Contents
Diamond Sky in Edinburgh (TAMAT)
2. WHEN THE NORTHERN STAR MEET THE SOUTHERN
2 Bulan Kemudian
Selamat atas kelulusannya, semoga kamu juga lulus sebagai orang yang angkuh dan seenaknya. ~XX~
Apa ini? Lelucon? Sesuatu yang seolah-olah berasal dari musuh tapi sebenarnya cuma seorang pengagum rahasia? Nah, I don't give a damn. Aku juga sudah 'lulus' dari hal-hal berbau kekanak-kanakan begitu, contohnya dengan mengirim karangan bunga tepat di hari aku diwisuda, dan sang pengirim sengaja menuliskan 'XX' alih-alih inisial nama sebenarnya. Mencoba menarik perhatianku? Usaha yang bagus, tapi ... Ah, sayang sekali aku tidak menemukan tempat yang tepat untuk bunga ini selain di tempat sampah.
Itu jika hanya satu karangan bunga. Masalahnya ada beberapa karangan bunga yang berjejer di depan kamarku menutup pintu masuk. Terutama karangan bunga besar yang sungguh genit dengan tampilan spektakuler bunga gerbera yang dirangkai dengan mawar merah. Aku tidak perlu melihat siapa pengirimnya. Siapapun orangnya ia tahu benar bahwa salah satu penghuni rumah ini adalah pecinta gerbera, dan itu adalah mamaku. Tapi cukup curang untuk tidak bertanya apa bunga favoritku dan seenaknya mengidentikkan diriku dengan bunga mawar. Sungguh pandangan yang kuno. Gadis modern mana yang memilih mawar sebagai bunga favoritnya?
Papaku punya selera yang buruk soal bunga. Atau lebih tepatnya asisten papaku? Karena aku yakin orang sesibuk papa tidak akan sempat mengirimkan bunga, apalagi terlebih dahulu memilihnya. Bahkan lebih masuk akal kalau sebenarnya papa lupa bunga favorit mama adalah gerbera, namun berkat asistennya yang patuh dan mencatat semua daftar dengan rapi seperti kedisiplinan pasien meminum obat, papa tidak harus dipusingkan hal remeh seperti ini.
“Nice present, huh? Tidak biasanya papamu peduli dengan kelulusanmu. Taruhan pasti Arlan yang menyarankan hadiah semacam itu.” Mama tampak tidak suka dengan karangan bunga ‘spesial’ ini. Aku memperhatikan sosok langsing yang masih tampak muda dibalik semua make up dan hair-do yang membuatnya kelihatan tua. Sesore ini sudah berdandan rapi. Sepertinya aku akan menghabiskan malam kelulusanku dengan makan malam sendirian. Sebagai konsekuensi karena punya orangtua yang sama-sama sibuk dan tambahan lagi, keduanya telah bercerai.
“Arlan?” tanyaku mencoba mengingat-ingat siapa yang disinggung mama.
“Asisten papa yang dulu pernah dua bulan tinggal di rumah kita mempelajari Bahasa Indonesia,” jawab mama sembari ia memasangkan anting di depan cermin ruang tengah.
Tidak berhasil. Aku tetap gagal mengingat-ingat. Aku tahu papa punya asisten. Tapi aku tidak pernah mendengar nama, umur, bahkan melihat wajahnya secara langsung. Dan sekali dengar pun namanya sangat Indonesia. Untuk apa orang itu mempelajari Bahasa Indonesia?
“Arlan itu orang Indonesia yang ibunya pernah menjadi TKI di Inggris. Tapi ibunya pulang ke Indonesia sendiri dan dia dititipkan di keluarga majikannya.”
“Ah, another sad story tentang anak yang ditinggal orangtuanya,” ujarku sinis.
“Dia tidak ditinggalkan, Ren. C’mon, it’s realistic story. Cukup bijak mempercayakan anak pada keluarga yang bisa memberikan pendidikan yang baik ketimbang membawanya pada kehidupan yang tidak jelas.”
