Try new experience
with our app

INSTALL

DISTANCE (TAMAT) 

Menara Space Needle

“MICHELLE!!!”

Suara Jean melengking dari depan pintu rumah Michelle. Pemuda itu datang bersama keluarganya. Jean masih mengenakan ransel besarnya. Kebetulan ia baru saja pulang dari Italia.

Dengus kekesalan mulai tampak di wajah Michelle. Ia hanya memandang sinis ke arah Jean, meliriknya seolah-olah ia bersiap jika harus membunuh pemuda itu ketika ia sampai di hadapan Michelle.

“Kau kenapa?” tanya Jean dengan wajah polosnya seraya memperlambat irama langkahnya. 

Jean merasa ngeri sendiri melihat tatapan Michelle yang setajam elang melihat mangsanya. 

“Kenapa??! Kau masih bisa bertanya kenapa? Kau pergi selama sebulan tanpa memberiku kabar dan sekarang kau masih bisa bertanya kenapa?!! Kau, pemuda berhati batu!!” dengus Michelle penuh kekesalan terhadap Jean.

Jean terdiam sejenak. Meresapi kata-kata Michelle.

“Pemuda berhati batu?” ulang Jean dalam hatinya.

Tuan Jeremy lewat di depan Jean. Ia mengedipkan sebelah matanya pada Jean, seolah memberi kode kepada putranya itu untuk menjelaskan kejadian yang sebenarnya pada Michelle. Jean pun hanya tersenyum kecil.

Jean menarik tangan Michelle dan mengajaknya ke depan beranda rumah Michelle.

“Kau mau mengajakku kemana?” tanya Michelle penuh protes.

“Hanya ke depan rumahmu saja. Kau jangan marah-marah seperti itu. Kau sangat menggemaskan!” jawab Jean yang masih menarik tangan gadis itu.

“Ini, aku membawa ini untuk kita,” tandas Jean ketika mereka sudah duduk di depan beranda rumah Michelle.

Jean mengeluarkan dua lembar kertas dari dalam tasnya. Dua lembar kertas itu bukan kertas biasa. Itu adalah tiket penerbangan menuju Italia. Jean memberikan sebuah tiket penerbangan Seattle – Italia untuk Michelle.

Michelle terperangah. Ia menatap lekat ke dua lembar kertas bisu yang disodorkan Jean padanya.

“Itu…” ucap Michelle tergagap.

“Iya Chelle. Ini tiket pesawat ke Italia untuk kia berdua. Kau sudah liburan, bukan? Kalau begitu ikutlah denganku dan kita akan liburan ke Italia, sekaligus ada yang ingin aku tunjukkan padamu di sana. Kau mau? Ayolah, papaku sudah membelikan ini untuk kita,” sahut Jean menjelaskan.

Michelle masih terdiam dengan pikirannya. Beranda rumah berplafon rendah seperti kebanyakan rumah di Amerika dengan warna krem yang khas di setiap dindingnya menjadi ruang tersendiri bagi Michelle untuk merenungi dan menjawab semua pertanyaan di hatinya akan dua tiket penerbangan itu.

“Kau, kemarin kau pergi ke mana? Sebulan lebih kau menghilang dariku,” tanya Michelle mengalihkan kedua tiket yang berada dalam genggaman Jean.

“Aku meminta tiket ini ke papa untuk bisa mengajakmu ke Italia. Aku akan menjelaskan semuanya di sana. Ayolah, aku tak ingin kau bersedih seperti ini. Aku berjanji akan menjelaskan semuanya padamu di Italia. Kau percaya padaku, Awan Kecil?”

Jean meletakkan tangan kanannya tepat di pipi Michelle. Ia membelainya dengan lembut, berusaha memberikan pengertian ke awan kecilnya itu.

“Kau berjanji akan menjelaskannya?” tanya Michelle mencari kepastian lebih.

Jean tersenyum kecil pada Michelle.

“Tentu saja, Sayang!! Sudahlah, kau jangan memasang wajahmu yang seperti itu. Aku sangat merindukanmu dan gerimis di kota ini. Kau kejam! Aku pergi selama sebulan dan terpisah darimu, kini setelah aku pulang kau menyambutku dengan wajah sejelek itu?” 

Perlahan, semburat senyum mulai tergores di wajah Michelle. Dinding-dinding rumah yang berstruktur garis-garis itu menjadi saksi bisu ketika senyum Michelle kembali mengembang.

