. Senja telah menjadikan semua yang kulihat seakan berwarna coklat kekuning-kuningan, ditambah lampu-lampu yang menyala meriah di tiap sudutnya. Artinya, sineas-sineas yang mengambil setting di kota ini untuk film mereka ternyata tidak bohong dan mereka tidak merekayasa. Kota ini benar-benar indah. 

            “Ohya, Séb, terimakasih mau bicara bahasa Inggris. Maafkan aku, ya!” kataku, setelah beberapa menit larut dalam keindahan di luar sana.

            “Terpaksa! Ini untuk antisipasi saja karena aku baru pertama kali bertemu denganmu dan aku punya tanggung jawab pada Marie untuk membawamu ke rumah. Setelah ini, aku tidak akan menggunakan Anglais lagi jika bicara padamu. Harus bahasa Prancis. You got it?”

Cepat-cepat aku mengangguk paham. Malas mendebat.


 

[1] Permisi, Bu. Bisakah Anda menolong saya..

[2] Ya, silahkan Nona

[3]Oh, tidak! Kamu memang Julie?

[4] Namaku

[5] Kakak laki-laki