Try new experience
with our app

INSTALL

LOST (TAMAT) 

Enam

Bukankah setiap detik, kita selalu kehilangan? Kehilangan waktu yang melebur, dan tak akan kembali.

-untuk sebuah kisah tentang kehilangan-

"Bu, Nicko pengin makan sama Ibu, kayak dulu," ucap Nicko lirih seraya memegangi lengang Ani.

Ani tersenyum sekilas. "Ibu harus pergi, Nicko. Ayahmu sudah menunggu Ibu. Kau makan sendiri saja, ya," kata Ani dengan teganya.

Nicko melepaskan lengan Ibunya itu, membiarkan punggungnya menjauh dan menghilang di balik pintu. Terkadang ia tak mengerti, mengapa seorang Kakak bisa menyayanginya dengan sangat, namun Ibu yang melahirkannya tega meninggalkannya seperti itu. Nicko mulai merasakan ada retak-retak sesak yang satu per satu mengendap di hatinya. Tak tahu, retak kecewakah itu, atau retak kemarahan. Hari itu untuk kesekian kalinya, ia hanya bisa meringkuk di tempat tidur. Merasakan renjana-renjana kerinduan yang kembali menyesaki hatinya. Ia merindukan Kakaknya; Daisy.

****

Cakrawala terbelah menjadi dua. Setengah tampak semu keemasan menyalak-nyalak tak sabaran. Separuh lagi masih menggantung laskar malam yang sepertinya enggan menyingkir. Bulan tampak pucat, bak mutiara perak yang menggantung kalut di langit. Satu per satu pasukan malam meninggalkan tempatnya, saat mentari kian meninggi.

Chrissy terjaga dari tidurnya. Kepalanya terasa amat pusing. Ia bahkan berulang kali mengerjapkan mata, untuk mendapatkan fokusnya kembali. Rasa sakit menjalari saraf-saraf kepalanya. Seluruh persendiannya terasa ngilu.

"Di mana ... aku?" tanya Chrissy lirih seraya memijat pangkal hidungnya.

Chrissy mendapati dirinya berada di sebuah ruangan yang tak dikenalinya. Kamar itu cukup luas, dengan balkon yang memberikan view indah. Tirai putih bersih melambai-lambai manja, seolah berusaha menjelaskan apa yang terjadi pada Chrissy. Beberapa lukisan menggantung di sisi dinding. Sejenak, kelebatan-kelebatan lanskap itu melintasi ingatannya. Ia ingat detail ruangan itu. Dia datang ke situ bersama seseorang. Tapi, siapa?

Lalu, lanskap-lanskap lainnya hadir ke dalam ingatan Chrissy. Ia sadar, sejak tadi dirinya dibalut selimut tebal. Betapa terkejutnya Chrissy saat menyadari pakaian yang membalut dirinya sudah tak lengkap lagi. Dan lagi, lanskap-lanskap kejadian tadi malam menyerbu ingatannya. 

Chrissy ingat bibir yang mencumbuinya tadi malam, yang menciumi setiap lekuk tubuhnya. Kelebatan lanskap selanjutnya mengingatkannya akan tangan yang telah menanggalkan pakaiannya satu per satu. Dan lanskap terakhir itu datang, lanskap yang amat menyakitkan. Ia ingat setiap lenguh kenikmatan yang keluar dari bibirnya. 

Malam sebelumnya, Chrissy benar-benar mabuk setelah bertengkar dengan Anna di rumahnya. Bayangan alkohol dan diskotik selalu memberikan tempat bagi kepulangannya. Dan dia ingat, lelaki yang menemaninya tadi malam—Hans. Mantan kekasihnya yang masih amat mencintainya, juga sangat brengsek! Bagaimana tidak? Ia tega melakukan hal itu pada Chrissy, yang jelas-jelas tak pernah melakukan hal seperti itu, meski berulang kali ia membiarkan zat-zat dalam alkohol meracuni tubuhnya.

Chrissy terisak. Ia meremas sprei sangat kuat. Ingin rasanya berteriak, memuntahkan segala kesakitan yang menyesaki hatinya. Hal selanjutnya yang berkelebat di benaknya adalah sosok Danar. Danar yang amat dicintainya. Kini, harapannya untuk mendapatkan cinta Danar, terasa amat tak mungkin.

****

Semburat jingga menyepuh gumpalan awan yang sejak tadi tampak putih. Langit kemerahan, tertutup mega-mega merah yang sendu. Bayangan-bayangan mulai memanjang, selanjutnya memudar. Matahari mulai jatuh, tertelan waktu yang menua.

Bangunan khas Melayu yang disepuh warna kuning dengan liris hijau tua, tampak semakin anggun tertimpa cahaya senja. Kubahnya berbentuk dengan indah, dan pattern yang disepuh hijau tua dengan pahatan-pahatan khas Melayu. Sebuah ceruk pintu masuk tampak rapi dengan tangga yang berjajar, membentuk panggung yang menambah kekentalan suku Melayu. Beberapa orang tampak masih asik menjelajahi bilik demi bilik. Sebagian lagi tampak bermain di sekitar halamannya, di pentas berbentuk lingkaran yang berada tepat di tengah halamannya.

Istana Maimoon merupakan bukti nyata kesultanan Melayu yang berdiri di Medan. Meriam buntung yang menyimpan seribu kisah di masa sebelumnya juga tersimpan rapi di sebelah istana itu.

"Biasanya, pada malam-malam tertentu, di sini akan digelar pementasan Melayu. Di pentas ini, akan ada para penari yang membawakan tarian Serampang Dua Belas. Juga akan ada grup-grup penyanyi Melayu," ucap Daisy memberi penjelasan pada Danar.