“Nah, begitu dong! Oh ya, nanti malam aku akan menjeputmu jam tujuh. Berdandanlah secantik mungkin. Kau harus secantik seorang putri malam ini. Aku ingin mengajakmu ke sebuah tempat sebelum kita pergi ke Italia besok.”

“Ini kencan?” tanya Michelle dengan wajah polosnya.

Jean terlihat berpikir sejenak. Dahinya berkerut.

“Ya, sejenis itu. Jangan lupa ya jam tujuh malam. Jangan telat! Aku mau pulang dulu, aku mau istirahat. Sampai ketemu nanti malam,” jawab Jean seraya mencubit lembut pipi Michelle.

Seusai mencubit pipi awan kecilnya itu, Jean melenggang ke rumahnya yang berada tepat di sebelah rumah Michelle. Michelle masih mengelus pipinya yang baru saja dicubit oleh Jean. Senyum kecil pun mengirigi setiap elusan lembut pada pipinya itu.

****

Malam sukses menjamah kota yang dijuluki sebagai Emerald City karena banyaknya pepohonan di sisi jalannya. Tepat pukul 07.00pm, Jean menjemput awan kecilnya. 

“Michelle, aku datang…” ucap Jean seraya mengetuk pintu rumah Michelle.

Tak lama kemudian seseorang memutar kenop pintu rumah Michelle. Jean segera terkesiap saat mendapati sosok yang menyembul dari balik pintu itu. Seorang gadis dengan gaun putih selutut, bagian roknya yang terlipat ke dalam seperti balon, gaun tanpa lengan di bagian atasnya,  blazer putih berlengan panjang yang menutupi tangan mulusnya, rambut cokelat tua yang terurai dengan rapi, bibir mungil yang dipolesi lipgloss berwarna soft pink, kelopak mata yang dibubuhi eye shadow berwarna abu-abu, eye liner yang membentuk garis indah di tepi kelopak matanya, dan yang terakhir, sepatu putih dengan bunga indah di depannya serta hak setinggi 1 centimeter itu membuat kaki gadis itu tampak sangat serasi dengan gaunnya.

Jean menatap lekat ke arah gadis kecilnya itu, Michelle. Sejenak Michelle tampak sangat dewasa dan sangat cantik dengan penampilannya malam itu.

“Kenapa kau menatapku seperti itu? Kau tidak suka aku mengenakan gaun ini?” tanya Michelle ketika ia sadar mata Jean tak pernah luput dari dirinya sejak pertama kali ia memunculkan dirinya di hadapan Jean.

“Eh, tidak. Aku suka, aku sangat suka penampilanmu malam ini. Kau sudah siap untuk berkencan denganku malam ini?” tanya Jean berusaha mengalihkan pembicaraan.

“Ya, jika kau memaksa,” jawab Michelle dengan senyum jahilnya.

Jean tak peduli dengan senyuman Michelle yang jelas-jelas meledek dirinya itu. Jean segera menarik tangan Michelle dan membukakan pintu Ferrari putihnya yang minimalis itu untuk Michelle.

“Silahkan masuk, Awan Kecilku,” ucap Jean dengan senyum menawannya ketika mempersilahkan Michelle memasuki mobilnya.

Setelah Jean duduk di kursinya yang super nyaman dengan steer yang menunggu untuk dikendalikan, Michelle memandang lekat ke arah pemuda itu. Kemeja lengan panjang dengan jeans hitam yang membuat pemuda itu tampak proporsial. Penampilan simple Jean namun cukup untuk membuatnya tampak istimewa di hadapan Michelle.

“Kenapa?” tanya Jean saat ia sadar Michelle memperhatikannya.

“Tidak ada. Ayo kita pergi,” jawab Michelle dengan senyum manisnya.

Hati Michelle masih terus tersenyum lebar. Nada-nada gitar yang melodis mulai berdentingan di hatinya. Ia masih tak percaya malam itu mantan pacar, sahabat kecil, langitnya, orang yang dicintainya selama ini mengajaknya berkencan seperti itu. Setelah 17 tahun mengenal pemuda itu, 17 tahun yang lalu sejak pertama kali ia menghirup oksigen bumi, baru sekali itu Jean mengajak Michelle pergi dan menginginkan Michelle berdandan secantik mungkin untuk malam itu.

“Apa mungkin Jean ingin hubungan kami dulu kembali??” besit Michelle dalam hati bersamaan dengan harap yang menyapa hatinya.

****

Sekitar dua puluh menit berkendara di sepanjang jalur 7th Avenue dengan pepohonan rindang yang meneduhkan penglihatan, Jean dan Michelle tiba di 305 Harrison Street.