Aku menghela napas. Malas berdebat, terutama jika berkaitan dengan pemikiran para orangtua yang secara egois memutuskan menganggap uang lebih penting ketimbang kasih sayang ibu kandung. Siapapun Arlan ini, aku kasihan padanya. Syukurlah aku tidak pernah bertemu dengannya selama ia tinggal di Indonesia karena membayangkan ceritanya saja sudah dipastikan ia orang yang melankolis. Menjual kisah sedihnya tentang bagaimana pahitnya ditinggal orangtua mungkin menjadi satu-satunya topik pembicaraan yang masuk akal untuknya.
“Jadi ... kamu mau pergi?” tanya mama. Pertanyaan yang cukup membingungkanku.
“Pergi ke mana?”
“Ah, jadi kamu belum buka hadiahnya?”
Hadiah? Karangan bunga ini? Bagian mananya yang disebut hadiah? Aku masih mencoba mencari tahu, sampai akhirnya aku melihat amplop coklat yang terjatuh tepat di kakiku. Sebuah kartu ucapan berwarna kuning menempel di bagian luar amplop.
Happy Graduation for my daughter. Here the present for you ~Papa~
***
Lucu memang mengingat-ingat bagaimana impulsifnya aku menerima hadiah kelulusan dari papaku. Bukan sesuatu yang kuinginkan, namun secara kebetulan membuatku merasa untuk sekarang ini, itulah yang kubutuhkan. Melarikan diri sejenak ke tempat yang jauh.
United Kingdom of Great Britain. Aku masih berada di wilayah Inggris Raya. Dan seharusnya sekarang ini aku berada di London. Di tempat papa yang sudah sepuluh tahun terakhir ini dihabiskannya di negara Ratu Elizabeth sebagai diplomat negara di kantor KBRI. Berlawanan dengan rencana awal, detik ini aku malah menghabiskan siangku bercengkrama dengan udara musim semi di sebuah café yang menyajikan menu brunch, istilah popular untuk jam makan yang berada di antara breakfast dan lunch di Edinburgh.
Roseleaf Café, begitu sekilas yang kubaca dari papan nama café ini di luar. Café bergaya medieval yang memang identik dengan bangunan yang mendominasi Old Town. Masih berada di kawasan Royal Mile, sebuah jalan raya utama yang namanya popular karena memang memanjang sekitar satu mil atau sekitar 1,8 km tepat di distrik Old Town, jantung kota Edinburgh. Akibat jet lag yang menyerangku tanpa ampun sejak kedatanganku ke London hingga aku meneruskan perjalanan ke kota ini, aku selalu saja bangun dengan mendapati matahari sudah tinggi. Akibatnya hari ini aku hanya sempat memakan menu brunch-ku yang berupa double potato scone dan orange juice. Aku bersiap meninggalkan café setelah menghabiskan makanku dan memanggil waiter kemudian menyerahkan uang empat puluh poundsterling. Sengaja aku biarkan waiter mengambil kembaliannya sebagai tip. Baru saja beranjak dan mengambil tas ranselku, di saat itu aku menyaksikan sosok berkelebat di sampingku dan berjalan memunggungiku.
Dia ...
Rambut coklat sedikit ikal, sosok tinggi namun kurus yang barusan melintas itu. Tidak salah lagi, aku mengenalnya. Namun malang, aku sangat ceroboh untuk menutup kembali resleting tasku setelah mengambil uang dari dompet. Begitu saja, seisi tasku berhamburan kemana-mana.
Sial.
***
Ah, kemana dia? Sekilas aku melihat sosoknya berjalan melewati jalan ini. Aku ingat ia memakai celana khaki, t-shirt Polo yang dibalut dengan jas musim panas. Belum sempat aku memastikan sosoknya, ia sudah menghilang ditelan kerumunan orang yang berjalan di sepanjang Royal Mile. Entahlah, mungkin saja aku kehilangan jejaknya saat menelusuri setapak demi setapak di area St. Giles Cathedral ini.
"Ren, who are you looking for?" tanya Christian, salah satu temanku yang kuhubungi sejak aku datang ke kota ini. Aku menoleh padanya dan tersenyum kecil.
