Contents
Enigma
1. Bagaimana Kabarmu?
Teriakan menggema di dalam ruangan. Suara yang begitu memilukan dan menggetarkan hati, membuat bulu kuduk berdiri karena insting otomatis berkata “bahaya”. Jenis teriakan yang begitu mendengarnya, semua orang seketika tahu bahwa ada suatu hal yang tidak seharusnya terjadi tetapi kini sedang berlangsung.
Napasnya tersekat di tenggorokan. Suara nyaring itu terasa sangat jauh, meski ia tepat berada di sebelah gadis yang berteriak. Seluruh fokusnya terarah pada pemandangan di depan, pemandangan yang mampu membuatnya berdiri membeku meski lututnya sudah terasa lemas.
“—Lang! Telepon ambulans!” Ada seseorang yang memanggilnya, tetapi ia tidak bisa menanggapi. Bahkan ia sudah tidak mampu lagi mencerna lanjutan dari perkataan orang itu.
Ia masih bisa merasakan matanya yang membelalak begitu lebar, mulutnya yang menganga hingga tenggorokannya terasa kering, keringat dingin yang membasahi dahi dan lehernya, sementara perutnya bergejolak tidak nyaman.
Sesekali pandangannya terasa sedikit buram. Seperti melihat layar monitor yang rusak, yang beberapa kali mengganti pemandangan di depannya dengan sesuatu yang lain. Pemandangan yang serupa, yang selalu tersimpan di sudut otaknya, tak peduli sudah berapa kali ia coba menghapus memori beberapa tahun silam itu.
Ketika ia akhirnya berhasil mencerna bahwa tubuh yang tergantung di hadapannya itu nyata, bahwa tubuh lunglai tak bernyawa itu adalah temannya, barulah waktu kembali berjalan dengan normal.
Seketika perutnya yang bergejolak mulai memberikan tanda-tanda akan mengeluarkan isinya, membuat ia cepat-cepat menaruh tangan di depan mulut dan menutupnya rapat-rapat. Air matanya meleleh, entah karena takut, sedih, cemas, atau apa pun itu, yang pastinya ia merasa muak dengan semua ini.
Tubuh di hadapannya masih sering berubah. Berganti-ganti antara seorang gadis berseragam dan seorang wanita dengan rambut ikal yang mirip dengan miliknya, seakan-akan pemandangan satu mayat saja tidak cukup untuk membuatnya menderita.
Tak peduli sekuat apa pun usahanya untuk berhenti membayangkan tubuh wanita itu, dia tetap muncul lagi, dan lagi, dan lagi ….
Ia memejamkan mata erat-erat. Sia-sia sebenarnya karena gambar mengerikan itu tetap terekam di balik kelopak matanya, bahkan lebih buruk lagi karena kini imajinasinya ikut bermain liar.
Wanita itu menggapai tali di leher, berusaha berbicara meski tak ada suara yang keluar akibat kehabisan napas. Adegan itu membuat badannya gemetar tak terkendali, sampai ia menyerah dan jatuh terduduk dengan keras. Tidak terasa sakit sedikit pun jika dibandingkan dengan dadanya yang seperti diremas kuat-kuat.
Jantungnya berdegup terlalu kencang sampai rasanya akan keluar dari tubuh. Ia berusaha bernapas tetapi kembali tersendat, lagi-lagi sesak. Seakan-akan ikut merasakan hal yang wanita itu rasakan dengan tali melilit kencang lehernya.
Wanita itu kini berjalan maju ke arahnya dengan wajah mengerikan.
***
“Gilang!”
Dia membuka mata, sempat kebingungan sebelum mengangkat kepala yang tadinya berada di antara kedua lengan yang terlipat di meja. Matanya mengerjap, silau oleh sinar lampu meski cahayanya remang-remang. Sebuah tangan yang berada di pundaknya menepuk sekali lagi.
