Try new experience
with our app

INSTALL

DISTANCE (TAMAT) 

Utrecht University dan Rotterdam

MENTARI pagi memanggil kapal-kapal nelayan Volendam untuk kembali menepi di dermaganya. Michelle dan William sudah bersiap untuk trip to Utrecht University dan Rotterdam. Michelle semakin tak sabar untuk melihat kampus barunya itu.

Pukul 06.30am, Michelle dan William sudah mulai meluncur dengan mustang biru William. Nyonya Anderson dan Noni-noni Belanda lainnya masih berkutat dengan pekerjaan rumah. Dermaga Volendam mulai ramai disinggahi oleh perahu-perahu nelayan dan kapal-kapal yang mengangkut turis- turis mancanegara.

****

Sekitar lima puluh menit berada di mobil dengan pemandangan yang menakjubkan di sepanjang jalan, kini Michelle dan William tiba di sebuah gerbang besar yang bertuliskan University College. Dengan jelas di atas tulisan itu terpampang lambang Utrecht University yang memadukan warna hitam, kuning dan putih yang membuatnya tampak elegan. Dan bacaan khas yang melingkari lambang itu juga terasa kental akan aroma Belanda dan Latinnya, Illustra Nos Sol Iustitiae yang berarti Kami Menggambarkan Matahari Kehakiman.

Gerbang yang terbuat dari besi dengan ukiran khas Belanda dan bangunan sejenis menara kecil pada salah satu sisinya, ternyata tak juga luput dari rona merah bata seperti bangunan-bangunan Belanda pada umumnya. Michelle serasa disambut oleh masa depannya. Faculty of Law Utrecht University, di situlah Michelle menggantungkan mimpinya. Di situ pulalah ia berharap dapat menyusun puzzle hatinya.

Welcome to Utrecht University,” ucap William yang perlahan mulai mengarahkan roda-roda mobilnya memasuki pelataran Utrecht University.

Sebuah senyum mengembang di sudut bibir Michelle, mengiringi roda-roda mobil William yang mulai menjamah kampus itu.

****

William sudah menepikan mustang kesayangannya. Michelle mulai memanggil jiwa liarnya untuk segera menelusuri Utrecht University yang terlihat begitu megah dan indah.

“Ayo, kita melihat fakultasmu,” ucap William seraya menarik tangan Michelle.

Mata Michelle mulai menyapu setiap sudut Utrecth University. Kaki-kakinya mampu dimanjakan jalanan dan pelataran Utrecth University yang tersusun rapi dari paving block berstruktur dengan warna merah bata. Pepohonan di beberapa bagian kampus yang asri, kursi-kursi kayu minimalis dengan cat hitam, gedung kuliah bertingkat yang dipenuhi dengan jendela-jendela besar dan bingkai jendela yang bermotif khas Belanda, serta banyak hal lainnya yang tak henti membuat Michelle berdecak kagum. Ia serasa menemukan semangat baru dalam lingkup kampus itu.

“Jean, kau lihat? Aku akan berkuliah di sini, aku akan merangkai mimpiku di sini. Sayangnya kau tak ada untuk menyaksikan hal itu,” batin Michelle dalam hati.

****

William mengajak Michelle berkeliling kampus, memandunya untuk dapat melihat setiap sudut fakultasnya. Senyum Michelle pun tak lekang untuk menyapa setiap sudut dan relief indah yang terukir di gedung perkuliahannya.

Perlahan, oksigen kampus itu mulai menyatu dengan paru-paru Michelle. Michelle juga sempat berbincang dengan beberapa seniornya di sana dan teman-teman William yang juga kebetulan ke kampus saat itu.

“Hai Michelle. Welcome to Utrecth University. Semoga betah di sini,” ucap Evan, salah satu teman William.

“Hai Van, terima kasih. Senang bisa menjadi bagian dari kampus ini,” sahut Michelle menjabat tangan Evan.

Evan adalah salah satu senior Michelle di Fakultas Hukum dan William juga mengenalnya dengan baik.

“Van, kau mau pergi? Tidak ikut makan siang dengan kami?” tanya William kepada Evan.

Evan terlihat mengernyitkan dahinya. 

“Kurasa aku bisa ikut kalian,” jawab Evan setelah berpikir beberapa saat.

Michelle, William dan Evan. Siang itu mereka berbincang banyak hal di restaurant yang mereka singgahi. Michelle yang dengan mudah berbaur dan akrab dengan Evan, membuat Evan simpati pada gadis Amerika itu. 