"Nothing, aku kira aku melihat seseorang yang kukenal," ujarku berusaha terlihat tidak gelisah, “jadi kau akan mengajakku ke mana, mister guide?"
"Blackford Hill. Kamu akan suka pemandangannya. Dari puncak bukitnya kamu bisa melihat seluruh kota. Rasanya seperti melihat sebuah kartu pos atau kolom wisata di majalah."
"Really? Aku kira kamu sudah membawaku ke sebuah bukit kemarin. What it's name again?"
"Arthur's Seat? Percayalah, ini lebih indah. Agak berbeda dengan perbukitan Arthur's seat. Di Blackford Hill kita bisa melihat istana Holyrood House dari kejauhan. It's beautiful, I promise you."
Ah, perbukitan lagi. Entah apa aku harus senang atau kesal dengan fakta bahwa ibukota Skotlandia ini berbentuk kota perbukitan. Bahkan Kastil Edinburgh yang megahpun berdiri di atas puncak gunung yang sudah tidak aktif. Dan bukit-bukit di bawahnya, aku tahu pemandangan dari atas sangatlah indah tapi agak mengesalkan untukku yang lama tidak pernah berjalan jauh dengan kakiku sendiri.
"Hey, ... cheer up, girl. Why you look so tired?" Christian mengacak-acak rambutku.
"I am tired. Especially since I arrived I've just walking and walking. Bisa tidak kamu mengantarku jalan-jalan dengan mobil saja?"
Christian tertawa mengejek.
"It's Edinburgh, you dumb girl. Siapa yang perlu mobil kalau kita bisa berjalan kaki mengelilingi kota? Jangan samakan dengan Jakarta."
Ah, ingin rasanya menendang kakinya. Tidak ada yang membandingkan kota ini dengan Jakarta. Tapi aku membenarkan semua ucapannya. Luas kota ini sempurna. Tidak padat, dan tidak besar. Semua tempat tampak sangat mudah dijangkau tanpa harus dibingungkan dengan rute transportasi umum. Singkatnya, kota ini kecil, dalam arti yang sebenarnya. Meskipun aku baru empat hari di sini, aku telah berpapasan lebih dari dua kali dengan orang yang sebelumnya telah kutemui. Dengan pria gendut di bar, dengan wanita berkacamata yang berbicara cepat dengan akses Skotlandia yang kental, dengan mahasiswa yang selalu mengenakan earphone di telinganya. Mendadak aku teringat pria tadi. Bisakah aku kembali bertemu dengannya lebih dari dua kali?
Ini hari keempatku di kota terbesar kedua di Skotlandia, Edinburgh. Aku mengingat-ingat apa yang membuatku nekat datang ke kota yang penuh dengan sejarah kelam namun menakjubkan ini. Tapi semakin aku mengingatnya aku semakin jauh dari tujuanku. Dan pikiran tentang sosok yang berkelana di benakku dan sepintas aku merasa telah melihatnya beberapa saat tadi, membuatku makin terpuruk. Aku kehilangan jejaknya (lagi).
Lima kali dua puluh empat jam yang lalu, aku mungkin menganggap perjalananku ke Inggris Raya hanya sebuah pelampiasan. Pelampiasan untuk melupakan kebodohan yang kulakukan karena muncul secara spektakuler di hadapan sosialita yang tampaknya mengenalku dan membuatku jadi bulan-bulanan gosip. Bertemu papaku bukan tujuan utama. Aku tahu sekalipun aku mendatangi apartemennya di London, aku toh tidak mungkin membuat jadwal padat papa yang penuh dengan rapat dan pertemuan menjadi seratus persen berubah drastis untuk menemaniku saja. Tapi tanpa berpikir lama, aku mengambil tawaran papa untuk berlibur.
Jalur penerbangan yang cukup panjang dan memakan waktu total lima belas jam jam membuatku nyaris tak berkutik. Aku bosan setengah mati dan hanya menghabiskan waktuku makan, minum dan menonton televisi yang menyediakan layanan lima ratus channel di dalam pesawat.