“Lang, kenapa?” Si pemilik tangan bertanya pelan sebelum menarik kembali tangannya. Suara-suara lain di sekitar mulai ikut meramaikan suasana, obrolan dan tawa orang-orang memenuhi indra pendengarannya.
Gilang mengembuskan napas yang sempat tertahan, baru ingat kembali dengan lingkungannya saat ini. Ia tengah berada di sebuah kafe kecil dekat kampus, tadinya menunggu seseorang yang ternyata sudah berada di hadapannya.
“Maaf, sempat ketiduran sebentar.” Gilang terkekeh kecil, mengusap tengkuk yang ternyata basah oleh keringat. Mimpi tadi benar-benar terasa nyata.
Lelaki di kursi seberang menatapnya lekat-lekat. Terlihat dari ekspresinya, ia ingin bertanya-tanya lebih lanjut. Namun yang keluar dari mulutnya hanyalah sebuah helaan napas, seakan ia telah mengerti tanpa perlu dijelaskan.
Gilang tidak akan kaget kalau Bian, sahabatnya selama kurang lebih sembilan tahun ini, bisa membaca pikirannya. Ada enak dan tidak enaknya punya seseorang yang bisa mengerti dirinya luar dalam, tetapi untuk saat ini, hal itu sangat membantu Gilang. Ia sama sekali tidak mau menceritakan mimpi barusan dan merasakannya kembali.
“Kehujanan, Bi?” tanya Gilang, teringat cuaca di luar sana. Biasanya, sebatas hawa dingin akibat turun hujan tidak mampu membuat Gilang menggigil, tetapi kali ini ia mengeratkan jaketnya karena punggung yang mendadak terasa beku seperti es.
“Iya, lumayan, udah agak reda pas aku jalan.” Bian menjawab sambil mengusap rambutnya yang terlihat mengilap basah.
Penampilan Bian sering membuat orang salah paham. Tubuhnya tegap dengan bahu lebar, rahangnya tegas dan matanya tajam mengintimidasi, lalu rambutnya yang bergaya undercut dicat cokelat dan disisir ke belakang. Dua garis potong di alis kiri dan anting bulat hitam di kedua telinga menambah kesan seram dan jutek pada tampangnya. Kenyataannya, Bian adalah orang yang canggung dan cukup pemalu.
Melihat wajah Bian sontak mengingatkan Gilang akan tujuan mereka bertemu. Perutnya kembali terasa tak enak, mendadak berat dan mual.
“Jadi, kamu dapat juga, Lang?” Bian bertanya tanpa basabasi lagi, terlihat sama gelisahnya dengan Gilang.
Sambil mengangguk, Gilang meraih ponsel dari saku celana dan membuka sebuah email misterius yang tadi siang ia dapatkan. Email yang membuatnya tidak bisa tenang hingga mendapatkan mimpi buruk di tengah tidur singkatnya tadi.
Masih ia ingat dengan jelas reaksinya ketika kali pertama membaca email tersebut. Ketika jantung rasanya berhenti berdetak meski sesaat, dan udara yang dihirup terasa menyakitkan. Hal pertama yang Gilang lakukan setelah itu adalah menelepon Bian dan memintanya bertemu, karena Gilang tidak yakin ia dapat bertahan baik-baik saja kalau harus memendamnya sendirian.
Gilang lalu memperlihatkan layar ponselnya kepada Bian, sekaligus ikut membaca pesan itu untuk kesekian kalinya.
Sumpah 2 Tahun Lalu
Halo, Gilang Basyar Azura, apa kabar? Kuharap baik-baik saja.
Aku ingin menginformasikan kepadamu tentang sebuah rencana yang sudah kurancang untuk mewujudkan sumpahku dua tahun yang lalu. Sumpah untuk mengembalikan semua yang telah kau lakukan kepadaku, dulu saat SMA.
Aku harap kamu mau berbaik hati datang ke sekolah pada hari Sabtu, 13 Juli 2019, jam 2 siang, agar kita bisa bertemu dan membicarakan perihal rencana ini, sekaligus ajang reuni bersamaku setelah dua tahun.