Michelle memandang lekat sekitarnya yang sudah dipenuhi lampu dan orang-orang yang juga sedang berkunjung ke tempat itu atau sekadar bermain dengan keluarganya. Tempat itu terlihat begitu terang dan bersinar dengan lampu-lampu kota yang sangat menawan. Berbagai warna pun memenuhi tempat indah itu.

“Ayo, saatnya kita berkeliling,” ucap Jean setelah ia memarkirkan mobilnya di depan sebuah kolam kecil dengan air yang menyembur dari dasarnya dan berkilauan karena cahaya lampu.

Michelle turun dari mobil Jean. Ia masih terpesona dengan tempat itu. Memang dia pernah ke tempat indah itu, namun malam itu adalah kali pertamanya ia menginjakkan kakinya di tempat itu bersama Jean.

“Seattle Center?” tanya Michelle yang masih memandangi sekitarnya.

“Ya, kenapa? Aku tahu kau pernah ke sini. Aku juga pernah ke sini. Tapi, bukankah ini pertama kalinya kita ke sini bersama?” 

Michelle hanya tersenyum menanggapi ucapan Jean.

Jean mengajak Michelle ke Glass Mouseum di sekitar situ. Michelle speechless saat melihat design interior ruangan Glass Mouseum pada malam itu. Lampu-lampu yang terbuat dari kaca berbentuk bunga berwarna pink tertata rapi membentuk pohon bunga di samping pintu masuknya. Dedaunan dan pohon-pohon kecil yang menghiasi taman sekitar museum itu. Lampu-lampu minimalis berbentuk bola dan bagian atas yang meliuk seperti daun membuat tempat itu kian anggun. Dan ketika Michelle memasuki museum gelas, tepat di langit-langit museum itu sudah terpasang berbagai bunga indah yang terbuat dari kaca. Warna merah, kuning dan orange yang saling mendominasi langit-langit kaca Glass Mouseum tampak sangat indah. Michelle berdecak kagum dalam hati.

“Kau menyukai tempat ini?” tanya Jean yang sejak tadi memperhatikan senyum mengembang di sudut bibir Michelle.

“Ya, aku sangat suka!” jawab Michelle yang masih menatap lekat ke arah bunga-bunga yang tergantung di langit-langit museum.

“Semoga kau akan tetap tersenyum seperti ini, Chelle. Meskipun nantinya akan ada hal sulit yang menguji ketegaranmu,” batin Jean seraya terus menggenggam tangan Michelle.

Dari dalam museum, Michelle dan Jean dapat melihat Menara Space Needle yang menjadi ikon kota Seattle. Menara tinggi kota Seattle itupun berdiri dengan kokoh dan tak kalah menawannya dengan Glass Mouseum. 

****

Sekitar sejam menikmati cerita bunga-bunga kaca di Glass Museum, Jean mengajak Michelle ke Menara Space Needle.

“Ayo kita ke sana,” ucap Jean seraya menunjuk Menara Space Needle dari dalam museum.

Michelle hanya tersenyum dan menuruti ajakan Jean. Mereka berjalan saling beriringan. Michelle memandang tangan Jean yang masih menggenggam erat tangannya, seolah Jean tak ingin awan kecilnya itu jauh dari dirinya.

“Seandainya kau selalu menggenggamku seperti ini, Jean!” ucap Michelle dalam hatinya.

Malam semakin larut, langit kian menggelapkan dirinya. Gerimis kembali mengguyur Seattle. Ya, seperti biasa, gerimis dengan rintik kecilnya dan kapasitas derasnya yang menandakan gerimis khas Seattle. Rintik kecil yang deras.

Michelle dan Jean berlari kecil menuju Menara Space Needle. Semakin deras gerimis itu, semakin berharap pula Michelle pada Jean. Malam yang mulai mengukur detik-detik pergantiann hari kian mengundang harap Michelle untuk dapat merajut cinta bersama Jean kembali. 

Sekitar tiga menit, Michelle dan Jean sampai di Menara Space Needle. Menara tinggi berwarna putih yang khas, dengan tiga pilar besar di pinggirnya, serta puncak menara berbentuk bulat seperti pesawat UFO dengan tembaga yang dibentuk garis-garis mengitari bagian puncaknya, dan di bagian teratas terdapat tugu berbentuk kerucut. Design yang sangat indah dan menara yang begitu menawan. Di tambah lagi lobby yang berdindingkan kaca dan berarsitektur kotak-kotak kecil membuat dasar Menara Space Needle begitu indah. Di depan pintu masuk yang berhadapan langsung dengan kolam kecil terpampang jelas bacaan “Space Needle Seattle Center”. Di malam hari, Menara Space Needle memendarkan cahaya putih dari lampu-lampunya.