Lalu suatu ketika, setelah aku kembali dari toilet pesawat aku mendapati pria botak tua tukang tidur yang duduk di sebelahku berganti dengan pria muda berambut ikal coklat dan bermata hijau. Janggut tipis di sekitar dagunya memberi kesan bahwa ia lupa bercukur pagi tadi, dan anehnya itu terlihat cocok untuknya. Ia tersenyum padaku saat aku kembali duduk.
"I'm sorry I switched the seat. Aku tidak tahan dengan wanita yang mendengkur di sebelahku. It's so loud. And I thought, maybe I can switched with the guy beside you, dia kelihatan lelah dan sepertinya tidak akan terganggu dengan bunyi dengkuran sekeras apapun." Pria itu dengan ramah menjelaskan alasannya pindah ke sebelahku. Suaranya begitu halus, berlawanan dengan figurnya yang tampak kasar. Aku hanya tersenyum menanggapinya.
"So ... you don't mind?" tanyanya memastikan.
"Off course." Tidak mungkin aku keberatan duduk di samping pria tampan. Cukup baik mengatasi kebosananku. Tapi entahlah, aku juga tidak yakin aku butuh teman bicara. Dan ... ada sesuatu tentang pria ini yang membuatku enggan memulai pembicaraan terlebih dahulu. Dia terlihat sibuk dengan pikirannya sendiri. Sudah sepuluh menit, ia tidak bicara, tidak menonton tv dan hanya berdiam memandang ke luar. Dan itu (agak) membuatku kesal. Yah, aku memang tidak terlalu cantik sih, bukan berarti aku minta diperhatikan. Tapi biasanya dalam suatu perjalanan selalu aku yang mati-matian menahan diri untuk tidak kesal karena orang-orang terus mengajakku bicara. Namun sekarang ...
"Apa pendapatmu tentang berlian?"
Oh, dia mulai mengajakku bicara. Tapi, apa dia bilang? Berlian? Pertanyaan macam apa itu?
"What do you mean? Diamond? Ehmm .... What kind of question?"
Dia tersenyum penuh arti. Lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna putih gading. Aku hampir menahan napas begitu ia membuka kotak itu. Sesuatu berkilauan dari dalamnya. Cincin ber...
CLAP!
Kotak itu tertutup seketika. Mengejutkan.
"Reaksimu menjawab semuanya," ujarnya.
Aku tidak mengerti apa maksudnya.
"Yang kamu lihat tadi, itu bukan berlian asli. Sangat mudah menebak wanita macam apa ketika ia memandang apa yang ada di dalam kotak ini. Sebagus itukah berlian?" Dia berkata seolah-olah perempuan yang menyukai berlian itu hina.
"Bukan soal bagusnya, mungkin lebih seperti nilainya. Kau tahu, perempuan selalu menyukai sesuatu yang indah dan lambang ikatan keabadian," ujarku berdalih.
"Indah dan abadi? Kalau saja kau tahu sejarah berlian itu sedemikian kelam dan berdarah-darah, kau mungkin berubah pikiran."
"Maksudmu?"
"Kau tahu ada berapa ribuan nyawa melayang karena berlian? Di jaman perang dunia, negara penuh konflik seperti afrika adalah penghasil berlian paling banyak. Mereka perlu senjata untuk berperang, sementara negara maju memerlukan berlian untuk gaya hidup wanita-wanitanya. And you knew what happened ...."
"Perdagangan senjata ...."
"Setiap kilaunya mengandung darah wanita dan anak-anak yang mati sia-sia. Now tell me, do you still think that diamond is eternal?"
"I still do," jawabku mantap. Soal sejarah itu mungkin benar, tapi hey ... kau tidak akan maju kalau hanya berkaca pada sejarah. Lagipula jaman sekarang negara tidak saling berkonflik hanya demi berlian kan?
"Sudah kuduga. Lalu, apa kau pun menginginkan suatu saat kekasihmu akan melamarmu dengan cincin berlian?"
Aku merasakan inilah pertanyaannya yang sesungguhnya.
