Try new experience
with our app

INSTALL

LOST (TAMAT) 

Empat

Kau tak akan pernah tahu seberapa besar kekuatanmu, sebelum kau benar-benar terpuruk di satu keadaan. Kau tak akan tahu kekuatanmu, sebelum kau tahu, seberapa lemah keadaan menyudutkanmu ...

-untuk sebuah ketegaran-

Segala hal berubah semenjak Daisy diterima bekerja di Ulee Kareng. Jam kerjanya yang mendapat shift malam, memaksa gadis itu pulang hingga larut malam. Bahkan, sering kali ia pulang di atas jam dua belas malam saat ada acara nonton bareng di kafe itu.

Kuliah Daisy perlahan mulai terbengkalai. Ia sering bangun kesiangan. Tugas-tugas kuliahnya sudah tak tersentuh lagi. Ia sangat lelah menghadapi rutinitasnya sekarang.

Daisy hidup dalam kepura-puraan. Pekerjaannya sebagai pelayan memaksanya melakukan sandiwara tanpa keinginannya. Ia harus tersenyum kepada setiap tamu yang datang, padahal ia sangat ingin menangis saat itu. Ia harus berdiri lebih lama untuk melayani para tamu, mondar-mandir dari dapur ke meja tamu, bertingkah seolah-olah ia masih sanggup melakukan itu sampai besok. Padahal, ia sangat lelah dan tak sanggup melakukan pekerjaannya lagi.

"Kau butuh istirahat, Daisy," ucap Luna malam itu setelah membukakan pintu untuk Daisy.

Daisy membalasnya dengan senyum lesu. "Aku butuh uang, Lun. Nggak ada lagi yang bisa kuharapkan."

Berulang kali Luna menasehati Daisy, menyuruh gadis itu untuk memberikan waktu istirahat bagi tubuhnya, namun jawaban Daisy mampu membuatnya bungkam. Apalagi yang harus dikatakan Luna jika sudah menyangkut uang dan ekonomi? Kenyataannya, Daisy memang membutuhkan uang untuk bertahan hidup, membayar kosan, membayar kebutuhan kuliah, dan lainnya. Ia ingin membantu jika saja bisa. Sayangnya, ia pun tak bisa membantu Daisy.

"Apa kau nggak lelah? Bekerja seperti ini? Mengorbankan kuliahmu?" Meski Luna tahu, wajah lesu Daisy tiap kali pulang kerja sudah cukup menjelaskan semuanya. Namun, yang ingin diketahui Luna bukan hal itu. Luna hanya ingin tahu, masih sanggupkah temannya itu menjalani rutinitas yang benar-benar menguras habis tenaga dan pikirannya.

"Lun, kau nggak akan pernah tahu seberapa besar kekuatanmu, sebelum kau benar-benar terpuruk di satu keadaan. Kau nggak akan tahu kekuatanmu, sebelum kau tahu, seberapa lemah keadaan menyudutkanmu." Daisy menamatkan kalimatnya dengan sebuah senyum kalem. Senyum yang diartikan Luna memiliki beribu arti.

Luna merangkul Daisy, lantas membisikkan kalimat yang selalu didengungkannya untuk Daisy. "Kau gadis yang kuat, Daisy."

Ya, seperti kata Daisy. Tak akan pernah ada yang tahu kekuatan terbesar di dalam dirinya, sebelum ia sadar betapa keadaan telah memurukkannya serta menjungkir-balikkan hidupnya. Siapa sangka Daisy akan sekuat itu? Sedang dulu ia hanya gadis bersimbah air mata, kerap kali ia tahu pertengkaran kedua orangtuanya. Ia dulu hanya gadis yang memaki keadaan, tiap kali mengingat tangan manja yang bergelayut di pinggang Bapaknya. Tangan yang sama sekali bukan tangan Ibunya. Daisy yang dulu terjungkal di pusara luka, kini justru bertahan. Menjadi sosok yang begitu kuat. Terkadang, luka itu sendiri yang akan menguatkanmu, batin Daisy dalam hati.

"Kalau begitu, istirahatlah sekarang. Aku sudah mengerjakan tugasmu. Besok kita masuk pagi," tungkas Luna sebelum mereka benar-benar mengakhiri perbincangan malam itu.

Daisy tersenyum terima kasih kepada Luna. Satu hal lagi yang membuatnya sadar betapa Tuhan tetap berusaha adil dalam hidupnya. Meski ia kehilangan keluarga tempatnya berpulang, setidaknya kini ia menemukan Luna. Sosok teman yang sudah dianggapnya seperti saudara. Meski tak bisa dijadikan rumah kepulangannya, namun cukup untuk menjadi dinding baginya bersandar. Sekadar bercerita tentang pedihnya hidup yang mempecundanginya. Terima kasih, Luna.. Daisy membatin seraya menatap wajah Luna yang mulai pulas dalam tidur.

