Contents
DISTANCE (TAMAT)
Good Bye, Seattle!!
RODA-roda pesawat mulai menandaskan pijakannya pada landasan. Tak berapa lama kemudian berbondong-bondong penumpang keluar dari pesawat yang baru saja sukses menyapa landasannya.
Tacoma Seattle International Airport. Michelle masih duduk di kursi bandara dengan sebuah tiket penerbangan menuju Belanda. Take off 10 menit lagi dan pikirannya tak juga tenang. Ada hal yang sangat membebaninya dan membuat langkahnya menuju Belanda itu kian berat. Michelle menyapu bersih setiap sudut bandara dengan penglihatannya. Namun ia tak juga menemukan hal yang dicarinya.
“Kamu yakin untuk ke sana, Sayang?” ucap seorang wanita yang dengan lembut menyentuh bahu Michelle. Namanya Nyonya Swift, ibunda Michelle.
“Yakin, Ma. Michelle sangat yakin. Michelle sudah berjuang keras untuk hal ini, tidak mungkin Michelle menyia-nyiakannya,” sahut Michelle dengan senyum yang mengembang dari bibir mungilnya itu.
“Tetapi kenapa harus pergi hari ini? Bukankah ini hari pertunangan Jean? Dia sudah mengundang kita untuk datang, Chelle. Tundalah kepergianmu.”
Perkataan Nyonya Swift semakin memberatkan langkah Michelle. Semilir angin pepohonan dari Emerald City memanggil Michelle untuk kembali ke rumahnya dan menikmati taman dengan pepohonan rindang yang selalu meneduhkannya dari terik mentari dan gerimis.
Sekali lagi ia menghela nafasnya penuh beban.
“Ma, Michelle sudah membeli tiket. Pihak sekolah juga sudah menghubungi keluarga yang akan menampung Michelle selama di sana, Ma. Michelle nggak bisa ngebatalin begitu saja,” ucap Michelle yang diikuti dengan senyum penuh resah. “Mama tenang aja, Michelle sudah mengirimkan surat ke Jean dan Annette. Mereka pasti akan mengerti,” tandas Michelle yang akhirnya mampu mengembalikan senyuman di bibir Nyonya Swift.
Tiba-tiba saja suara panggilan dari official centre menggema di telinga Michelle dan Nyonya Swift. Perhatian mereka terpecah dengan pilot yang sudah siap mengudara. Michelle pun harus pergi meninggalkan kota kelahirannya itu.
“Ma,” ucap Michelle terbata.
Mata Nyonya Swift terlihat berkaca-kaca.
“Berhati-hatilah. Semoga bisa meraih hal terbaik dalam hidupmu, Chelle.”
Pelukan terakhir untuk melepas kepergian Michelle terasa sangat berat untuk disudahi oleh Nyonya Swift. Michelle pun dengan berat hati melepaskan pelukan ibunya itu.
“Michelle berangkat ya, Ma.”
Sebuah senyum dari wajah seorang ibu, mengiringi kepergian Michelle menuju Negeri Kincir Angin itu.
Michelle mulai melangkahkan kakinya menuju pesawat. Mata Nyonya Swift menatap lekat setiap langkah yang diambil oleh putrinya itu. Sesekali sebuah senyum kecil terukir di wajahnya. Gadis kecilnya yang dahulu selalu mengadu padanya,menangis di hadapannya dan bermain bersamanya, kini telah tumbuh menjadi gadis remaja yang penuh dengan prestasi. Gadis kecilnya itu kini harus pergi meninggalkannya untuk sementara. Ia tahu, gadis kecilnya itu sangat menyayangi dirinya.
Selangkah lagi dan Michelle akan resmi menjajakan kakinya di landasan. Setelah langkahnya ini, ia takkan melihat ibunya lagi sampai kuliahnya di Belanda selesai. Sekali lagi,Michelle mereguk senyum kecil yang terukir di wajah ibunya, yang ia tahu senyum itupun terasa sangat berat melepaskan langkahnya. Namun, ia membiarkan senyum itu yang mengiringinya pergi.
Michelle melemparkan senyumannya. Setelahnya, kakinya dengan liar menciumi landasan pesawat yang terlihat mulus itu.
Tak berapa lama kemudian, Michelle sudah berada di perut pesawat. Sabuk pengaman sudah memeluk Michelle dengan erat. Tempat duduk yang akan menjadi sandarannya sudah siap menampung semua keluh kesah Michelle selama di pesawat.
