Try new experience
with our app

INSTALL

Diamond Sky in Edinburgh (TAMAT) 

3. JOURNEY TO THE OLD TALE AND REALITY

\tAku bukan penggila kisah-kisah legenda atau dongeng. Dan salah satu kisah horror yang membuatku sedikit merinding hanya kisah Jason Vorhees di film Friday the 13th saat aku masih kecil. Bahkan di antara anak perempuan yang menjadi target keusilan anak laki-laki saat remajapun, aku bukan target yang asyik. Reaksiku terlalu datar saat seseorang menaruh serangga di mejaku dan hanya ber’ohhh’ kecil saat jurit malam MOS kakak kelas menceritakan cerita seram. Butuh usaha lebih dari sekedar keras untuk membuatku ketakutan dan sayangnya cerita kuntilanak, pocong, suster ngesot dan sosok hantu urban lainnya tidak termasuk dalam kategori membangkitkan rasa takutku.  Buatku bodoh sekali kalau seseorang bisa takut dengan jenis hantu yang bahkan tidak mempengaruhimu di dunia. Sama sekali tidak menakutkan dibandingkan dengan orang mabuk di pinggir jalan yang tidak punya uang dan lapar.

\tChristian juga tahu aku tidak terpengaruh dengan cerita-cerita hantu, karena ia sendiri adalah saksi hidup betapa tidak asyiknya diriku saat masih SMU. Dan komentarnya saat melihatku tidak menjerit ketika melihat kalajengking mati di dalam tasku adalah, “jeezz, Rena … could you at least pretend that you scared? Kasihan sekali anak laki-laki teman sekelasmu yang sudah berusaha keras menarik perhatianmu.”

\tTapi tetap saja saat ini ia tidak peduli dan terus saja menceritakan kisah-kisah seram. Belum tentu juga kisah tentang Maggie Dickson layak dikategorikan kisah seram. Jadi siapa ini si Maggie Dickson? Nama yang sama dengan pub yang sekarang ini menjadi satu-satunya tempat yang kudatangi sejak seharian tadi aku sibuk menghubungi kantor penerbit buku yang menerbitkan novel Jane Ruthven. By the way, usahaku menelepon penerbit tidak mendatangkan hasil. Dan aku hanya menambah beban charge hotelku makin bengkak.

\t“Ren ... Ren ... hey are you listening me?

\tAku tersentak, baru menyadari aku tidak sepenuhnya mendengarkan cerita Christian. Bagian yang paling kuingat hanya nama julukan Maggie, ‘Half Hangit Maggie’ yang membuatku paham, justru nama julukan itu yang membuatnya terdengar seram. Tapi aku sama sekali tidak mendapati kesan seram di bar yang terletak di Grassmarket yang masih merupakan kawasan Old Town ini.

\t“Ehhh ... Ehmm, off course ...” jawabku berbohong.

\tNah, you’re lying. Jadi kau sudah berusaha menghubungi penerbit novel yang kau bilang penulisnya adalah tunangan laki-laki yang kau cari?”

\tAku mengangguk.

\t"Lalu? Bagaimana hasilnya?"

\tAku menggeleng. Baik Christian dan akupun sama-sama menghela napas.

\t“Sudah kuduga. Novel itu terhitung novel lama. Aku pinjam dari koleksi teman sekamarku yang penggila novel fantasi dan horror.”

\t“Tidak lebih lama dari tujuh tahun terakhir. Kenapa susah sekali menghubungi penerbitnya?”

\tSimply just because it’s a small publisher, honey. What else?"

\tAku terpaksa mengangguk. Perjuanganku sangat panjang untuk bisa selangkah lebih dekat menemukan Jim. Aku akan coba menemukan cara lain. Tapi sementara itu, kupikir mendengarkan cerita seram tidak buruk juga.

\t"So .... Ada apa dengan kisah seram si Maggie Dickson ini? Apa dia pernah dieksekusi dan dihukum gantung lalu arwahnya gentayangan di tempat ini?" tanyaku sok tahu. Christian terdiam lama sebelum akhirnya ia menertawakanku.

\t"Inilah sebabnya aku benci dengan orang yang meremehkan kisah-kisah horror. Firstly, aku tidak sedang menceritakan kisah horror. Dan kedua, Maggie Dickson memang dihukum gantung, tapi dia tidak gentayangan seperti yang kau kira. In fact, dia tetap hidup sampai empat puluh tahun setelah ia diganjar hukum gantung dan hidup bahagia bersama anak-anaknya."

