Contents
DISTANCE (TAMAT)
Langit Seattle dan Laut Italia
"MICHELLE hati-hati ya di sana. Jangan nakal dan jangan membuat Jean kesusahan menjagamu,” ucap Nyonya Swift seraya memeluk putrinya itu.
“Kau juga Jean, jaga Michelle baik-baik. Kau masih ingat kan di mana penginapan yang papa booking untukmu?” tanya Tuan Jeremy kepada Jean.
“Iya, Pa. Papa tenang saja, Jean akan menjaga Michelle.”
Tiba-tiba, pengumuman tentang penerbangan menuju Italia menggema dari Service Center Tacoma Seattle International Airport. Michelle semakin mengeratkan pelukannya. Ia semakin mendekap ibunya.
“Ma, Michelle pergi dulu ya. Michelle akan pulang secepatnya,” ucap Michelle ketika memeluk Nyonya Swift.
“Iya, Chelle. Selamat bersenang-senang di Italia ya,” sahut Nyonya Swift membalas pelukan putrinya. “Jean, tante titip Michelle ya. Jaga dia baik-baik,” tandasnya.
“Tenang saja, Jean pasti menjaga Michelle.”
Jean tersenyum kepada Nyonya Swift.
Lalu, kaki Jean dan Michelle mulai melangkah menuju pesawat. Sekali lagi, Michelle memandang ibunya, sebelum ia menghilang di balik landasan pesawat.
****
Hitungan jam yang menari-nari di udara, menghitung perjalanan Michelle dan Jean menuju Roma, Italia. Banyak hal yang diperbincangkan Michelle dan Jean selama di pesawat, namun ada satu hal yang tak mereka bahas sedikitpun, seolah hal itu tidak pernah terjadi. Jean, tak sedikitpun ia membahas kejadian tadi malam bersama Michelle di dalam Elevator Menara Space Needle. Hal itu membuat Michelle semakin tak karuan, hatinya kian tak menentu.
“Benarkah kau masih mencintaiku? Benarkah tadi malam itu sebuah kenyataan? Benarkah kau yang melakukan hal itu? Lantas, kenapa kau tak sedikitpun mengingatnya? Kau.. kau seperti melupakan hal itu,” ucap Michelle dalam hati seraya memandang pemuda di sampingnya itu.
“Di Roma nanti, apa yang ingin kau kunjungi pertama sekali?” tanya Jean yang sukses memecahkan lamunan Michelle.
“Colloseum?”
Jean terlihat berpikir, seperti mempertimbangkan jadwal dan waktu.
“Baiklah. Setelah sampai, kita akan langsung ke Colloseum. Setelah itu, aku akan mengajakmu makan malam. Ada yang mau kutunjukkan padamu,” ucap Jean seraya mengulas senyum.
Michelle membalas senyum pemuda itu.
“Kau mau menunjukkan apa?” tanya Michelle penasaran.
Pikiran Michelle mulai melayang-layang ke udara, jauh menembus masa depan. Ia mulai membayangkan sebuah candle light dinner romantis bersama Jean, dan di sanalah Jean akan kembali menjadi kekasihnya. Michelle semakin tinggi berharap akan hal itu. Ia begitu yakin bahwa Jean akan memberikan hal yang sangat special dan istimewa untuk dirinya nanti malam.
“Kau lihat saja nanti malam. Bersabarlah beberapa jam lagi,” jawab Jean dengan senyum menawannya.
****
Sore hari, roda-roda pesawat yang ditumpangi Jean dan Michelle menuju Italia mulai menjamah landasan International Leonardo da Vinci Airport. Mata Michelle segera di sambut dengan beberapa pesawat yang berjajar di landasan. Beberapa sedang bersiap lepas landas, dan beberapa lagi sedang menurunkan penumpangnya dari berbagai Negara.
Kaki-kaki Michelle mulai menyapa landasan pesawat bandara yang mulus terlapisi aspal. Tampak orang yang berlalu-lalang di sana. Beberapa sedang menanti seseorang datang dengan senyum yang mengembang, dan beberapa lagi sedang terisak penuh haru untuk melepas kepergian dan bersiap menyapa rindu.