Daisy memandangi langit-langit kosannya. Pikirannya mengawang tinggi, menembus asbes dan seng kosan itu. Sudah setengah bulan ia meninggalkan rumahnya. Sudah selama itu pula ia tak melihat Nicko, tak tahu bagaimana keadaan adiknya. Ia merasakan renjana rindu yang menghunjam hatinya. Hingga dirasanya lelah, lalu ia terlelap bersama kerinduannya.

****

Lenguh klakson kendaraan menyemarakkan pagi di kota Medan.  Bundaran Gatot Subroto terlihat padat di jam-jam keberangkatan seperti itu. Supir-supir angkutan umum sesekali terdengar memaki kendaraan-kendaraan yang terhenti di hadapannya, tanpa sadar kemacetan yang tengah terjadi. Para pengemudi kereta berulang kali menyalip kendaraan lain, membuat nyaris saja terjadi kecelakaan di dekat bundaran.

Matahari menandak semakin tinggi. Cahaya keemasannya semakin jelas menyalak di sisi Timur, mulai menyengat kulit warga yang menghuni kota Medan. Gas-gas perusak yang keluar dari knalpot kendaraan yang memadati jalan, membuat suasana semakin gerah. 

Danar memandangi kemacetan itu setiap pagi, menatap potongan kehidupan di kota barunya. Meski hanya berlangsung sebentar, namun riuh keributannya terdengar jelas. "Setidaknya lebih baik di sini daripada di kotaku," ucapnya seraya memandangi arus lalu lintas yang mulai normal.

Danar sudah meninggalkan pemandangan di luar hotel saat tiba-tiba ponselnya berdering. Nama Sitta terpampang jelas di layarnya. Sebuah panggilan masuk yang selalu mengusik Danar.

Dengan berat, Danar mengangkat telepon itu.

"Halo, Ma ..." sapa Danar dengan nada lesu.

Sitta sudah mencak-mencak di seberang sana. Menuntut ini dan itu pada Danar, hal yang membuat lelaki itu ingin menghilang dari bumi. "Kamu kapan pulang?! Kamu harus kembali! Kamu harus merencanakan pernikahanmu! Apa saja yang kamu lakukan di sana?! Pulang, Danar!!"

Danar mendesah kalut. "Danar nggak akan pulang sebelum Mama menghentikan obsesi Mama akan pernikahan itu!" 

"Kamu harus pulang! Mama nggak mau tahu. Mata kamu sedang dibutakan apa? Chrissy kurang apa? Ia cantik, dewasa, berpendidikan, bermartabat. Apalagi yang kurang, Danar?!" Sitta membentak. Emosinya meluap-luap, tersulut tinggi hingga ubun-ubun.

Danar menghela napas yang begitu berat. Tak mengertikah Sitta? Cantik, dewasa, berpendidikan, bermartabat, semua hal itu tak bisa membuatnya jatuh cinta. Bukan itu yang dicari oleh Danar. Bukan itu pula yang diinginkannya. Cinta bukan sekadar harkat martabat yang tinggi. Tapi, cinta lebih kepada hati yang menyayangi dengan tulus, meski yang disayanginya tak memiliki harkat dan martabat yang berarti. Cinta seperti itu. Itu yang diketahui Danar. Dan itu yang diyakininya.

"Kurang. Danar tidak mencintainya," ucap Danar memelankan suaranya. Ia sengaja, supaya bisa memberikan penekanan di setiap kata yang diucapkannya.

Suara berklik. Telepon diputuskan oleh Danar.

Danar benar-benar kesal pagi itu. Sudah dua minggu dia pergi, dengan harapan orangtuanya akan sadar. Tapi yang ia dapati, semakin hari, orangtuanya semakin terobsesi dengan pernikahan itu.

Danar benar-benar kalap. Keluarga yang harusnya bisa dijadikan tempatnya berpulang, kini justru menjadi jurang yang dihindarinya.

****

Langit menguning. Rona jingga menyepuh gumpalan awan yang tadinya putih. Cahaya kemerahan meremangkan kota Medan.

Para siswa SD Titi Bobrok tampak berbondong-bondong meninggalkan sekolah. Hiruk-pikuk langkah kaki mereka menghempaskan debu-debu jalanan. Tawa dan canda terdengar berbaur di udara, ikut bergabung bersama bau keringat yang menguap. Beberapa anak tampak tersenyum seraya menghampiri orangtuanya. Sebagian lagi terlihat menikmati perjalanan menuju rumah bersama teman-temannya.