\tKeningku mengernyit, alisku terangkat dan mataku mendadak kehilangan fokusnya karena berusaha terlalu keras mencerna informasi dari Christian.

\t"Omong kosong. Bagaimana mungkin orang yang dihukum gantung tetap bisa hidup hingga empat puluh tahun berikutnya? Apa si Maggie ini menyuap petugas eksekusi?" 

\t"Memang ada juga spekulasi seperti itu. Tapi hukuman gantung adalah hukuman yang dilakukan di hadapan publik. Jadi cerita yang kami yakini kebenarannya adalah, Maggie telah dieksekusi namun saat tubuhnya dibawa untuk dikuburkan, seorang petugas mendengar suara dari peti matinya, suara seseorang yang meminta pertolongan ...."

\tAku menggigil. Aku berkeras itu bukan kisah seram. Tapi membayangkan adegan seperti itu dengan latar belakang kota Edinburgh yang kental aroma kelam masa pertengahan membuatku tak pelak menyembunyikan sensasi ngeri. Terlebih kalau itu bukan cerita dongeng, melainkan kisah yang benar terjadi.

\t"Lalu apa yang terjadi?"

\t"Petugas membuka peti dan mendapati Maggie masih hidup. Hukum mengatakan ia tidak bisa dituntut dan dihukum atas tuduhan yang sama dua kali, warga mengatakan itu keinginan Tuhan. Jadi ... dia bebas."

\t"That's it? Jadi kejahatan apa yang dilakukan Maggie itu sampai harus menerima hukuman mati?"

\t"Menyembunyikan kehamilan."

\t"What? Bagaimana bisa seorang wanita digantung karena menyembunyikan kehamilan?"

\t"Rena .... We're talking about Scotland's Law at 1728. Maggie wanita yang tidak beruntung, dan mendapati dirinya hamil dengan putra seorang pemilik penginapan. Ia menyembunyikan kehamilannya dan melahirkan sembunyi-sembunyi. Tapi sayang bayinya lahir prematur dan meninggal kemudian."

\tBerlawanan dengan beberapa menit lalu, kali ini aku benar-benar tertarik dengan cerita itu.

\t"Saat ia berusaha membuang jenasah bayinya di sungai Tweed, seseorang melihatnya."

\t"Siapa pun yang melihatnya pasti mengira dia sedang membunuh bayinya. Now I got the point," potongku. Namun Christian menggelengkan kepala.

\t"Kau salah. Tuntutan itu sama sekali tidak disebabkan kematian bayi. Tapi karena tindakan Maggie yang menyembunyikan kehamilannya. Di jaman itu jika seorang wanita menyembunyikan kehamilan dan melahirkan tanpa bantuan sudah cukup disebut tindakan kriminal."

\t"Really???" Aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku. "But ...,  Bagaimana bisa hukumannya adalah hukuman mati? That is so ..."

\t"Ssttt ... Lower your voice! Orang Scotland tidak akan suka kau mengkritik sejarah mereka. Ya, hukuman di masa itu memang kejam. Baru di tahun 1809 pemerintah merevisi hukumannya menjadi tidak lebih dari dua tahun penjara."

\t"But still ... Ahhh I don't know. Bahkan di negara asing pun hukum tidak memihak para wanita." Aku kembali meminum lemon squash dan burger yang sedaritadi kubiarkan dingin.

\t"Now you're talking like feminist. Tell me, Ren .... Sampai kapan kau berencana tinggal di Edinburgh? Kau bilang kau seharusnya bertemu dengan papa, tapi apa papa tahu kamu mengubah rencana dan datang kesini?"

\tAku menghela napas. Aku lupa sama sekali soal papa. Papa berusaha menghubungiku, namun ia tidak bisa menghubungi ponselku dan akhirnya menghubungi mama. Lucu juga satu-satunya kesempatan mereka untuk saling bicara adalah saat papa kebingungan tidak menemukanku di London.

\t"Semalam aku menghubungi mama dan minta mama menyampaikan ke papa kalau aku baik-baik saja dan ada sedikit urusan di sini."

\t"Lalu sampai berapa lama urusan cincin itu membuatmu lupa tujuan utamamu? Dan soal Jane Ruthven, sampai kapan kau akan mencarinya?"

\tPertanyaan itu terdengar seperti sampai kapan manusia akan hidup damai di bumi? Sangat absurd dengan skala prosentase hanya 1:3000. Aku tidak bisa menjawab dan hanya menyaksikan sosok-sosok pengunjung pub ini yang lebih banyak individual ketimbang berkelompok.

\t"Entahlah ..., aku ..."