Jean menuntun jalan Michelle, sesekali pemuda itu melirik ke samping atau ke belakang, memastikan gadis itu tetap berada di dekatnya. Mata Michelle langsung tertuju pada Menara Pantau yang tampak berada di seberang landasan. Menara tinggi itu didesign dengan sangat menarik. Perpaduan warna orange dan putih yang membentuk kotak-kotak, serta di sisi menara yang satunya dipenuhi kotak-kotak merah dan putih. Menara yang berwarna merah-putih itu memiliki sebuah pilar besar berwarna putih sebagai kakinya dan memiliki sebuah tangga kecil di salah satu sisinya. Mendekati puncaknya, menara itu berbentuk persegi. Dan dipuncak teratas, sebuah ruangan yang dibentuk sedemikian rupa menyerupai bentuk prisma segi delapan yang saling dihadapkan. Juga beberapa pemancar yang berjajar tegak di atasnya. Michelle benar-benar tertarik melihat design manara pemancar itu.
“Bisakah kita ke sana?” tanya Michelle seraya menarik kemeja Jean.
Jari telunjuk Michelle mengarah ke menara pemancar bermotif merah-putih yang diperhatikannya sejak tadi. Jean hanya tersenyum kecil melihat kekonyolan Michelle.
“Bisa, jika kau sudah mengajak salah satu pilot di sini untuk berkenalan denganmu. Setelah kau kenal, minta saja pada mereka untuk membawamu ke sana,” jawab Jean usil.
Michelle seketika manyun mendengar jawaban Jean.
Perhatian Michelle kembali teralihkan ketika kakinya mulai melangkah ke lobby bandara Leonardo da Vinci. Lobby yang begitu megah dengan sensasi warna putih. Besi-besi mengkilat saling bersilangan di langit-langit ruangan besar itu. Berbagai panggilan dan pemberitahuan menggema ke setiap sudut melalui microfone pusat informasi. Beberapa pramugari yang baru selesai mengudara tampak hilir mudik menuju ruang staff bandara. Dan hal yang kian jelas terlihat adalah hiruk pikuk orang-orang yang sedang menanti kedatangan dan melepas kepergian.
“Jean, tak ada yang menunggu kedatangan kita atau menyambut kedatangan kita?” tanya Michelle yang lagi-lagi dipenuhi kekonyolan.
“Ada. Kalau langitmu ini salah satu petinggi di Italia,” jawab Jean lebih konyol.
“Huh!!!” dengus Michelle kesal.
Langkah Jean terhenti. Ia meletakkan kopernya di sebelahnya. Ia menarik tangan Michelle yang terus melenggang dengan kesal.
“Kenapa, Chelle?? Baru beberapa menit di sini dan wajahmu sudah berkerut-kerut seperti ini?” tanya Jean seraya mencubit pipi Michelle.
Michelle tetap diam. Gadis itu tak berminat menjawab pertanyaan Jean.
“Chelle, tak ada yang menyambut kedatangan kita di sini. Kita datang bersama untuk liburan dan mendengar penjelasanku. Ada sih sebuah penyambutan. Tapi itu untukmu, bukan untukku,” ucap Jean yang berhasil membuat Michelle bersuara.
“Untukku? Kenapa? Siapa yang menyambut kedatanganku?” tanya Michelle penuh semangat.
“Iya, untukmu. Aku yang menyambutmu. Kau suka?”
Michelle kembali terdiam, terlihat sedang berpikir.
“Ya, aku senang. Ayo kita pergi, aku ingin melihat Colloseum.”
Jean dan Michelle kembali melanjutkan langkahnya. Senja mulai membayang benda-benda yang berdiri menghadap padanya. Michelle kian berharap pada malam yang akan mewujudkan cintanya, mengembalikan mantannya itu kepadanya. Mantan yang tak pernah sedetikpun menjauhinya.
****
“Jean, aku mau kau mengambil fotoku di dekat patung itu!” seru Michelle saat melihat sebuah patung raksasa yang berdiri tegak di depan bandara Leonardo da Vinci.