"Aku akan senang kalau iya. Tapi aku tidak berharap banyak, bahkan di negaraku sendiri berlian itu sesuatu yang sangat mahal."
Dan juga sangat tidak mungkin ada pria yang menghadiahiku barang semewah itu. Tidak, aku bukan perempuan yang segitu desperate-nya menginginkan perhiasan cantik itu. Jujur kalaupun aku menginginkan aku tidak kesulitan mendapatkannya. Terutama dengan latar belakang keluargaku yang tidak pernah kekurangan. Aku sudah bilang kalau ayahku seorang diplomat negara kan? Hanya saja pria yang pacaran denganku kebanyakan hanya mengincar kekayaanku saja. Membayangkan mereka akan memberikan aku berlian hanya membuatku tertawa sinis. Lebih masuk akal kalau mereka yang memintaku membelikan mobil.
"Still, woman will love it .... Ahh aku tidak percaya aku bicara tentang berlian dengan orang asing, maaf kalau aku memperlihatkan barang palsu."
Aku tertawa menanggapi candaannya. Ya benar, apa yang ia lakukan dengan berlian palsu. Memamerkannya? Atau ia semacam pemalsu perhiasan? Oh my god, jangan bilang kalau dia benar-benar ...
"You wrong, girl .... Aku bukan pelaku kriminal yang memalsukan perhiasan," potongnya seolah membaca pikiranku.
"Thanks god," sambungku iseng. Dia tertawa lagi.
"You're funny. I thought you don't really like talking. By the way, I'm Jim ..., Jim Morley." Ia mengulurkan tangan memperkenalkan diri. Aku menyambutnya.
"Renata Soetedja."
"Let me guess, you're Indonesian, single dan mengunjungi kekasihmu yang tinggal di Inggris," tebaknya. Aku tersenyum geli.
"I'm being single and Indonesian is true. Tapi aku ke Inggris karena ayahku menginginkan liburan ke sana. How bout you?"
"I'm Scottish, dan aku tinggal di Edinburgh. Kau pernah ke sana?"
"Nope. Perjalananku ke Inggris saat ini adalah kali pertamanya untukku."
"Great. Kau harus mengunjungi Edinburgh sekali-sekali, it's a amazing city."
"Really? Kalau begitu, apa kau bersedia menjadi tour guide-ku kalau aku datang ke kota itu?"
"I would loved it if I could do that, but I can't."
"Why?"
"Aku akan menikah," jawabnya dengan air muka yang berseri-seri. Wajahnya seketika berubah penuh cinta.
"Wow .... Congratulation. Jadi cincin barusan itu ..."
"No, no, no .... I already proposed her."
"Jadi ... kau sudah melamarnya, tapi kau menyimpan cincin berlian palsu di sakumu. You weird, don't you know that?"
Ia tidak membalas ucapanku dan hanya tersenyum. Sungguh, itu senyum yang paling menawan yang pernah diperlihatkan pria bule padaku.
"I know, karena itu aku bahagia karena akan menikah dengannya. Dan aku tidak menyangka ia akan memilihku, padahal dia ... ahh we're so different back then."
"Kenapa? Apa yang berbeda? Apa ... gadis itu orang kaya?" tanyaku mencoba menebak-nebak.
"Aku tidak tahu soal keluarganya, tapi semua temanku mengatakan ia dari keluarga terpandang, kaya dan masih keturunan bangsawan- bangsawan Skotlandia di era Georgia."
Aku mengerti maksudnya, mungkin jika itu di Indonesia, sama seperti halnya seseorang yang masih disegani karena menyandang gelar keraton.
"I love her. Somehow, meskipun aku sudah dua tahun menjalin hubungan dengannya, rasanya aku masih merasa seperti bermimpi."
Ada yang berubah. Pancaran mata pria ini begitu teduh. Sedikit berbeda dengan saat pertama kali ia mengajakku berbicara. Dan bahasa tubuhnya sedikit menunjukkan rasa malu. Dia benar-benar jatuh cinta dengan kekasihnya. Entah kenapa, tiba-tiba aku merasa iri dengan gadis itu.