****

Sore mulai merambah Belanda. Langit dan awan mulai menguning di perbatasan pelabuhan besar Rotterdam. Michelle dan William masih berjalan di pelataran Utrecht University.

“Sudah sore, sebaiknya kita pergi sekarang. Masih ada satu tempat yang kujanjikan padamu kemarin,” ucap William seraya menghentikan langkahnya.

“Rotterdam?” tanya Michelle berusaha mengingat.

“Iya. Ayo kita pergi sekarang!”

William menarik tangan Michelle. Mereka mempercepat langkah menuju mobil. Masih sekitar lima puluh menit untuk bisa mencapai Rotterdam dari Utrecht University.

“Bersiap off road untuk setengah jam ke depan!!” lengking William dengan senyum jahilnya.

Michelle masih mengernyitkan dahinya penuh tanya dan heran. Ia tak mengerti dengan maksud William. Matanya masih lekat memandang William berharap pemuda itu akan menjawab pertanyaan di hatinya.

Sekali lagi, William tersenyum penuh jahil ke Michelle sebelum akhirnya ia menginjak kandas gas mobilnya.

“Aaaakkk!!!” lengking Michelle yang terkejut.

William hanya tertawa kecil melihat ekspresi gadis itu. Sore itu, Michelle menikmati off road di sepanjang jalan menuju Rotterdam. 

****

William menghentikan kejahilannya itu ketika memasuki rute E30, Bodegraven. Jalanan luas yang di sisi kiri dan kanannya terdapat padang rumput hijau dan pepohonan di ujungnya. Mata Michelle dimanjakan dengan rona hijau yang begitu sejuk. Michelle juga bisa melihat gumpalan awan yang beragam bentuk dan rupa. 

“Jean, awan di Belanda jauh lebih indah daripada di Seattle. Kau harus melihatnya. Nanti, aku juga akan seperti mereka. Aku tidak akan menjadi setitik awan kecilmu lagi. Ya, itu nanti.”

Batin Michelle kembali teringat akan Jean dan Seattle. Jean tak pernah benar-benar pergi dari ingatannya, bahkan setelah ia meninggalkan kota kelahirannya itu, Seattle.

“Kau kenapa?” tanya William yang memperhatikan tingkah Michelle.

Menatap liar ke luar jendela dengan tatapan kosong dan pikiran yang tak berada pada tempatnya, tentu sangat menarik perhatian William untuk mengeluarkan pertanyaan kenapa kepada gadis Amerika itu.

“Eh, tidak, aku tidak apa-apa. Masih jauhkah perjalanan kita?” ucap Michelle berusaha mengalihkan pembicaraan.

“Yaaa, lumayan. Bersabarlah sedikit lagi.”

Michelle dan William kembali melanjutkan perjalanannya. Hari mulai gelap, malam mulai mengepung mereka. Lampu-lampu kota Belanda mulai menyala dan menerangi jalanan malam.

Michelle, ia masih berusaha menyusun puzzle hatinya yang semakin hancur tiap kali ia mengingat nama Jean. Sayangnya, tiap kali ia mengingat Jean, ia kembali memungut secuil semangat untuk menguatkannya. Ia tak bisa begitu saja meninggalkan pemikirannya akan pemuda itu, namun ia juga tak bisa terus-terusan mengenang Jean.

****

Malam semakin mengepung perjalanan Michelle dan William. Setelah tiga puluh lima menit, mereka mulai tiba di perbatasan Prins Alexander dan Rotterdam. Dari arah Prins Alexanderlah mereka datang. 

Speechless!! Michelle tak dapat berkata atau berkomentar apapun ketika melihat Rotterdam. Sambutan manis penuh cahaya lampu Rotterdam membuatnya kian jatuh cinta pada Belanda.

Michelle menemukan hal yang berbeda dari Rotterdam. Kota ini begitu berbeda dari kota-kota lainnya. Jika kota-kota lain di Belanda masih betah dengan bangunan ala arsitektur lama dengan atmosfer tuanya, maka Rotterdam gagah berdiri dengan atmosfer modern dan kota barunya. Kota ini mengadopsi design bangunan dari arsitektur modern dan kontemporer sekitar 80% bagiannya.

Lampu-lampu penuh warna benar-benar menerangi kota itu. Michelle dapat melihat gedung-gedung tinggi pencakar langit di Rotterdam. Hal itu sangat jarang ditemukan di Volendam atau kebanyakan beberapa daerah lainnya. Ikon arsitektur terkenal dari kota ini adalah Erasmus Bridge, Cubic House dan Euromast. Bangunan-bangunan kota yang mengkilat dan berwarna abu-abu dapat ditemukan hampir di setiap sudut kota ini.