Sebuah patung Leonardo da Vinci dengan jubahnya yang terjuntai hingga ke lantai dan lengan baju panjang. Di patung itu terlihat Leonardo sedang menengadahkan tangan kirinya setinggi kepalanya dan tangan kanannya memegang salah satu mahakarya yang pernah dibuat olehnya semasa hidupnya, The Aerial Screw. Aerial Screw adalah sebuah design helicopter buatan Leonardo yang terinspirasi dari mainan berbentuk kincir angin. Patung Leonardo da Vinci dengan Aerial Screwnya selalu menjadi penyambut para tamu dan orang-orang yang berkunjung ke International Leonardo da Vinci Airport.
“Baiklah, cepat yah!” sahut Jean seraya mengeluarkan handphonenya untuk mengambil foto Michelle.
Jean beberapa kali mengambil foto yang begitu dinginkan Michelle, sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke apartemen dan Coloseum.
****
Setelah Michelle selesai berdandan dan bersiap menuju Coloseum, Jean terlihat sedikit murung. Langkahnya terasa begitu berat untuk dapat meninggalkan apartement itu dan pergi bersama Michelle.
“Kau kenapa?” tanya Michelle heran.
Michelle sudah menuruti kemauan Jean. Jean ingin mereka ke apartement dahulu untuk mandi dan makan. Jean ingin Michelle memakai baju yang sudah dibelikannya untuk acara kecil nanti malam yang sudah disiapkannya.
“Tidak, tidak kenapa-kenapa. Kau sangat cantik dengan baju itu. Tapi tetap saja aku lebih suka melihatmu kemarin malam dengan gaun putihmu,” jawab Jean yang melekatkan pandangannya pada Michelle.
“Tapi aku suka baju ini. Ini pemberian darimu, aku suka warnanya.”
Sekali lagi Jean memandang gadis di hadapannya itu. Gadis dengan celana jeans dan sweeter berwarna abu-abu kombinasi biru pemberian Jean. Sepatu skate motif koran penuh warna dan tali berwarna pink membuat gadis itu kian terlihat sporty dengan tidak melunturkan kesan elegantnya sebagai cewek.
“Benarkah?” tanya Jean menyakinkan.
Michelle hanya mengangguk pelan dengan senyum yang mengembang.
“Michelle,” ucap Jean dengan nada lirih. Michelle mendengarkan baik-baik perkataan Jean. Jean menggenggam tangan Michelle, “Masihkah kau ingin ke Coloseum itu?” tanya Jean menandaskan kalimatnya.
Tangan Jean kian kuat menggenggam jari-jemari Michelle.
“Iya, aku masih ingin ke sana denganmu. Kenapa? Kau tidak mau?”
“Bukan, bukannya aku tak mau. Aku hanya takut kau tidak akan menyukai malam ini.”
Jean tertunduk. Michelle masih berusaha mengerti perkataan Jean saat pikirannya mulai membayangkan betapa romantisnya sebuah cahaya temaram dari lilin merah di atas meja, sebuah mawar merah yang menghiasi meja makan dan dua gelas coffee hangat penuh cinta. Michelle semakin tak sabar untuk ada di moment itu.
“Tidak, Jean. Apapun yang kau siapkan malam ini untukku dan apapun yang akan kau lakukan, kupastikan aku akan menyukai hal itu pula,” ucap Michelle meyakinkan Jean.
Sayangnya Michelle tak mengerti isi hati Jean. Dia tak mengerti bahwa ada hal yang begitu berat di hatinya, hal yang tak bisa diucapkannya.
****
Bangunan besar berbentuk oval dengan penerangan yang membuatnya kian misterius kini berada di depan Michelle. Bangunan yang terbentuk dari batu-batu besar dipasang menjadi satu dengan tiga ratus ton lem besi itu tampak berwarna emas pada malam hari.
“Waw!! Ini… ini sangat menakjubkan!” lengking Michelle dalam hati yang takjub dengan bangunan Coloseum di depannya.
“Kau suka?” tanya Jean ketika melihat kaki Michelle maju selangkah demi selangkah seraya menujukan pandangannya pada setiap lekuk bangunan Coloseum.