Daisy celingukan, mencari sosok yang sangat ia rindukan—Nicko. Tangan satunya berpegangan pada gerbang, menopangkan setengah berat tubuhnya di sana. Tangan lainnya mengusap peluh yang menetes di dahinya. Akhirnya, setelah Daisy berulang kali salah memanggil, berkali-kali salah mengira, ia melihat siluet Nicko yang berjalan bersama teman-temannya.

"Nicko!" panggil Daisy seraya melambaikan tangan.

Sang adik melongok ke sumber suara, lalu undur diri dari teman-temannya, dan berlari kecil menuju Daisy.

"Kak Daisy apa kabar? Nicko kangen." Nicko memeluk kakaknya yang sejak tadi tak membiarkan senyumnya luntur.

"Kakak baik. Nicko gimana? Keadaan di rumah gimana?" Sebenarnya, Daisy tetap merindukan ibunya, meski telah banyak luka yang ditorehkan sang ibu di hatinya.

"Nicko baik juga kok, Kak. Di rumah... sepi. Nicko nggak ada kawan. Ibu sama Om Gunawan jarang di rumah."

Daisy membatin dalam hati. Menyumpahi lelaki yang telah menjadi ayah tirinya berkali-kali. Hatinya disesaki beban berton-ton. Ada rasa ketidakrelaan dalam hatinya saat dia tahu, satu-satunya saudara yang ia miliki disia-siakan seperti itu. Hatinya nelangsa, saat ia sadar bahwa tak ada yang dapat diubahnya. Tidak hubungan antara dia dan ibunya, tidak pula keharmonisan dalam keluarganya.

Secepat mungkin, Daisy menyingkirkan semua persepsi dalam kepalanya. "Nicko laper nggak? Kita makan, yuk. Kakak teraktir, deh." Daisy memamerkan dua lembar uang lima puluh ribuan ke Nicko, yang selanjutnya disambut dengan senyum kemenangan dari Nicko.

"Ayok, Kak!"

****

Langkah Chrissy hilir mudik menyapu lantai. Tangannya memijit ekor hidungnya. Napasnya memburu, tampak ia sedang menahan gejolak di hatinya.

"Mom, tapi nggak bisa memaksa seperti itu?! Lihat apa yang terjadi sekarang? Danar pergi dari rumah dan nggak pulang sampai sekarang," kata Chrissy berusaha menjelaskan kepada ibunya.

Chrissy membenarkan perjodohan antara dirinya dan Danar karena ia memang mencintai Danar. Tapi, ia masih cukup waras untuk tidak memaksakan kehendaknya. Ia tahu dengan jelas Danar tidak mencintainya. Tidak, bahkan setelah ia berusaha sekeras mungkin.

"Perusahaan ini memiliki masa depan yang sangat cerah kalau bergabung dengan perusahaan Jeremy. Kau jangan bodoh, Chrissy!!" Anna—ibunda Chrissy—memang terlihat begitu culas. Ia jelas-jelas menjual Chrissy demi keinginannya.

Chrissy mendengus kesal. "Mom mengorbankan saya demi obsesi Mom? Mom gila!"

Chrissy berlalu dari hadapan Anna. Itu kali pertamanya ia meminta agar pertunangannya dibatalkan, namun Anna mengungkapkan kenyataan pahit untuk Chrissy.

Gemerlap Jakarta berpendar. Keremangan diskotik memanggil jiwa-jiwa yang mulai merutuki kesepian. 

Chrissy menginjak gas mobilnya semakin dalam. Ia meluncur dengan cepat di jalanan Jakarta yang kebetulan lengang malam itu. Tujuan Chrissy tak pernah berubah. Teman yang sejak dulu selalu setia menemaninya; alkohol dan diskotik.

****

Sabtu malam. Sepanjang jalan Dr. Mansyur hingga Setia Budi tampak ramai. Konvoi kereta tampak berjajar di beberapa sudut jalan. Berbagai kafe tampak dipadati para muda-mudi yang tengah dilambungkan cinta.

Seorang lelaki dengan kemeja kotak-kotak biru dan celana jeans hitam turun dari mobil. Langkahnya memangkas jarak antara dirinya dan kafe yang akan dimasukinya. Kepulan asap rokok tampak membumbung tinggi ke langit-langit kafe. Semerbak kopi ulee kareng dan kopi gayo khas Aceh menyeruak penciuman. Danar memasuki kafe itu.

Pencahayaan yang cukup terang, dengan wifi berkecepatan tinggi membuat siapa saja betah berlama-lama di kafe itu. Para pelayan yang tampak ramah menyambut pengunjung, membuat suasana hommy terasa kental di dalamnya.

