Contents
Let Up!
Pesanan yang Selalu Diabaikan
PERTEMUANKU dengannya adalah sebuah kebetulan—kalau tidak bisa dibilang takdir. Aku baru selesai makan siang ketika kulihat dari kaca lebar ia datang dengan berlari-lari kecil dan berbasah-basahan menuju Kopikiri. Ia mendorong pintu kedai, membuat bel yang tergantung di kusen berkeloneng. Aroma parfumnya yang manis—seperti perpaduan vanila, gula, kelapa, dan cokelat—menyatu sempurna dengan aroma biji kopi yang baru kuhaluskan pada grinder. Aroma itu mendatangkan sesuatu yang baru di penciumanku, sesuatu yang menyenangkan.
Seperti pelanggan pada umumnya, ia memesan minuman dan camilan: secangkir amerikano hangat serta sepiring kecil macaroon rasa mint dan cokelat. Setelah itu, ia memintaku membawa pesanannya ke sebuah meja di dekat dinding kaca.
Selama berjam-jam ia hanya duduk diam membelakangi bar tempatku berada sehingga hanya rambut hitam sebahunya yang terlihat dari posisiku. Ia tak terganggu oleh banyaknya orang yang datang dan pergi, seakan-akan hanya ada dirinya, kopi, dan macaroon di sana. Kepalanya condong ke kanan, mungkin agar leluasa memandangi hujan yang tak kunjung reda. Ia terus mematung dalam posisi yang sama sampai amerikanonya tak lagi mengepulkan uap. Setelah dua atau tiga jam, akhirnya ia pergi tanpa menyentuh pesanannya.
Tiga hari kemudian ia datang lagi, pada waktu dan cuaca yang serupa. Ia membeli makanan dan minuman yang sama, memilih tempat duduk yang sama, dan melakukan hal yang sama pula. Aku heran, mengapa ia harus repot-repot memesan ini-itu jika tak berniat mengonsumsinya sama sekali.
Aku tahu, aku tahu, itu hak pelanggan; kewajibanku hanyalah menghidangkan menu yang mereka pesan. Apakah makanan dan minuman itu akan mereka habiskan atau tidak, seharusnya itu tidak menjadi persoalan. Namun, aku tak bisa mengenyahkan rasa kecewa setiap kali harus memubazirkan amerikano dan macaroon yang dipesan perempuan itu sebab aroma dan rasanya sudah tak layak untuk dikonsumsi.
Lalu ia kembali, selang satu minggu dari kunjungannya yang terakhir. Ia memintaku membuatkan minuman dan menyiapkan makanan yang persis sama seperti sebelumnya. Ia membayar tagihannya dengan uang pas, setelah itu—sesuai dugaanku— ia menunggu pesanannya di kursi yang biasa. Anehnya—atau kebetulan yang menguntungkannya—tak seorang pun sedang menempati meja itu setiap kali dia muncul. Sedikit berbeda, sore itu hujan tidak turun untuk melengkapi ritualnya.
Berhubung tak banyak tamu yang datang, aku memberanikan diri menghampirinya. Sebetulnya tindakanku menyimpang dari protokol profesionalitas yang telah kutetapkan untukku sendiri: tidak-boleh-lagi-ada-kontak-pribadi-dengan-pelanggan. Protokol itu kubuat setelah aku terlibat masalah pelik dengan seorang lelaki pencemburu—dan keluarganya—yang salah mengira tunangannya memiliki hubungan gelap denganku. Namun, aturan dibuat untuk dilanggar, kan?
“Single shot espreso untukmu.”
Kuduga kedatanganku yang tiba-tiba telah merusak lamunan panjangnya—aku bisa melihat itu dari raut wajahnya. Bagian atas bibirnya yang merah muda terangkat sedikit sementara bagian tengah keningnya terlipat. Sepasang matanya memicing, seolah-olah mempertanyakan keberadaanku yang—bisa jadi— sangat tidak ia harapkan.