“Ya, aku sangat menyukainya!! Bisakah kita lebih dekat lagi?”
Senyum Michelle mengembang, menyambut cahaya lilin dan lampu neon yang memberi rona keemasan pada Colloseum.
Michelle melangkahkan kakinya lebih jauh, menelusuri pilar-pilar besar yang berjajar rapi nan kokoh di sela-sela Coloseum. Jean mengikuti langkah gadis itu.
Bangunan yang dipenuhi dengan lubang-lubang yang menyerupai jendela di setiap sisinya, dengan bentuk ovalnya, butir-butir pasir yang bertabur di sepanjang lantai arena, kandang-kandang hewan buas yang masih dibiarkan berada di sudut-sudut Coloseum, tempat duduk yang bertingkat-tingkat sesuai dengan kasta bangsa Romawi pada masa itu. Coloseum itu mampu memanjakan penciuman Michelle akan kehidupan para gladiator dan bau anyir darah yang berasal dari hewan buas atau para tahanan.
“Ini benar-benar menakjubkan, Jean!!” sekali lagi pekikan Michelle melengking di atmosfer Roma. “Kau lihat Jean, di podium utama yang ada di sisi selatan dan utara itu diperuntukkan bagi Kaisar dan keluarganya. Lalu, di situ, di tingkat yang sama pada tempat yang lebih luas itu, biasanya di situ tempat para senator Roman. Itu namanya tingkat maenianum primum. Tingkatan yang itu untuk bangsawan Roman. Di tingkat ke-tiga namanya maenianum secundum. Di tingkatan itu dibagi menjadi tiga bagian lagi. Pertama, immum untuk orang kaya Roman, di atasnya summon untuk…..”
“Stop!” bentak Jean seraya membungkam mulut Michelle dari belakang. Michelle yang hanya setinggi dagu Jean, membuat Jean semakin leluasa melakukan hal itu.
Michelle terkesiap. Mulutnya terdiam. Tak ada sepatah katapun lagi yang keluar dari mulutnya.
“Aku mengajakmu ke sini untuk melihat senyummu, bukan untuk mendengar penjelasanmu tentang tempat ini,” ucap Jean yang masih berdiri di belakang Michelle.
Jean mulai menurunkan tangannya perlahan dari mulut Michelle. Michelle berbalik arah menghadap pemuda itu. Sedetik kemudian Michelle tersenyum pada Jean.
“Terima kasih. Ayo kita berkeliling lagi,” kata Jean.
Jean memegang tangan gadis itu. Mereka berjalan di antara pilar-pilar Coloseum yang bernuansa emas dengan cahaya lilin dan lampu neon. Di bawah temaram rembulan, Michelle dan Jean menyusuri setiap lekuk Coloseum. Batu-batu bisu di dinding Coloseum menyaksikan ketika hati setitik awan kecil berharap pada langitnya. Ketika sang mantan berharap pada mantannya. Ketika sahabat berharap cinta pada kisah mereka.
****
Michelle dan Jean sudah tiba di salah satu restaurant di sekitar Colloseum. Cahaya lilin dan sebuah mawar merah yang menghiasi meja itu membuat Michelle semakin membayangkan betapa indahnya makan malam bersama Jean. Namun, Michelle heran saat melihat ada empat kursi yang terjajar di meja bulat itu.
“Jean, kenapa ada empat kursi?” tanya Michelle ketika sampai di depan meja makan.
“Iya, akan ada seseorang yang datang. Aku akan mengenalkanmu padanya. Tunggulah,” jawab Jean dengan senyum sumringah.
DEG!! Jantung Michelle berdetak tak beraturan sejenak. Beberapa pertanyaan mulai muncul di benaknya.
“Ada yang akan datang? Ini bukan makan malam untuk kita?” tanya Michelle dalam hatinya.
Segera saja Michelle menghalau segala pertanyaan sejenis itu yang mulai lahir dan berkembang biak di hatinya. Hingga seorang gadis berparas khas Italia yang menggunakan gaun pink super mewah, cara berjalan yang sangat anggun, wajah yang berpoles make-up natural namun mampu memperjelas karakternya, dan aroma parfum yang berasal dari orang-orang berkelas atas. Gadis itu terlihat sempurna!