\tAku bahkan tidak tahu apa yang kulakukan disini. Terlebih apa yang membuat keinginanku bertemu dengan Jim begitu kuat? Kami bahkan baru sebentar bertemu dan hanya beberapa menit saling bicara. Kenapa aku begitu terikat dengannya bahkan menempuh ribuan mil untuk menemuinya.

\t“Rena .... Don’t tell me that you already ...”

\tAku buru-buru menggelengkan kepalaku. Aku tahu apa yang akan dikatakan Christian. Aku mungkin gila untuk mencoba menemukan pria yang baru saja aku kenal, tapi aku masih cukup waras untuk tidak jatuh cinta dengan calon suami orang lain.

\t“No ... Ini tidak seperti yang kau pikirkan.”

\tChristian mengangguk.

\t"Begitu? Maaf kalau aku sedikit ikut campur. Tapi aku dengar apa yang terjadi  soal hubunganmu dengan ... you know, your boyfriend. I guess you must be careful not to fall in love so easily,” ujarnya sembari memanggil pelayan untuk meminta bill.

\t“Darimana kau tahu soal itu?”

\t“Mama told me. Ah right ..., how’s mama?” 

\tAku terkejut ketika Christian tiba-tiba menanyakan kabar mama. Dan ia menyebut orangtuaku sama dengan caraku memanggil mereka. Mama dan papa. Cukup wajar karena selama Chris tinggal di Indonesia, ia satu atap denganku dan sudah seperti seorang kakak bagiku. Sekarang pun tetap seperti itu setelah tujuh tahun berlalu sejak ia menjadi siswa pertukaran pelajar di sekolahku.

\t"She's fine. I guess she's busier than ever," jawabku.

\t"Mama masih berkutat dengan butiknya? How's business?"

\t"Ya masih sama seperti dulu. Tapi mama sudah punya tiga cabang. Kepergianku ke London tidak membuatnya kesepian kukira."

\t"Good. Mama kelihatan lebih sehat daripada tujuh tahun saat aku tinggal di Indonesia." 

\t"How do you know?"

\t"Rena .... Menurutmu facebook ada untuk apa?"

\t"Mama punya akun facebook? Wah, I didn't know that."

\tBenarkah? Mama punya akun facebook? Bagaimana mungkin aku yang putrinya sama sekali tidak tahu apa-apa? Apa mama lebih menganggap Christian anaknya ketimbang aku yang anak kandungnya?

\t"Mungkin dia perlu terhubung dengan komunitasnya dan juga untuk kepentingan butiknya."

\tApa pun itu aku tidak terlalu tertarik dengan lingkaran sosial mama. Christian benar, dibandingkan saat tujuh tahun lalu dimana mama banyak mengalami depresi akibat perceraiannya, sekarang keadaan lebih baik. Tapi dalam beberapa hal aku kehilangan sosok mama yang keibuan. Yang sering kutemui sekarang ini justru sosok mamaku yang gila kerja dan sibuk bersosialisasi. 

\tTapi bukan posisiku untuk mengeluh. Aku bukan sepenuhnya produk keluarga broken home yang dramatis, tidak. Orangtuaku bercerai baik-baik. Namun bagiku masih pertanyaan besar kenapa harus ada perceraian. Papa bukan orang yang tidak bertanggungjawab. Beliau memang pendiam, tapi bukan berarti tidak peduli. Tak pernah kudengar isu perselingkuhan bahkan dari mulut kerabat yang gemar bergosip sekalipun. Hanya alasan klasik yang kudengar.

\t‘Tidak ada kecocokan.’


***

\tHampir keseluruhan jalan utama di Edinburgh adalah berupa paving batu yang  dibangun di masa lalu. Tidak peduli berapa jejak kaki yang menapaki batu itu seolah ditakdirkan tidak akan rapuh dimakan jaman. Satu hal yang kusuka, aku tidak menemukan sampah dan puntung rokok. Sederhananya karena baik penduduk asli ataupun turis tahu benar di setiap sudut kota, polisi Edinburgh selalu siaga untuk mendenda siapapun yang membuang puntung rokok di jalan. 

\t"I’m so sorry I can't take you back to the hotel, Rena. Malam ini, pacarku pulang dari Glasgow. Agak di luar rencana, tapi dia minta aku menemuinya."

\tChristian mengatakan itu sebelum  akhirnya aku memutuskan berjalan pulang sendiri menuju hotel. Pembicaraan kecil kami berakhir sejak ponselnya berbunyi dan kelihatannya memang dari pacarnya. Aku tidak terlalu keberatan. Lagipula hotel tempatku menginap tidak jauh dari Grasmarket street. Kupikir berjalan sedikit membuat kepalaku terasa ringan, meskipun udara malam terasa dingin.