"Beberapa bulan lalu aku melamarnya, bukan dengan cincin berlian tapi hanya dengan sebuah ring tutup botol minuman, dan dia menerimanya," katanya dengan wajah memerah.
"Ah .... Aku tidak percaya ini. I was so happy. Dan aku bajingan yang beruntung karena mendapatkan gadis sesempurna dia."
Aku tidak sepenuhnya setuju. Aku kira bukan dia saja yang merasa beruntung mendapatkan kekasihnya. Gadis itupun harusnya bersyukur dia punya pria yang begitu mencintai dan membanggakan tunangannya.
"Lalu ... aku memutuskan suatu saat aku akan bisa memberikan dia cincin berlian. Sebenarnya aku benci konsep tentang berlian lambang keabadian. Tapi aku pikir kau benar, ada sesuatu dalam berlian yang membuat benda ini layak menjadi simbol keabadian. Karena keabadian itu adalah sesuatu yang diperjuangkan dengan pengorbanan, bahkan darah sekalipun." Kalimat itu ia ucapkan dengan sedikit nada penyesalan. Entah pengorbanan apa yang ia maksudkan, aku tidak mau bertanya.
Dan pembicaraan kami pun mengalir seperti biasa. Rencana-rencana indah ia ungkapkan sebagai bagian dari keinginannya untuk membahagiakan Jane Ruthven, nama kekasihnya.
Aku menceritakan kisah cintaku yang hanya kupandang batu sandungan dalam hidup. Kisah tentang jalinan hubunganku dengan pria-pria matre. Entah berapa banyak yang kuhabiskan demi pria penghisap darah itu. Untuk keperluan modifikasi mobilnya, untuk keperluan sosialisasinya di klub dan membership club-club elit yang ia ikuti lalu baju-baju mahal yang ia pakai. Semua itu tidak membuat pria itu sadar betapa aku mencintainya, dan dia hanya mengorek lebih dalam limit kartu kreditku. Sial.
"Someday ... kau akan mengerti betapa indahnya mencintai dan dicintai. Let say ..., selama ini kau hanya bertemu dengan orang yang salah," tukasnya seraya meneguk wine yang disajikan pramugari, sementara aku hanya minum orange juice. Entah mungkin ini hanya perasaanku. Namun mata pria itu semakin memerah, aku menduga sebelum wine itu disajikan, ia mungkin saja sudah meminum sesuatu.
"Aku merasa itu terlalu naif. Akui saja bahkan kaupun senang dengan fakta kalau kekasihmu itu orang kaya."
Wajahnya berubah pias seketika.
"Who said that? Aku tidak pernah bangga dengan apa yang dia punya. Much easier for me, kalau Jane adalah orang sepertiku. Tapi aku tetap memilihnya. Aku mencintai karena seperti itulah Jane yang kuinginkan, bukan bagaimana latar belakangnya."
Aku mengangguk-angguk seolah mengerti. Dan aku sudah malas berdebat dengannya. Rasa kantukku sudah tak tertahankan lagi. Dan akupun jatuh tertidur.
***
"Ini .... Minumlah!"
Aku meneguk air mineral yang dibawa temanku, Christian. Suatu kebodohan paling fatal jika aku memutuskan berjalan-jalan tanpa persediaan air yang cukup. Dan begitu saja saat membuka botol minumku, aku sadar, I'm in dehidration. Christian mengajakku berhenti sejenak dan bersantai di sebuah taman luas yang terletak di sebelah utara Kastil Edinburgh, Taman Prince's Street. Meskipun sebentar lagi memasuki musim panas, suhu di Edinburgh relatif lebih dingin. Musim semi akan berakhir, namun aku masih sempat menyaksikan floral clock, sebuah rangkaian taman dekoratif berbentuk jam lengkap dan jarum detik dan menitnya yang tentu saja berwujud bunga. Setiap tahun, desain floral clock selalu berganti sesuai dengan event yang sedang berlangsung di kota itu. Aku tahu karena Christian-lah yang bersemangat mengajakku beristirahat di tempat ini.