“Siapa gadis ini?” batin Michelle ketika gadis itu berada tepat di hadapannya.
Jean segera menyambut kedatangan gadis Italia itu. Gadis itu segera mencium pipi Jean di hadapan Michelle. Terang saja Michelle tak terima dengan apa yang dilihatnya.
“Apa-apaan wanita ini? Dia mencium Jean? Dia mencium pipi Jean di hadapanku? Dia tidak tahu siapa aku di hidup Jean?!!” dengus Michelle kesal dalam hati.
Wajah Michelle kian memerah ketika Jean mendaratkan sebuah kecupan di pipi kanan gadis itu, seolah menyambut setiap hal yang dilakukannya.
“Jean!!!” dengusnya dengan tanduk dan taring yang sudah terpasang di kepala dan mulutnya.
“Michelle, kenalkan, ini Annette. Dan Annette, ini Michelle,” ucap Jean ketika mempertemukan kedua gadis cantik itu.
“Hai Michelle, senang bertemu denganmu,” kata Annette seraya menjabat tangan Michelle.
Michelle diam tak berkutik. Hatinya sudah dipenuhi rasa cemburu dan penasaran.
“Jadi, Chelle, kemarin aku pergi selama sebulan, itu aku ke Italia. Ke negeri ini. Aku ke sini untuk menemui Annette,” ucap Jean dengan ringan.
“Apa?? Sebulan ke Italia untuk menemui gadis ini tanpa sepengetahuanku?!!” dengus Michelle kesal dalam hati.
“Maaf ya, Awan Kecil, aku tak mengabarimu mengenai hal itu. Annette salah satu bangwasan di Italia. Dia juga sedang berkuliah di Universitas Roma La Sapienza. Annette juga menjadi duta lingkungan hidup Italia tahun 2011 kemarin……”
Penjelasan Jean terpotong karena salah satu pelayan di restaurant itu datang membawa pesanan mereka. Setidaknya ada yang senang dengan terpotongnya ucapan Jean yang penuh dengan kelebihan-kelebihan dan keistimewaan-keistimewaan Annette.
“Bagus deh ada pelayan ini! Kau terus saja membanggakan wanita ini!!” dengus Michelle penuh kesal. Kerutan-kerutan kesal mulai terukir di dahi Michelle.
Michelle, Jean dan Annette segera menyantap makanan yang sudah dibawakan oleh pelayan.
Lima menit pertama acara makan malam itu masih berjalan dengan lancar. Michelle, Jean dan Annette masih sibuk dengan garpu dan sendok masing-masing. Hingga akhirnya Michelle bersuara dan menanyakan apa yang sudah mengganjal di hatinya sejak awal Jean mengungkapkan bahwa akan ada satu orang lagi yang datang ke candle light dinnernya bersama Jean.
“Jean, jadi apa yang mau kau tunjukkan padaku?” tanya Michelle to the point.
Jean dan Annette segera meletakkan garpu mereka yang sedang dipenuhi lilitan-lilitan spaghetti yang bersiap untuk disantap. Mereka berdua menatap Michelle, hingga Michelle merasa paranoit sendiri.
“Kenapa menatapku seperti itu?” tanya Michelle ngeri.
“Jadi begini, Chelle, kemarin aku ke Italia bersama orang tuaku untuk membicarakan pertunanganku,” ucap Jean dengan senyum teduhnya.
Michelle meleleh ketika melihat senyum itu, sebelum ia sadar tentang pertunangan yang dibicarakan oleh Jean.
“Apa?!!! Pertunangan? Dengan siapa? Di mana? Kenapa tidak bercerita padaku?!!” gumam Michelle dalam hati, ya, hanya dalam hatinya.
Michelle masih tak berkomentar. Ia masih memainkan spaghettinya dengan garpu. Sesekali ia menyumpali mulutnya dengan sedikit spaghetti, agar mulutnya tak berkomentar lebih jauh, meski hatinya sudah membantah sejadi-jadinya setiap perkataan Jean.