Kutunggu kamu di ruang OSIS.
Salam hangat, Saphiera Adeline.
Hatinya lagi-lagi tersungkur jatuh, begitu ia sampai pada nama sang pengirim. Gilang menahan napas sambil merasakan bulu kuduknya berdiri, padahal ia sudah hafal isi email tersebut, saking seringnya ia baca.
Gilang kembali menatap Bian yang berwajah cemas.
“Aku juga dapat, seperti yang udah kita bicarakan di telepon,” ucap Bian. Kini gilirannya meraih saku jaket dan mengeluarkan ponselnya. “Bentar, ada yang mau aku tunjukan.”
Gilang hanya bisa mengangguk seraya menaruh ponsel di meja. Ia menarik napas panjang, lalu mengusap wajah dan memejamkan mata.
“Kamu enggak apa-apa?”
Gilang membuang napasnya perlahan sebelum membuka mata. “Gak apa-apa.”
“Aku tahu ini pasti bikin kamu penasaran, tapi jangan maksain diri, Lang. Kalau kamu enggak kuat ya …”
“Aku enggak apa-apa, Bian. Beneran.” Gilang berusaha meyakinkannya dengan senyum samar, tetapi tampaknya Bian masih belum yakin. Gilang pun melanjutkan, “Email itu memang bikin kaget, tapi kayaknya cuma ulah iseng aja enggak, sih?”
“Tadinya juga aku mikir gitu ….” Bian memperlihatkan layar ponselnya kepada Gilang. “Tapi, yah, yang lain juga dapet soalnya. Dari tadi pada berisik bahas ini.”
Layar tersebut menampilkan sebuah chatroom grup, grup OSIS masa jabatan mereka lebih tepatnya. Terlihat nama-nama familier yang mengirimkan pesan, semuanya berhubungan dengan isi email yang mereka dapatkan.
“Kamu udah enggak masuk grup lagi, kan? Makanya kamu belum tahu soal kehebohan dari tadi siang.”
Gilang mengambil ponsel Bian dan membaca isi chatroom. Ternyata yang terlebih dahulu menginformasikan mengenai email itu adalah July, salah satu kawan SMA-nya dulu.
July Devianti
Ngaku cepet yang ngirim email sampah gini! Gak lucu.
Image attached
July juga mengirimkan bukti screenshot berisi email yang sama persis seperti yang didapat Gilang, hanya nama tujuannya yang berbeda. Setelah itu, banyak respons dari teman-teman lain, yang ikut heboh saling membela diri dan membuktikan tidak bersalah.
Fransiska Bagaskara
Bukan cuma gue ternyata? Gue kira prank abal-abal.
Image attached
M. Raihan A-Fatih
Siapa pun yang kirim itu, please jangan main-main.
July bener, enggak lucu mainin tragedi yang udah lalu.
Astrid Amalia Dewi Aku juga dapet, kok takut ya.
Chatroom itu penuh dengan berbagai macam respons mengenai email yang ternyata diterima semua orang di dalam
grup. Penasaran, Gilang dengan giat mengabsen nama-nama pengurus OSIS angkatan mereka dalam hati.
Kalau ia tak salah ingat, pengurus OSIS angkatan 17 saat itu berjumlah 12 orang, minus Fira berarti 11 orang. Diperiksanya satu per satu nama yang sudah menyetorkan kehadiran di tengah-tengah kehebohan dalam grup. Tanpa menghitung dirinya dan Bian, hanya ada delapan orang yang hadir di dalam grup.
“Lho, kurang satu ….” Gilang mengernyit sambil menaruh satu tangannya di pelipis, berpikir keras mencari satu orang yang tidak ada. Tiba-tiba sesosok gadis penyendiri hadir di ingatannya. “Ah, enggak ada Arum. Arumaisha.”