“Kota yang indah,” batin Michelle.

William masih terus mengemudikan mobilnya seraya sesekali memperhatikan senyum yang mengembang di wajah Michelle. 

Sekitar sepuluh menit kemudian, mereka berada di depan Erasmusbrug Rotterdam, Belanda. Jembatan besar yang menghubungkan bagian selatan dan utara kota Rotterdam itu dirancang oleh Ben Van Berkel. Erasmusbrug dijuluki “Angsa” karena arsitekturnya yang berbentuk menyerupai angksa dengan tiang-tiang penyangga yang tingginya mencapai 139 meter.

“Katakan hai kepada Jembatan Erasmus, Chelle,” ucap William sumringah ketika mereka semakin mendekati jembatan itu.

Michelle semakin takjub saat jembatan besar itu kian mendekati tatapannya. Lampu-lampu berwarna membuat jembatan itu terlihat bercahaya. Tiang-tiang penyangganya yang super tinggi dan besar itu semakin menggagahkan Erasmusbrug. Jembatan itu terlihat begitu sempurna.

“Willi… Willi! Ini sangat keren!! Menakjubkan!!!” Michelle membekap mulutnya. Ia tidak tahu harus berkata apalagi. Pemandangan yang dilihatnya saat itu memang sangat menakjubkan. 

Michelle mulai memperhatikan lekat-lekat setiap sudut dan detail design Erasmusbrug. Jalanannya terlihat sangat bersih dan mulus. Di sisi kanan dan kirinya ada jalur khusus untuk para pengguna sepeda. Jalur sepeda itu sekitar satu meter, dan jalurnya dibatasi dengan tiang-tiang penyangga pinggir. Di samping jalur sepeda itu, ada bunga-bunga yang disusun rapi di sepanjang Erasmusbrug. Di bawah jembatan itu ada laut indah yang selalu membunyikan nada-nada gemericik airnya.

“Sempurna!!” batin Michelle dalam hati.

William menurunkan kecepatan mobilnya. Ia memberikan kesempatan pada Michelle untuk bisa menikmati jembatan indah itu. 

****

Malam kian merambat di Rotterdam. William mengajak Michelle berkeliling sejenak di Rotterdam. Makan malam bersama William di café De Stoomtram sekitaran Hefpark mampu membuat Michelle merasakan kehidupannya di Seattle dulu.

“Kau suka suasananya?” tanya William ketika menikmati makananya.

“Iya, aku sangat suka. Kota ini begitu indah. Jembatannya, arsitekturnya dan tempat-tempat ini, semuanya keren!! Tapi tetap saja aku lebih suka Volendam,” jawab Michelle seraya menyeruput secangkir cokelat hangat.

Kembali pikiran Michelle teringat akan Jean. Ia ingat ketika menikmati cokelat hangat di sore hari saat gerimis mengguyur kota Seattle. Sebuah senyum kecil mengembang di wajah Michelle saat ia mengenang kembali masa indahnya bersama Jean.

“Jean…” ucap Michelle pelan seraya tersenyum kecil.

William dapat mendengar dengan jelas ucapan Michelle. Meski pelan dan halus, namun William dapat mendengarnya.

“Jean?” ulang William heran seraya mengernyitkan dahinya.

Michelle segera terkesiap saat William mengulangi ucapannya itu. Ia terkejut dari lamunannya dan segera tergagap untuk menyahuti William.

“Eh, itu.. Iya, itu.. Jean..” sahut Michelle tergagap.

Michelle segera salah tingkah dan pipinya memerah. William tersenyum lebar melihat gadis Amerika itu.

“Jean? Siapa dia?” tanya William penasaran.

“Dia langitku. Langit indahku di Seattle.”

Michelle mulai menerawang jauh ke masa-masa indahnya bersama Jean. Ketika harap menyentuh awan kecil itu.

“Pacarmu?” 

“Bukan, dia hanya teman kecilku, sekaligus mantanku.”

Mata Michelle mulai terlihat berkilau. Ada air yang memantulkan cahaya bulan di dalam matanya. William mulai segan dan tidak enak atas pertanyaanya tadi.

“Oh, maaf ya.”

“Tak apa, jangan sungkan begitu.”

“Oh ya, bagaimana ceritanya hingga kau bisa masuk di Utrecth University?” tanya William berusaha mengalihkan suasana kalut yang mulai menyelimuti Michelle. Ia tak tahu bahwa hal itupun masih mengingatkan Michelle pada Jean.

Michelle tersenyum kecil tepat ke arah William. Namun tetap saja terlihat kerlingan air bening di sudut matanya. 