“Kau tahu siapa gadis yang akan bertunangan denganku?” tanya Jean.
Michelle menatap pemuda itu penuh tanya. Lalu ia melihat Annette tersenyum, tersipu malu.
“Kenapa lagi dengan wanita ini?” dengus Michelle dalam hati.
“Tidak. Siapa memangnya?” ucap Michelle ringan seraya terus memainkan makanannya.
Tak dapat dipungkiri, Michelle berharap Jean akan menyebut namanya sebagai nama gadis yang akan diajaknya tunangan. Namun, rasanya sudah ada unsur tidak mungkin yang bercampur di antaranya.
“Annette. Gadis ini yang akan bertunangan denganku. Dan kami sudah setuju menunda pertunangan sampai kau menyelesaikan ujianmu. Aku ingin kau datang di acara pertunangan kami. Bukan begitu Annette?”
“Tentu saja, Sayang. Benar, Chelle. Kami menunda pertunangan kami hingga liburan kelulusanmu nanti. Kami ingin kau datang di acara kami. Aku tahu, kau satu-satunya gadis yang selama ini selalu bersama Jean, untuk itulah aku ingin teman baik Jean datang di hari bahagia kami,” tandas Annette menimpali ucapan Jean.
JLEB!! Garpu yang sejak tadi digunakan Michelle untuk mengalihkan perhatiannya, kini terjatuh setelah mendengar ucapan Jean yang akhirnya ditimpali oleh Annette. Dentingan suara garpu yang mencium tepian piringnya itu mampu membuat berpuluh pasang mata beralih ke Michelle.
Michelle terdiam. Rasanya ia telah ditinggalkan oleh kata-kata yang biasanya berserakan di atmosfer tiap kali dirinya bersama Jean. Kata-kata yang biasanya menanti dijamah oleh tutur sapa Michelle saat bersama Jean, kini menghilang. Lenyap tanpa bekas. Michelle tak tahu harus berkata apa. Lidahnya kelu, mati rasa. Matanya berulang kali menatap Jean dan Annette. Sesekali ia menatap dalam ke mata Jean, berharap Jean akan mengerti dan memberi penjelasan logis atas pertunangannya itu.
“Bertunangan? Tapi?? Tidak mungkin!! Bukankah.. bukankah kemarin malam kau baru saja menciumku Jean? Kau menggenggam tanganku sepanjang malam. Tidak mungkin kau…..” batin Michelle dalam hati yang masih belum bisa menerima kenyataan.
Beribu pertanyaan tentang bagaimana, kenapa, mengapa, sudah mampu memenuhi hati Michelle. Pikirannya masih tidak habis pikir. Tidak mungkin Jean tidak mencintainya dengan hal dan sikapnya ke Michelle kemarin malam, sepanjang Menara Space Needle. Tidak mungkin hati Jean tidak mencintainya setelah ia mencium Michelle untuk pertama kalinya. Tidak mungkin ia tidak merasa takut kehilangan awan kecilnya itu, kenyataannya Jean selalu menggenggam tangan gadis itu.
“Jean, kenapa?” tanya Michelle dalam hati seraya menatap dalam menembus kornea mata Jean.
Michelle berharap langitnya itu akan menjawab pertanyaan di hatinya dan mendengar hati Michelle akan semua pertanyaannya. Sayangnya, Jean tidak sedikitpun mendengar apa yang sedang bergemuruh di hati Michelle.
“Jean, katakan kau mencintaiku!!!” seru Michelle dalam hati, namun Jean tak juga mendengar hatinya itu.
Michelle masih bertarung dengan seribu pertanyaan hatinya. Ia masih berusaha memberi penjelasan kepada hatinya yang terus saja menuntut alasan atas sikap dan pertunangan Jean. Hingga tanpa sadar, kristal-kristal bening mulai merapat ke tepian matanya.
Keadaan menjadi hening. Baik Michelle, Jean atau Annette, mereka saling berdiam diri. Hingga Annette menyadari ada yang berkilau di ujung mata Michelle.
“Kau.. kau menangis, Chelle? Kenapa kau menangis, Sayang?” tanya Annette ketika melihat benda bening berkilauan di sudut mata Michelle.