Seorang pelayan dengan jins hitam dan kaus hitam yang bertuliskan label kafe, tampak menghampiri Danar. Rambutnya dikuncir satu di belakang. Poninya terjatuh dengan indah setiap kali ia menunduk. Sesekali tangannya terlihat menyisir anak rambutnya yang mencuat. Membuat wajahnya semakin manis.

“Silakan, Bang,” kata pelayan itu seraya menyerahkan daftar menu. Ia mengulas sebuah senyum.

Danar memandangi pelayan yang menghampirinya itu tanpa berkedip. Ia melihat senyum yang dikembangkan pelayan itu, namun ia seperti menatap sebuah kesedihan yang menggelayuti wajah manisnya. Seumpama sebuah resonansi, seketika seperti ada yang menggetarkan hati Danar. Semakin dalam ia menatap mata pelayan itu, semakin tenggelam pula ia dalam kekalutan. Memandang pelayan itu, seperti berdiri di hadapan cermin. Saat itu pula, waktu terasa mengkristal. Membuat Danar mematung, berdiri di depan cermin yang merefleksikan bayangannya.

“Maaf, Bang, sudah menentukan pesanan?” tanya pelayan tadi, kembali ia tersenyum.

Danar terkesiap. Ia menjatuhkan menu yang tadi dipegangnya. “Eh, iya. Hhmm ... apa minuman khas di sini?” tanya Danar akhirnya.

Pelayan itu kembali tersenyum. “Ada kopi ulee kareng dan gayo. Kalau Abang penikmat kopi tanpa ampas, aku saranin cobain ulee kareng. Soalnya, kopi gayo ada ampasnya,” katanya menjelaskan.

“Kalau makanannya?”

“Mie aceh dan roti banda.” Lagi, ia tersenyum.

“Baiklah. Aku pesan itu sama kopi ulee kareng dingin,” kata Danar membalas senyuman pelayan di hadapannya.

Pelayan itu mencatat pesanan Danar, lalu mengambil buku menunya. “Ditunggu, ya. Pesanannya segera diantar.” Ia berlalu dari hadapan Danar, menuju dapur yang tak jauh dari tempat Danar duduk.

Danar memandangi punggung pelayan itu yang semakin menjauh. Dalam benaknya, ia bertanya sesuatu. Satu hal yang membuatnya begitu penasaran. Seperti ada sesuatu yang begitu menarik untuk diketahui, dan ada sebuah misteri yang harus dipecahkan, saat pertemuan pertamanya dengan pelayan itu. Siapa gadis itu?

****

Malam semakin merambati kaki kota Medan. Jalanan semakin lengang. Tinggal satu dua angkutan umum yang masih melintas. Beberapa pengguna kereta pun mulai sepi. 

Keude Kupie Ulee Kareng mulai ditinggalkan para penjamahnya. Aroma kopi hangat yang menguar sejak pagi, mulai kehilangan baunya. Para pelayan yang bertugas di shift malam mulai membersihkan meja. Denting gelas yang beradu dengan piring menggigit telinga malam.

Sadar tinggal dirinya sendiri di kafe itu bersama para pelayan, Danar melangkahkan kakinya, meninggalkan kafe. 

Gerai kafe ditutup beberapa pelayan lelaki. Seorang pelayan yang tadi menghampiri Danar tampak keluar dari kafe sebelum kafe itu ditutup. 

Danar yang sejak tadi berdiri di sebelah tukang parkir, mengajaknya berbincang, memperhatikan gadis yang tadi menarik perhatiannya.

Gadis itu semakin mendekat. Kembali tersenyum seraya melambaikan tangan ke arah si tukang parkir. "Bang, duluan ya! Hati-hati jaga malamnya!"

Si tukang parkir menyahuti, tampak begitu akrab. "Oke. Hati-hati juga ya, Dam!"

Danar kembali memandangi siluet punggung gadis itu yang semakin menjauh, mengecil, hingga akhirnya hilang dari hadapannya. Ia menepuk pundak si tukang parkir.

"Itu siapa, Bang?" tanya Danar ingin tahu.

"Itu? Oh. Namanya Daisy. Masih baru juga kerja di sini," jawab si tukang parkir seraya mengibaskan handuk kumalnya.

Daisy? Nama yang ... begitu lembut, batin Danar.

"Apa dia selalu seperti itu?"

"Seperti apa? Menyapa? Tersenyum?"

Danar mengangguk pelan.

"Dia cewek yang ramah. Selalu tersenyum dan menyapa."

Danar membenarkan perkataan si tukang parkir. Gadis itu ramah. Tapi, sejak tadi, sebenarnya Danar tidak melihat senyum di wajah gadis itu. Tidak. Yang ada di wajah manis itu hanya sebuah luka.