Di hari liburnya, Daisy mengambil shift pagi untuk bekerja dan menikmati waktu istirahatnya saat sore tiba. Sejak pertemuannya kemarin dengan Danar, Daisy sering mengajak Danar ke objek-objek wisata di Medan.

Mega kesedihan yang menyelimuti wajah Daisy, perlahan memudar seiring kedatangan Danar. Lelaki itu telah membantunya melunasi segala hal yang membelitnya di kampus. 

Semilir angin sore menyibakkan anak rambut Daisy, dan seperti biasa, ia akan menyisir anak rambutnya dengan jemarinya. Hal termanis yang sangat disukai Danar.

"Daisy.." Danar memanggil. Gadis itu menyeret tatapannya.

Daisy tersenyum. "Kenapa?"

"Jangan pernah menangis lagi, dan jangan pernah takut kehilangan."

Daisy mengangguk penuh arti. "Hhmm ... Apakah aku boleh memanggilmu Kakak? Kak Danar?"

Danar mengangguk. "Apa pun, asal kau bahagia."

Daisy kembali melahat dalam sorot mata Danar yang begitu meneduhkan. Seperti berlayar di lautan lepas, lalu menemukan sebuah pulau untuk melarung perahunya, untuk bersandar dari lelahnya.

"Kau mau mendengarkanku?"

"Apa, Kak?" 

"Setiap jengkal dalam hidup kita hanya berkisah tentang kehilangan. Tak pantas jika kita takut saat menghadapi kehilangan. Maksudku, sah-sah saja jika kau takut menghadapi kehilangan. Tapi akan salah jika kau berusaha menghindari kehilangan itu sendiri." Danar memulai ceritanya.

Daisy menekuk lututnya, dan menopangkan dagunya di sana.

Di sisi Barat, matahari semakin tenggelam. Setengah Istana Maimoon tersepuh indah, menjadikan kuningnya kian menyala. Separuh lainnya tampak gelap, menyisakan berkas-berkas cahaya yang tak sanggup menyentuhnya.

"Bukankah kehilangan itu sebuah proses mendapatkan yang dibalik?"

Daisy merenungi perkataan Danar. Menimang-nimang benar atau tidak perkataan lelaki itu. Lalu ia mengangguk saat merasa hal itu benar.

"Saat kau mendapatkan sesuatu, pasti ada seseorang yang kehilangan sesuatu itu. Ketika kau kehilangan beasiswamu, ada orang lain yang mendapatkannya. Begitu, kan?"

Daisy mengangguk lagi. Mendengar tutur kata Danar, membuat Daisy tenang. Aku akan selalu mendengarkan perkataannya, akan menurutinya. Aku berjanji.

Satu per satu pengunjung Istana Maimoon mulai meninggalkan tempat itu. 

"Setiap saat, kita selalu kehilangan, Daisy. Tanpa sadar, kita telah kehilangan tiap detik waktu kita, tanpa pernah kita miliki lagi apa yang telah hilang itu. Kau kehilangan keluargamu, tapi bukankah kau menemukan orang-orang yang peduli padamu? Menyayangimu?"

Danar merangkul pundak gadis itu, hingga Daisy menegakkan duduknya dan menatap lekat lelaki itu.

"Kau akan kehilangan apa yang kau miliki sekarang. Cepat atau lambat, masa-masa kehilangan itu akan datang, untuk selanjutnya digantikan masa-masa mendapatkan. Kau harus tegar, Daisy. Tuhan cukup adil menakar kehilangan dan mendapatkan dalam hidupmu."

Ada sinar yang mengerlingkan tatap Daisy. Sinar penuh harap, yang membuatnya tak ingin berpisah dengan lelaki itu. Usianya dua puluh sembilan tahun. Aku sembilan belas tahun. Dan Adikku sebelas tahun. Aku mencintainya dengan tatapannya itu.

Gumaman itu seolah jelas di hati Daisy. Seolah cinta itu merupakan hal paling nyata di hidupnya saat ini.

"Kau harus menjalani hidupmu sebaik mungkin, Daisy. Belajarlah, kelak hidupmu akan jauh lebih baik dari apa yang kau pelajari," tandas Danar seraya mengusap lembut kepala Daisy.

Aku berjanji, aku akan belajar. Aku akan selalu membanggakanmu, Kak! Daisy mengikrarkan janji itu dalam hatinya. Janji yang selanjutnya akan menjadi penyesalan terbesarnya. Janji, yang mungkin saja akan kembali menjungkir-balikkan hidupnya.

"Makasih, Kak Danar. Aku akan baik-baik saja," sahut Daisy sumringah.

Senja itu, senja di Istana Maimoon. Senja yang membuat Daisy menjatuhkan hatinya pada Danar, pada lelaki yang menyelamatkan hidupnya. Pada sosok yang memudarkan mega kesedihan wajahnya. 

Kedatangan Danar memberikan ruang untuk Daisy berpulang. Kepadanyalah Daisy akan berpulang, merumahkan segala rasa yang tak pernah diyakininya. Dulu, baginya cinta hanyalah kata-kata munafik para pujangga. Hanya kamuflase kekasaran, makian, kebencian. Namun, ia benar-benar menemukan cinta bersamaan dengan kedatangan Danar.

"Makasih juga, Daisy. Aku yakin kau akan baik-baik saja," kata sosok yang kepadanya Daisy telah mengikat janji. Kepadanya pulalah gadis itu melarungkan cinta pertamanya. Segala hal yang di kemudian hari, membuatnya terpuruk pada luka.

Matahari semakin tumbang. Gelap melebarkan lahan kekuasaannya. Senja untuk sebuah kisah tentang kehilangan. Seperti hujan yang kehilangan mendung, kelak Daisy akan memaknai kata kehilangan yang dikisahkan oleh Danar.