Lamunan Michelle terpecah dengan pertanyaan Annette. Michelle segera menyeka air matanya sebelum tertumpah di restaurant itu.
“Eh, tidak, Annette. Aku baik-baik saja. Aku hanya terharu, akhirnya langitku menemukan cintanya. Aku sangat tersanjung, kalian rela mengulur pertunangan kalian hanya demi aku? Terima kasih, Annette. Kau memang gadis yang baik untuk Jean. Tapi kalian tidak perlu mengundur acaranya, percepat saja, tidak apa-apa tanpa aku. Aku bahagia untuk kalian berdua,” ucap Michelle seraya menyeka air matanya.
Ia tersenyum lebar untuk Jean dan Annette. Untuk langitnya, sahabatnya, dunianya, mantannya. Michelle tersenyum untuk sosok yang memberinya semua itu.
Hati Michelle bergemuruh. Dadanya serasa sesak. Paru-paru Michelle tak bisa menerima oksigen dengan baik. Jantungnya juga tak bisa memompa darah dengan baik. Michelle ingin berteriak. Hatinya sudah terlalu sakit. Awan kecil itu merasa telah dicampakkan dan diusir langitnya sendiri, langit yang selama ini menaunginya dan memberi dunia ternyaman untuknya.
“Jean, aku mau balik ke apartement duluan ya. Kita ketemu di sana saja ya,” ucap Michelle dengan nada lirih.
Michelle tak tahu harus berbuat apalagi. Ia sudah kehabisan kata-kata. Michelle tak sanggup lagi untuk melihat Jean di tempat itu. Matanya sudah terlalu berat menahan air mata.
“Kembali ke apartment? Sekarang? Kenapa tidak sama-sama saja baliknya?” tanya Jean heran.
“Tidak, tidak usah. Aku duluan saja. Kalian lanjutkan makan malamnya. Annette, selamat ya. Aku yakin kau bisa membahagiakan Jean,” jawab Michelle seraya beranjak dari tempat duduknya.
Michelle melangkahkan kakinya dari restaurant. Ia meninggalkan Jean dan Annette di sana.
Michelle pergi dengan hatinya yang remuk, berantakan seperti puzzle tak beraturan. Kaki-kakinya mulai menyusuri jalanan Roma yang tak dikenalnya.
****
Michelle tak langsung kembali ke apartement. Ia malah melangkahkan kakinya kembali ke Coloseum. Untuk kedua kalinya ia menyapa Coloseum itu dengan senyumnya. Hanya saja yang membedakannya, kali ini dia datang sendiri, tanpa langitnya.
“Hai Coloseum, kau masih seperti tadi? Ya, mungkin aku saja yang sudah jauh berbeda dari pertemuan pertama kita,” ucap Michelle pelan ketika menyandarkan punggungnya di salah satu pilar Coloseum.
Michelle duduk di samping pilar yang menjadi sandarannya tadi. Berulang kali ia menghela napas panjang dan sangat berat. Air matanya seketika mengering. Ia tak sanggup lagi untuk menangis. Hatinya sudah terlalu sakit untuk bisa meluruhkan butir-butir air mata.
“Terang saja Jean memilih Annette. Gadis itu seorang bangsawan, berpendidikan, dewasa, sangat anggun, cerdas. Haaa!! Dia sangat sempurna untuk standarisasi seorang gadis seusianya. Pantas saja Jean mencintainya. Aku berbanding terbalik dengan gadis itu. Aku masih siswi SMA, aku manja, aku sama sekali tidak berprestasi dalam hal apapun. Terang saja Jean memilihnya, meskipun aku awan kecil yang selalu bersamanya..” ucap Michelle lirih.
Michelle memutar playlist di handphonenya. Dan seperti mengerti isi hatinya, lirik demi lirik kian menyindirnya. Ia kian merasa kehilangan langitnya.
When you walk away
I count the steps that you take
Do you see how much I need you right now?