Mata Michelle masih melahap habis landasan pesawat itu dengan pandangannya. Dari balik jendela, Michelle dapat melihat rintik-rintik air langit yang mulai turun. Air tersebut membentuk titik-titik air di jendela pesawat itu. Michelle menghela napas panjang, sekali lagi.
Perlahan, pesawat yang ditumpangi Michelle mulai lepas landas. Terasa setiap dinding-dinding tebalnya mulai bertaruh dengan angin dan tekanan udara yang berbeda. Sedangkan Michelle, ia masih berusaha meredamkan gemuruh di hatinya. Dadanya terlihat naik-turun, sesekali ia mengusapnya, berusaha menguatkan hatinya.
“Ya, kau awanku, awan kecilku. Nanti kau akan sebesar awan yang di sana itu. Aku akan menjadi langitmu, aku yang akan selalu menemanimu. Kau suka?”
Kalimat itu kembali terngiang di telinga Michelle. Matanya tertutup sejenak, dan ada sebuah senyum yang terlintas di antaranya. Senyum yang perlahan ingin menariknya kembali menunggu dan menanti untuk kesempurnaan kisah sepanjang jalan Avenue. Namun segera Michelle menghalau semua senyum yang menggodanya untuk kembali.
Sekali lagi, kalimat itu berbisik di telinga Michelle dengan lembut. Berbisik menyindirnya. Menyindir langitnya yang telah pergi. Menyita kenyataan pada langit dan awan yang sebenarnya, bahwa langit dan awan tidak bisa dipisahkan. Namun pada kisahnya dan pemudanya itu, ia terpisah. Awan kecilnya terpisah dari langitnya. Kalimat itu pulalah yang mengirinya pergi, melangkah jauh dari Seattle.
****
“MICHELLE, selamat kau berhasil mendapatkan beasiswa di Utrecht University. Selanjutnya pihak sekolah yang akan mengurus dokumen-dokumenmu. Tetapi, kau tidak bisa kembali ke Seattle selama kau berkuliah di sana. Di sana kau akan tinggal dengan orang tua asuhmu. Mereka yang akan mengabarkan kepada kami mengenai setiap hal yang kau lalui di sana, di kampusmu. Dan ingat satu hal, Chelle, pemerintah Belanda berhak menyabut beasiswamu kapanpun jika nilai IPKmu tidak memenuhi nilai minimum. Kau siap memenuhi semua persyaratan itu?” tanya kepala sekolah Michelle ketika menyampaikan persyaratan dan keberhasilan Michelle meraih beasiswa ke Belanda.
Sejenak Michelle merasa seram ketika membayangkan orang tua asuhnya akan kejam dan memperlakukannya seperti anak tiri. Namun segera pikiran itu tertutupi ketika ia membayangkan bisa ke Negeri Kincir Angin yang dipenuhi dengan berjuta-juta tulip itu. Bisa menggali ilmu di negeri itu dan menghindari Seattle, itu sungguh menggiurkan baginya.
“Benarkah? Baik, Pak, apapun persyaratannya, saya akan memenuhi persyaratan tersebut, bahkan jika saya tidak diizinkan kembali ke Seattle selama kuliah di sana!” ucap Michelle dengan penuh keyakinan.
Sayangnya, ia belum meminta pendapat dari ibunya. Benar, ibunya juga pasti senang melihat keberhasilan putri semata wayangnya itu. Namun apa mungkin ibunya segampang itu untuk jauh dari dirinya? Dan itulah yang baru saja disesali oleh Michelle ketika detik-detik menjelang keberangkatannya menuju Belanda semakin mendekapnya.
“Aku akan sangat merindukanmu, Nak. Berat untuk berpisah denganmu. Namun, jika memang itu keputusanmu, maka aku akan merelakanmu pergi. Aku tahu kau sudah cukup dewasa untuk bisa menentukan keputusan itu,” ucap Nyonya Swift dengan titik air mata yang sudah menggenang di sudut matanya.
****
MICHELLE kembali ke alam sadarnya. Cukup sudah ia mengingat kejadian pilu dengan keputusan bodohnya itu. Kini dengan mantap ia melangkahkan kaki ke negeri tetangga, Negeri Seribu Tulip. Ya, di sanalah kehidupannya akan dimulai. Kisah setitik awan kecil akan dimulai dengan petualangan barunya untuk menjadi segumpal awan yang indah.