“Arum? Oh, yang diem itu, ya?” Bian bertanya. Dagunya bertumpu pada satu tangan yang berada di meja, sementara tangannya yang lain mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan konstan. “Kalau enggak salah, dia udah keluar grup dari lama. Jauh sebelum kamu keluar.”
“Sebenernya, sih, tadinya banyak yang udah keluar grup. Kan, udah lama juga kita lulus dari SMA. Tapi dari tadi, mereka diundang masuk lagi sama anggota yang masih ada di grup. Mungkin enggak ada yang tahu kontaknya Arum,” tambah Bian, mengangkat bahunya.
Gilang bergumam kecil sebagai respons. Ketika menatap Bian lagi, ia bisa melihat wajah sahabatnya itu ternyata sedikit pucat dan tatapannya tidak terlalu fokus, seperti sedang berpikir dalam dan jauh. Gilang baru menyadari lagi bahwa tentu saja bukan hanya dirinya yang terganggu oleh kedatangan email misterius itu.
Sambil menjatuhkan pandangan ke ponselnya di meja, Gilang sekali lagi menarik napas panjang dan perlahan, tanpa sadar meraih dan memijat pelan salah satu daun telinganya. Ia tidak menyangka bahwa hari yang dikiranya biasa saja akan berlangsung seperti ini. Sebuah email aneh yang masih diragukan kebenarannya datang dan memicu kenangan buruk yang selalu Gilang tutup rapat-rapat.
Gilang mengira setelah lewat dua tahun, hal itu tidak akan mengganggunya lagi. Apalagi sampai ikut membawa keluar memori lama lain yang lebih mengganggunya. Namun ternyata meski ia berusaha melupakan sekalipun, gambaran mengerikan itu masih tercetak jelas di pikirannya.
“Lang.”
Terdengar namanya dipanggil, tetapi Gilang masih sibuk merenung.
“Gilang.”
“Hah, apa?” Gilang mendongak, menatap Bian yang melayangkan pandangan sayu.
“Kamu beneran enggak apa-apa? Aku serius. Kalau kamu keberatan, enggak usah ikut-ikutan.” Demi mendengar intonasi Bian yang kelewat serius, Gilang jadi gugup.
Sebenarnya, perasaan tak enak di dalam dirinya masih ada. Perasaan yang membuat isi perutnya seperti dikocok, menyebabkan mual juga pusing. Sedari tadi Gilang juga berusaha mengatur napasnya agar tidak terdengar berat.
“Enggak apa-apa. Aku sih merasa kalau ini cuma ulah iseng yang kelewatan aja.” Gilang tidak berbohong, dia benar-benar merasa ini hanyalah sebatas keisengan seseorang. Gilang hanya berusaha menutupi ketidaknyamanannya setiap kali berhubungan dengan OSIS angkatannya.
Bian terlihat masih kurang yakin, tetapi ia tidak berkata apa-apa lagi.
“Kalau gitu, mau ikut kumpul Sabtu nanti?”
“Iya, lagian udah lama juga aku enggak ketemu yang lain.”
Gilang tersenyum kecil, kemudian mengusap wajah dan menyisir rambutnya ke belakang. Pertemuan yang selama ini ia hindari, sekarang ia terima setengah hati. Gilang sendiri tidak yakin kenapa ia bisa tiba-tiba memutuskan ikut campur lagi dengan OSIS, padahal selama ini ia selalu menolak semua undangan reuni angkatan sejak kelulusan di tahun 2017.
Lalu kali ini, dia memutuskan datang bertemu yang lain hanya karena sebuah email aneh, yang bisa jadi hanya ulah iseng salah satu dari mereka. Keisengan yang tidak pada tempatnya, yang membuat semua orang cemas dan ketakutan.
Di bawah cahaya lampu remang-remang, Gilang mengingat sosok Saphiera Adeline, atau Fira, kawan lama yang ia kenal dengan baik. Sosok gadis yang menghantuinya sejak dua tahun lalu dalam wujud tubuh yang tergantung dengan tali melilit kencang lehernya.[]