\tMalam hari tidak terlalu ramai. Aku memperhatikan lalu lalang orang yang berjalan cepat. Awalnya aku ragu kenapa orang Edinburgh berjalan cukup tergesa-gesa. Kuduga karena udara di kota ini sangat dingin, meskipun sekarang masih musim semi.

\tLampu penerang  jalan tidak terlalu benderang, agak sedikit kontras dengan area Grassmarket yang sepanjang jalan dipenuhi pub, bar, cafe dan penginapan yang notabene adalah area yang tepat untuk hangout dan menikmati malam. 

\tNamun beberapa menit setelah langkahku sampai di sebuah persimpangan, aku mengerti kenapa area sekitarku tidak terlalu terang. Saat kepalaku menengadah, dari arah utara aku melihat jelas siluet Kastil Edinburgh yang menjulang di atas bukit batu. Pemandangan yang cukup membuatku menahan napas. Beberapa puncak menaranya tampak begitu terang kontras dengan kegelapan di bawah kastil. Aku bersyukur aku membawa kamera saku yang selalu kusiapkan. Aku melihat kembali hasil fotoku. Bahkan di malam haripun, detil konstruksi kastil masih terlihat jelas. Sangat mewah sekaligus klasik.

\tAngin kembali bertiup. Aku menyesali udara Edinburgh yang sama sekali tidak bersahabat di saat aku menikmati sudut demi sudut di salah satu pesona kota yang masih kental aroma era pertengahan, Old Town. Kukira sebaiknya aku bergegas menuju hotel. Menyusun rencana untuk esok hari dan berharap meskipun cuaca di Edinburgh tidak begitu bagus, namun tidak dengan keberuntunganku menemukan Jim. 

\tDemi Tuhan, pria itu bilang ia akan segera menikah. Akan sangat lucu jika calon istrinya tidak mendapatkan kejutan cincin berlian yang sudah disiapkan Jim. 

\tKembali aku memandangi cincin itu. Somehow, aku merasa iri dengan Jane Ruthven. Begitu dicintai tunangannya. Siapa yang mengira bahwa suatu hari aku bisa berpikir, dicintai begitu besar dan nyata menjadi hal yang paling mewah yang aku sendiripun tidak tahu kapan akan terjadi padaku.

\tAhhh, sampai kapan aku terus melamun di jalan? seharusnya aku berhenti sejenak memikirkan Jim dan Jane. Atau aku akan membeku.

\tSudut mataku menangkap suatu bayangan samar. Konsentrasiku terpecah. Bulu kudukku merinding. Dan di saat yang sama aku berjalan tanpa menyadari beberapa lampu di bahu jalan tidak menyala sebagaimana mestinya. Sepanjang jalan menuju penginapan, aku mendengar bunyi langkah kaki selain langkahku. Sepertinya, suara langkah itu berasal dari belakangku.

\tApa aku dibuntuti?

\tHahaha .... Tidak mungkin kan? Christian pernah bilang, angka kejahatan di Edinburgh termasuk angka terkecil untuk kota-kota di Skotlandia. Apa yang bisa dirampok dari seorang turis?

\tSebaiknya aku mempercepat langkahku ....

\tOh, crap …. Bunyi langkah di belakangku juga semakin cinta. Dan ini makin menguat dugaanku bahwa aku menang benar-benar dibuntuti. Tapi bagaimana kalau orang itu memang juga terburu-buru? 

\tBaiklah, sekarang aku melambatkan langkahku. Kalau dia tetap tergesa-gesa, besar kemungkinan dia hanya orang lewat. Tapi apa aku sanggup melambatkan langkahku sementara jantungku berdetak cepat dan kecemasan membuat langkahku tak mau sedikitpun berkompromi dengan niatanku?

\tPeduli setan, aku tidak mungkin melambat. Itu terlalu berbahaya. Lebih masuk akal kalau aku berbelok ke jalan kecil di depanku. Lihat apa orang itu juga berbelok?

\tSial, dia benar-benar berbelok dan mengikutiku!!!

\tKenapa ini? Kalau ini terjadi di Indonesia, aku tidak terlalu heran mengingat angka kriminal di Jakarta paling tinggi. Selain itu aku sadar bahwa di lingkungan sosialku sekalipun, aku tahu aku bukan orang yang selalu dicintai. Kebanyakan orang yang kukenal hanya tertarik dengan latar belakang keluargaku. So, tell me? Why in the world I have to be chased like this?