 Jean terlihat berusaha menyingkap rintik air yang menggenang di bajunya. Michelle hanya memperhatikan hal yang dilakukan Jean. Kembali, sebuah senyum mengembang di bibirnya.

“Kau tidak basah?” tanya Jean memperhatikan Michelle lekat.

Michelle hanya menggeleng pelan.

“Ayo kita naik ke atas. Aku ingin melihat kota Seattle saat gerimis dari atas.”

Jean kembali menggenggam tangan Michelle dan mengajaknya ke atas Menara Space Needle. Sayangnya Michelle kedinginan ketika berada di dalam Elevator.

“Kau kedinginan?” tanya Jean yang memperhatikan Michelle mulai melipatkan kedua tangannya di depan dadanya.

“Sedikit, bukan masalah besar.”

“Ini, pakai jaketku,” ucap Jean seraya melepaskan jaketnya.

Jean memakaikan jaket itu ke Michelle. Kini, jarak Jean dan Michelle sangat dekat. Jean menggenggam bahu Michelle. Michelle mulai merasakan kehangatan tubuh Jean yang berada di dekatnya. Hati Jean yang begitu hangat juga mampu menghangatkan hati Michelle dan membuat Michelle membiarkan hatinya mulai menyapa hati Jean.

Perlahan, mereka semakin dekat. Jean sedikit menundukkan kepalanya. Tangan kanannya sudah menguasai pipi Michelle. Pemuda itu membelai lembut pipi Michelle. Mereka semakin dekat, hingga Michelle dapat merasakan hangat napas langit birunya itu, Jean.

“Jean?” ucap Michelle pelan.

Jean mendekatkan bibirnya ke bibir mungil Michelle, berusaha membungkam pertanyaan yang mungkin akan keluar dari mulut mungilnya itu. Mata Michelle tertutup, ia tak berani menatap Jean dengan jarak sedekat itu. Jean mengecup lembut bibir gadis itu bersamaan ketika tangan kirinya menggenggam erat tangan kanan Michelle. Jean seolah ingin menunjukkan dan ingin Michelle mempercayai dirinya hingga tak ada lagi orang lain yang mampu percaya padanya.

Semua begitu singkat. Hanya sekitar lima belas detik hal itu terjadi, namun sangat sukses membuat jantung Michelle berdetak tak karuan. Sekitar lima belas detik berlalu dan Jean melepaskan ciumannya. Mata Michelle kembali terbuka setelah ia tak lagi merasakan napas Jean yang menyapa pipinya. Michelle memandang penuh tanya pada Jean, namun ia tak berani mengungkapkan atau menanyakan hal itu pada Jean.

Jean memeluk Michelle sejenak sebelum pintu elevator terbuka karena mereka sudah hampir mencapai puncak menara. 

“Jangan bertanya apapun lagi padaku,” bisik Jean ketika mendekap Michelle.

Michelle membungkam mulutnya dari semua pertanyaan yang sudah menggema di hatinya.

Jean dan Michelle berjalan keluar dari elevator berwarna cokelat muda dengan pintu kaca yang transparant ketika pintunya perlahan mulai terbuka. Hanya mereka berdua yang ada di dalam elevator itu.

Jantung Michelle belum juga tenang. Paru-paru Michelle masih berusaha memasukkan oksigen ke dalamnya sebelum Michelle kehabisan napas. 

Malam itu, Jean dan Michelle menikmati sisa malam di atas Menara Space Needle. Mereka memandangi Seattle yang dipenuhi cahaya lampu kota dan gerimis yang indah. Jean tak membahas sedikitpun mengenai alasannya dan kenapa ia mencium Michelle. Gadis itupun tak berani menanyakannya. Michelle takut. Ia takut pertanyaannya akan membuat Jean tidak nyaman.

Hati Michelle kian berharap pada Jean. Sejenak Michelle merasa kalau Jean juga masih mencintainya, bahkan sangat menyayanginya. Ia yakin akan hal itu. Michelle yakin bahwa langitnya itu masih mencintainya. Michelle menemukan kembali harapannya untuk dapat bersama Jean sebagai kekasihnya. 

“Kau menciumku? Kau tahu kalau itu yang pertama bagiku, bukan? Kenapa? Benarkah kau juga masih mencintaiku?” tanya Michelle dalam hatinya ketika matanya dan mata Jean menatap kota yang tertata rapi jauh di bawah Menara Space Needle.