Contents
CLBK (Cinta Lama Belum Kelar)
7. Pemotretan yang Gagal
"Chelle. Lo belum dapat desainer grafis baru?" Kedatangan Michelle disambut oleh pertanyaan menuntut dari Denise. "Kita bener-bener butuh bahan buat posting. Ini udah lebih dari dua minggu. Apalagi produk-produk baru kita udah numpuk sekarang."
Michelle menghela napas pelan. Apa yang dikatakan oleh Denise ada benarnya. Jika terus seperti ini, pasti akan berpengaruh pada pendapatan juga pada akhirnya. Apalagi pakaian adalah sesuatu yang memiliki waktu tersendiri untuk booming. Jika model-model baru yang sedang laris saat ini terus mereka endapkan dan baru diposting beberapa waktu kemudian, mereka melewatkan waktu emasnya.
"Gue cari secepatnya. Lo jangan khawatir. Handle aja apa yang bisa lo handle," balas Michelle akhirnya. Meski dia juga belum tahu pasti harus menemukan orang yang sesuai dengannya di mana.
***
Setelah menyeleksi beberapa rekomendasi desainer grafis yang dia cari sendiri di sosial media, Michelle akhirnya menemukan satu yang cukup masuk untuk seleranya. Meski tidak begitu pas seperti desain yang dibuat oleh Angga ataupun Rifki, tapi tidak begitu buruk. Selain itu, orang itu juga memiliki teman yang bisa memotret dengan baik. Michelle bisa mempekerjakan dua orang itu sekaligus sebagai partner. Tidak masalah menggaji dua orang dengan harga pantas ketimbang dia harus mempekerjakan orang yang kurang cocok dengannya.
"Sin, lo udah aman, kan?" tanya Michelle, setelah naik ke lantai dua toko yang merupakan ruang khusus untuk penyimpanan barang baru serta terdapat tempat untuk pemotretan.
Michelle menghampiri Sinta, model langganan untuk produknya. Postur tubuh Sinta sangat cocok untuk pakaian-pakaian yang Michelle produksi. Selain itu, wajah Sinta sangat menarik. Dia cantik tapi juga imut di saat yang sama. Wajar jika gadis itu akhirnya menjadi rebutan untuk jadi model untuk banyak online shop.
Sinta mengangguk pelan. "Aman. Tapi gue beneran cuma bisa sampai jam tiga, ya. Soalna jam empat gue harus udah samapi di lokasi syuting buat salah satu iklan televisi."
Michelle mengacungkan jempol. "Beres!" tandasnya. "Gue bisa dapatin lo buat satu jam aja syukur banget. Gue tahu gimana sibuknya jadwal lo. Dan hari ini lo meluangkan cukup banyak buat gue dan toko gue. Gue bener-bener makasih banget sama lo."
Sinta tertawa pelan menanggapi ucapan Michelle. "Lo udah jadiin gue model sejak gue masih bukan siapa-siapa. Jadi gue punya utang sama lo," balas Sinta. Memang benar awal karirnya adalah karena Michelle yang menawarinya menjadi model. Hanya melihat Sinta dalam sekali tatap, Michelle sudah menilai betapa cantik dan bagusnya proporsi tubuh Sinta untuk menjadi model bagi produk-produk yang dia miliki.
Michelle berjalan keluar dari ruang ganti. Menuju toko di lantai utama dan mencari tahu apakah fotografer yang direkomendasikan oleh Firza, calon desainer grafisnya yang baru, sudah datang atau belum. Namun begitu turun, dia belum menemukan siapa pun di sana. Masih hanya ada Denise yang duduk di mejanya, sibuk membalas pesan-pesan customer.
"Denise, masih belum ada yang dateng?" tanya Michelle. Menghampiri Denise yang duduk di mejanya. Sementara tim packing sedang mengepak paket di ruangan sebelah.
Denise menggeleng. "Belum. Mungkin masih di jalan?" jawab Denise tak yakin.
Michelle mengembuskan napas kasar. "Kita udah sepakat kalau pemotretan dimulai jam satu. Seharusnya mereka datang sebelum jam itu, tapi ini bahkan udah jam satu lewat sepuluh menit," keluh Michelle, menatap jam yang melingkar di tangan kirinya. Raut wajah gadis itu terlihat khawatir.