Kalau saja aku datang kemari saat musim dingin, mungkin aku akan menyaksikan Winter in Wonderland. Taman yang asri ini akan berubah menjadi taman bermain yang dipenuhi dengan lampu penuh gemerlap sepanjang malam, arena ice skating, mini roller coaster, bianglala dan pohon natal raksasa. Suasana yang membuatku sangat iri namun sekaligus lega, karena bukan musim dingin pun cuaca di Edinburgh sering berubah-ubah. Aku dengar dari orang Edinburgh sendiri, musim dingin di Edinburgh terlalu panjang. Kurasa aku pun tidak akan tahan.
Aku mengeluarkan sebuah benda melingkar dari sakuku dan memandanginya lama. Benda ini yang membuatku rela menginjakkan kakiku pertama kali ke Edinburgh. Aku berhati-hati memasangkannya di jariku. Dan mencoba tidak terhenyak ketika melihat kilaunya. Berlian.
Apa yang ada dalam kepala pria itu? Mengatakan berlian yang indah ini adalah berlian palsu. Aku sudah membuktikannya dan menanyakan pada toko perhiasan di London. Mereka mengatakan hal yang sama, benda ini asli. Dan kebodohan apa yang bisa dipikirkan pria seperti itu hingga meninggalkannya di pangkuanku saat pesawat tinggal landas? Karena terlalu mengantuk dan menjadi penumpang yang terakhir turun, aku tidak menyadari bahwa Jim, pria yang mengobrol denganku sudah tidak ada di kursinya. Keterkejutanku makin parah saat mendapati benda mungil itu berada di pangkuanku.
"Masih belum menunjukkan petunjuk di mana pemilik benda itu?" tanya Christian begitu ia mengambil tempat di sampingku seraya berbaring di atas rumput. Aku menggeleng pelan.
"Beberapa usahaku tidak berhasil. Tak ada jejaknya."
Aku hanya tahu nama pria itu Jim Morley. Usianya mungkin tidak terpaut jauh dariku, bisa jadi hanya 3-5 tahun lebih tua dariku. Tak punya akun facebook, twitter, instagram atau sosial media lainnya. He's just ... invisible. Dia bilang akan menikah, namun belum pernah sebelumnya ada calon suami yang seceroboh itu meninggalkan cincin untuk tunangannya di pesawat. Untuk ini, aku harus menempuh perjalanan ke Skotlandia.
"Coba saja mencarinya di kantor polisi. It's a small town afterall." Christian tidak terlalu peduli dengan rasa penasaranku dan cincin ini. Dari awal ia tidak suka ceritaku tentang pria itu. Aneh dan mengada-ada. Dan yang ia lakukan sekarang hanya berbaring di atas rumput membaca novel dan melihatku mondar-mandir tak jelas. Christian adalah teman lamaku saat dia masih menjadi siswa pertukaran pelajar SMA-ku di Indonesia. Kadangkala aku juga sedikit heran, laki-laki dewasa tapi sangat menyukai buku-buku atau novel fantasi. Ia masih memegangi buku yang sama dari pertama kali ia mejemputku. Novel tentang lima penyihir wanita klasik dan makhluk dongeng yang menjelma menjadi manusia, sungguh kekanak-kanakan. Penulis sekarang sudah cukup kehabisan ide fantasi sejak JK. Rowling menyelesaikan naskah novel Harry Potter ke 7 di sebuah hotel megah dengan arsitektur bergaya pertengahan di Edinburgh, Balmoral Hotel. Bahkan untuk penulis yang novelnya sedang dibaca Christian. Jane Ruth ... Oh my ... Apakah penulisnya benar bernama Jane Ruthven? Jane? Calon istri pria itu?
Darahku berdesir. Naluriku bergejolak. Merasa beruntung sekaligus bodoh. Christian membawa-bawa novel itu sejak tiga hari lalu dan aku terlambat menyadari siapa penulisnya.
"Hey, what's wrong with you? Kenapa kau ambil bukuku?" protes Chris begitu aku tanpa ijin menyambar bukunya. Aku tidak peduli.
Aku akan bertemu lagi denganmu, Jim. Lihat saja.
***