\tAku berpikir keras alasan apa yang masuk akal. Namun semakin aku berpikir, semakin buntu dan tidak ada jawaban.

\tIngatanku kembali tertuju pada kisah-kisah lama Edinburgh. Kisah kelam yang mungkin aku anggap menyeramkan di antara semua kisah yang diceritakan Christian dan dilatarbelakangi era Georgia di Edinburgh. Salah satunya adalah cerita tentang dua orang penggali makam, William Burke dan William Hare. Kisah tentang pencurian mayat-mayat yang digali dari makamnya secara illegal yang kemudian dijual untuk mengembangkan pengetahuan dunia kedokteran. Ya, di era itu hukum tegas melarang penggunaan mayat untuk mempelajari anatomi tubuh manusia. Tidak tanggung-tanggung, pembunuhan demi pembunuhan, kematian dan pencurian mayat terjadi di kalangan penduduk yang merupakan tunawisma dan ... turis.

\tJadi, bukankah hal yang wajar aku ketakutan setengah mati hanya karena mengetahui fakta bahwa di mata orang Edinburgh, aku adalah turis? Yang artinya sekali aku diserang di tempat yang jauh dengan keluargaku, tak ada yang tahu apa yang terjadi padaku, lalu pelakunya akan dengan mudah menyingkirkan jejakku bahkan identitasku.

\tTapi jika mayatku dijadikan bahan pelajaran mahasiswa kedokteran ... it’s out of question

\tArghhhh, tidak ada waktu untuk berpikir ...  di jaman sekarang penggunaan mayat untuk kedokteran sudah diijinkan, kenapa harus ada pembunuhan?

\t Lari adalah cara terbaik untuk mengatasi masalah ini. Now … RUN!!!

\tSTOP!!!” seru suara di belakangku. Aku berhenti sejenak, namun berikutnya aku tetap memutuskan untuk lari. Jangan-jangan dia hanya sengaja membuatku berhenti.

\tI said stop!! Please,… I’m not gonna hurt you.” Kali ini suara itu lebih pelan dan mencoba seyakin mungkin tidak berniat buruk. Niatku goyah. Bisakah aku mempercayainya? 

\tAku menoleh ke belakang dan mendapati pengejarku terengah-engah. Seorang pria bertubuh tinggi besar.  Mengenakan sweater hijau dan celana jeans. Berambut pirang dan sedikit panjang. Jauh dari bayanganku, pria itu sama sekali tidak tampak menyeramkan. Matanya justru terlihat kuyu dan lelah.

\tIt’s true. Aku bukan orang jahat, aku cuma orang yang duduk di belakangmu saat di Maggie Dickson pub,” ujarnya lagi. Kali ini ia pelan-pelan mendekatiku dan memberiku isyarat untuk tidak takut. Aku memang tidak berusaha lari, namun bagiku aku tidak mengerti kenapa seorang pengunjung di pub tadi sampai sedemikian mengejarku?

\tWhy? Kenapa kau mengejarku?” tanyaku memberanikan diri.

\tPria itu menghela napas.

\tBecause I heard you … talking about my sister.

\tYour sister?

\t“Jane Ruthven. Orang yang kau bicarakan saat di pub tadi, dia adalah adikku.”

\tAku menahan napas. Refleks telapak tanganku terangkat menutupi wajahku. Tidak percaya pria yang ada di hadapanku adalah kakak laki-laki Jane. Di saat seperti ini aku sama sekali lupa bahwa aku berdiri di tengah angin malam yang tidak bersahabat.

\t“Kau ... kakaknya?”

\tIa mengangguk. Aku mengamati lagi profil wajah pria itu. Rambut pirang itu berwarna sama dengan rambut wanita yang fotonya ada di belakang sampul novel fantasi milik Christian. Tidak diragukan lagi, mereka memiliki kemiripan yang cukup meyakinkan untuk disebut kakak beradik. Kali ini aku tidak ragu lagi menghampirinya.

\t“Aku minta maaf mengira kau seorang penjahat. Bisakah kau membantuku? Tolong pertemukan aku dengan adikmu,” pintaku.

\tIa terdiam untuk kesekian kalinya. Matanya menatap lurus ke arahku.

\tPlease, ...” sekali lagi aku memohon padanya.

\tIa menunduk dan melemparkan pandangan ke arah lain. Detik berikutnya ia kembali menatapku. Mata birunya tampak jelas terlihat.

\tI’m afraid I can’t do that.”

\tWhy?

\tShe died.”


***