“Sebenarnya, dulu aku ingin tetap di Seattle dan merancang mimpi di sana. Namun, setengah tahun belakangan aku harus berjuang ekstra untuk bisa mendapat beasiswa ke sini.”

William kian memperbanyak kerutan di dahinya. Ia penasaran kenapa gadis itu bisa terdampar jauh ke negerinya padahal sebelumnya ia mempunyai mimpi dan merangkai masa depannya di Seattle.

“Jika benar begitu, kenapa kau ada di sini sekarang? Setengah tahun berjuang untuk bisa ke sini? Kenapa kau mengubah mimpi dan rencana yang sudah kau rancang?” ucap William menghujani Michelle dengan pertanyaan-pertanyaannya.

“Karena Jean,” jawab Michelle singkat dan berhasil membungkam mulut pemuda itu dari pertanyaan-pertanyaannya.

Michelle menghela napas panjang. Ia memejamkan sejenak matanya. Merasakan angin laut yang semilir menerpanya. Mendengarkan suara-suara peluit kapal dari Pelabuhan Rotterdam.

“Jeanlah alasan terkuatku untuk bisa berada di negeri ini,” tandasnya.

“Sepertinya semua hal di hidupmu selalu berhubungan dengannya. Lalu, ke mana dia?”

Michelle tak langsung menjawab pertanyaan William. Ia mengumpulkan kekuatan hatinya untuk dapat menjejaki lagi bayangan dan kenangan pahitnya yang mampu membuatnya mendamparkan dirinya ke Negeri Kincir Angin itu. 

“Jean sekarang di Italia. Kemarin, saat aku datang pertama kali, saat itu juga ia sedang melangsungkan pertunangannya dengan Annette di Italia.”

William kembali terpaku. Pikirannya mulai mengira-ngira apa yang terjadi dengan gadis Amerika itu.

“Hal yang buruk terjadi padanya. Jean? Dia bertunangan dengan gadis lain?” tanya William dalam hatinya.

“Oh, aku turut sedih untuk kejadian itu. Kau tak perlu menjawab pertanyaanku tentang alasannya. Kurasa yang tadi sudah cukup menjawab pertanyaanku,” ucap William dengan nada lirih, ia sedih melihat gadis itu mulai murung.

“Tak apa, tenang saja, aku baik-baik saja,” sahut Michelle berusaha mengembangkan senyumnya. “Haaaaa… aku jadi merindukan pemuda itu. Tahukah kau? Dulu kami selalu bersama. Dulu, dari kami masih kecil. Sejak aku berjalan, tertatih hingga terjatuh, Jean selalu ada di sampingku. Dia itu langitku, dia duniaku. Aku adalah setitik awan kecilnya. Ya, begitulah katanya dulu,” tandas Michelle dengan penuh semangat.

Michelle terlihat begitu bersemangat menceritakan hal itu kepada William. Pemuda itupun tak mampu menolak untuk menjadi pendengarnya. William terlihat sangat tertarik dengan cerita Michelle, belum lagi cara bercerita Michelle yang benar-benar dapat menghidupkan ceritanya dan membawa William untuk ada di masa lalunya dan menyaksikan apa yang menjadi dan terjadi di masa lalunya.

“Benarkah? Sedekat itukah kalian? Lalu, bagaimana kelanjutannya?” tanya William bersemangat untuk mendengar kelanjutannya.

“Ya, kami sedekat itu. Sejak aku lahir, dia adalah pemuda pertama yang kukenal. Dia adalah sahabat pertamaku hingga kemarin, hingga hari pertunangannya. Bahkan hingga sekarang! Tapi dulu, sayangnya setitik awan kecilnya telah lancang mencintai langitnya. Bahkan setelah langitnya memperkenalkan laut Italia yang begitu indah, jauh lebih indah dari setitik awan kecil sepertiku.”

Raut wajah Michelle mulai berubah. Tampak sebuah kekecewaan yang mendalam di hatinya. William memperhatikan lamat-lamat wajah Michelle yang mulai mengukir garis-garis senyum untuk merias wajahnya yang sudah dipenuhi kekecewaan masa lalunya. Sekali lagi Michelle menghela napasnya. Ia menyusun kata dan kalimat untuk dapat merangkai kisah perjuangannya dulu untuk meraih beasiswa ke Utrecht University.

Michelle kembali menginjakkan kakinya di kenangan setengah tahun yang lalu saat di Seattle. Namun, kali ini ia tak sendiri melangkah ke rajutan kisah menyakitkannya itu. William, pemuda itu bersamanya. Menjejaki masa lalu Michelle.