"Gue coba hubungin Firza sama temennya lagi, ya." Denise tahu Michelle sedang khawatir, jadi dia yang berinisiatif untuk bertanya pada yang bersangkutan.
Setelah beberapa saat, Denise memanggil Michelle. "Gimana katanya?" tanya Michelle segera.
Dilihat dari raut wajah Denise, Michelle tahu ini buruk. Tapi dia tetap menunggu apa yang akan Denise sampaikan.
"Kata Firza, temennya masih ada di acara pernikahan. Dia jadi fotografer wedding gantiin temennya. Kemungkinan bakal kelar satu jam lagi."
Michelle memejamkan matanya dengan lelah setelah mendengar jawaban yang diberikan oleh Denise. Dia juga tampak sangat kesal mendengar informasi itu. "Kenapa enggak bilang dari awal? Satu jam lagi? Apa mereka berdua gila? Kita harus nunggu mereka kelar selama itu? Belum lagi dengan keadaan jalan raya Jakarta yang macet? Gila mereka!" Michelle akhirnya mengeluarkan rasa kesalnya.
Michelle melirik ke arah tangga yang menghubungkan dengan lantai dua, di mana Sinta menunggu. Michelle memikirkan gadis itu. Sangat sulit untuk meluangkan waktunya, tetapi Sinta melakukannya untuk Michelle. Bahkan di saat seharusnya mereka tidak menyia-nyiakan waktu satu menit pun sejak Sinta datang, mereka malah membuatnya menunggu lama. Ingin sekali rasanya Michelle mengeluarkan kata-kata kasar sekarang. Namun gadis itu masih berusaha menahan diri.
"Gimana, ya?" gumam Michelle setelah sedikit lebih tenang. Dia mengembuskan napas berat. "Jadwal Sinta sibuk banget belakangan. Bakal sulit buat dapat kesempatan lagi. Sekarang aja dia nyempatin waktu buat kita di sela-sela kesibukannya, gue enggak enak."
"Chelle," panggil Denise di sisinya. Michelle lantas menoleh. Sepertinya Denise ingin memberikan usul. "Gimana kalau hubungin Rifki aja? Setahu gue tempat tinggalnya gak jauh dari sini. Ya, semoga aja dia enggak lagi ada job."
Michelle terdiam mendengar saran dari Denise. Dia tidak tahu apakah dia harus menghubungi Rifki. Dia sungguh tidak mau berhubungan apa pun lagi dengan Rifki. Dia tidak mau bertemu dengannya dan terlibat apa pun dengan lelaki itu. Namun, bukankah kondisinya saat ini mendesak? Dia tidak bisa kehilangan Sinta sebagai modelnya. Segala persiapan untuk pemotretan juga sudah selesai. Butuh waktu dan effort lagi bagi mereka jika jadwal pemotretan ini diubah.
"Gue enggak tahu kalian punya masalah apa sampai lo kayaknya enggak mau berhubungan apa pun sama Rifki. Tapi, Michelle, lo juga suka sama hasil desain dia. Lo juga suka hasil foto yang diambil Rifki. Dia benar-benar tipe lo, kan?" jelas Denise, berusaha untuk membujuk Michelle. "Jadi please, pikirin lagi. Lo enggak bisa kehilangan Sinta dan terus-terusan mangkir dari Rifki."
Michelle menggigit bibir bawahnya sendiri. Kalimat terakhir yang Denise sampaikan begitu menampar untuknya. Michelle sendiri tahu hal itu. Dia tidak akan bisa mangkir dari Rifki selamanya. Terlebih, mereka kini berada di kota yang sama. Mungkin secara kebetulan mereka bisa bertemu di beberapa tempat. Apakah Michelle akan terus berpura-pura tidak mengenal lelaki itu dan mengabaikannya?
Gadis itu menghela napas dalam-dalam, lalu menoleh pada Denise. "Okay, kalau gitu. Kita enggak punya pilihan lain. Mungkin sebaiknya kita hubungi Rifki segera," ucap Michelle pada akhirnya.
Jawaban itu membuat Denise seketika melebarkan senyum dan lekas menghubungi Rifki setelah apa yang Michelle katakan.
***