When you're gone
The pieces of my heart are missing you
When you're gone
The face I came to know is missing too
When you're gone
All the words I need to hear to always get me through the day
And make it OK
I miss you
Lantunan nada dan lirik yang dinyanyikan Avril mampu menyindir hati Michelle. Michelle menghitung detik demi detik yang kian menjauhkannya dari Jean. Ia mengukur mili demi centi yang kian melebar di antaranya dan Jean. Sadar atau tidak, takkan ada lagi cerita, tawa dan canda di antara mereka ke depannya. Secepatnya, Jean akan menjadi milik orang lain.
“Dulu kita pernah berbincang Jean. Kita pernah saling bertanya dan mengarang jawaban. Dulu kita selalu bertanya bagaimana kita akan terpisah nantinya, sedangkan langit dan awan selalu bersama sepanjang waktu. Tapi, kini aku tahu jawabannya yang pasti. Ya, beginilah cara kita dipisahkan oleh Tuhan,” ucap Michelle dengan nada yang bergetar.
Perbincangan antara Michelle dan dirinya sendiri masih berlanjut. Pemikiran-pemikiran yang dilahirkannya mengiringi setiap perbincangannya itu.
Cahaya keemasan dari lampu neon dan api-api di penghujung sumbu lilin Coloseum menemani Michelle malam itu. Menemani kesenduan hatinya yang kian remuk ketika detik-detik kian berganti dan mengurangi waktunya untuk bisa bersama Jean, langitnya.
****
Hari kian menggelap. Michelle masih saja betah bercengkrama dengan malam di Coloseum. Sampai handphonenya berdering, dan di sana terpampang nama Jean yang meneleponnya.
Dengan malas, Michelle mengangkat telepon itu.
“Ya, Jean. Kenapa?” tanya Michelle menanggapi suara dari seberang sana.
“Aku tak tahu kalau kau sudah pulang. Aku di Coloseum.”
Telepon itu terputus. Michelle tak juga beranjak dari tempatnya. Sepertinya ia sedang menunggu Jean untuk datang menjemputnya.
****
Setengah jam kemudian Jean datang menjemput Michelle. Wajah Michelle masih terlihat kecewa. Bahkan ia sangat enggan menatap wajah pemuda itu.
“Kau kenapa tidak kembali ke apartement?” tanya Jean seraya menghampiri Michelle.
“Ini aku mau kembali ke apartement,” jawab Michelle datar, ia bangkit dari tempat bersandarnya.
“Ya memang seharusnya begitu. Aku ke sini untuk menjemputmu kembali ke apartement.”
Jean memarahi awan kecilnya itu, namun Michelle tak menggubrisnya sedikitpun. Michelle segera melangkahkan kakinya ke dalam taksi.
Suasana malam itu benar-benar buruk. Jean hanya bisa memandang Michelle yang meninggalkannya begitu saja tanpa menggubris sedikitpun ucapannya.
****
Sesampainya di apartement, Michelle segera masuk ke kamar tanpa mengajak Jean berbincang atau sekedar mengucapkan selamat malam padanya.
Jean mengikuti langkah Michelle memasuki apartement. Jean dan Michelle tidur di satu kamar yang sama. Hanya saja berbeda tempat tidur dan apartement itu terbagi dalam tiga ruangan lagi setiap kamarnya.
“Michelle, kau baik-baik saja?” tanya Jean khawatir ketika Michelle mulai membuka ruangannya.
“Jauh lebih baik dari yang kau bayangkan,” jawab Michelle datar seraya menutup pintu kamarnya, meninggalkan Jean di ruang TV.
Di dalam kamarnya, Michelle membanting badannya ke atas tempat tidur. Ia memendamkan wajahnya di atas bantal. Keadaannya benar-benar sedang buruk. Bahkan terlalu buruk untuk bisa dijelaskan dengan air mata.
“Kau berkata padaku jangan pernah tanyakan apapun lagi padamu, bukan? Baiklah, aku takkan menanyakan apapun lagi. Bahkan alasanmu menghempaskanku dengan cara ini pun takkan kutanyakan padamu. Takkan!!” seru Michelle dalam hatinya yang masih mengucurkan darah segar. Sayatan di hatinya kian melebar seiring malam yang mulai menyambut pagi.