“Aku tidak meminum minuman yang tidak kupesan.”
Aku sudah beberapa kali mendengar suaranya, tetapi rasanya baru kali itu kusadari betapa melodius iramanya. Aku membayangkan kelembutan suara itu di telingaku. Sial! Baru membayangkannya saja gairahku sudah menggelegak memaksa keluar dari setiap pori-pori kulitku.
“Tenang, ini aman,” sahutku setelah selesai menertawakan respons yang ia sampaikan atas perhatianku. “Kamu tidak akan mati hanya karena meminum espreso yang kuberikan cumacuma untuk menggantikan amerikanomu yang mendingin.”
Kedua bola matanya bergerak naik turun dari wajahku, lalu ke kopi di tanganku, kemudian kembali lagi ke wajahku.
Tanpa meminta izin aku langsung menarik kursi di seberang kursinya dan duduk menghadapnya. Lekukan di keningnya makin dalam, kuasumsikan ia makin tidak suka dengan perlakuanku yang kurang sopan. Namun, aku mengabaikannya. Penting sekali untuk bertindak masa bodoh saat kita sedang melakukan pendekatan dengan seseorang, apalagi seseorang itu adalah perempuan cantik yang secara berkala mengunjungi tempat usahamu.
Kusodorkan espreso yang masih mengepul itu kepadanya dan kutarik amerikano yang terabaikan itu ke arahku. “Kopi lebih nikmat jika diminum selagi hangat. Aromanya akan merasuki hidungmu lalu membuatmu bersemangat. Cobalah.”
Ia sempat meragu sebelum mengangkat cangkir. Dua lapis bibirnya yang ranum membuka sedikit sebelum bersentuhan dengan bibir cangkir yang tipis. Samar-samar kudengar suara ribut air terseruput masuk ke mulutnya.
“Pahit,” katanya sambil mengernyit.
Aku tertawa. “Berani kupastikan, kamu bukan penikmat kopi.”
“Bukan,” timpalnya seraya menyunggingkan senyum— senyuman pertamanya untukku. “Aku penikmat teh.”
“Kalau begitu, masih menjadi misteri. Mengapa seorang penggemar teh memesan kopi?” tanyaku penasaran.
“Karena mungkin seorang pencinta kopi akan datang untuk meminumnya. Via.” Ia mengulurkan jemarinya yang lentik, mengarah ke dadaku. Tangannya mengambang beberapa jenak di udara sebelum tanganku menyambutnya. “Lion.”
***
Belakangan baru kuketahui bahwa kedatangan Via ke tempatku adalah untuk menunggu seseorang keluar dari apartemen yang berada tepat di seberang Kopikiri. Hal itu terlontar dari mulutnya setelah kami berdua menghabiskan waktu bersama-sama pada suatu sore yang penuh gelora di kamar tidurku.
Secara mengejutkan, perkenalanku dengan Via telah membawa hubungan kami ke tahap yang lebih akrab. Sejak hari aku memberi espreso kepadanya, Via tak pernah lagi duduk menyendiri sambil menantikan hujan yang kadang datang kadang tidak karena aku selalu menemaninya berpeluh di ranjang kayu yang terletak di lantai dua. Aku akan memasang tanda “tutup” di pintu Kopikiri selama dua atau tiga jam dan membukanya kembali setelah kegiatan kami selesai. Kalau boleh jujur, sebetulnya dua atau tiga jam itu terlalu sebentar sebab waktu terasa lebih cepat berlalu saat aku menghabiskannya bersama Via.
“Kita harus bergegas sebelum Hans selesai dengan pekerjaannya.” Via menyebut nama suaminya sambil berjalan mengelilingi kamar, memunguti pakaiannya yang tersebar di lantai. “Aku harus menjemputnya di lobi.”
“Sepuluh menit lagi,” kataku seraya menarik lengannya sehingga ia kembali terbaring di sebelahku yang masih bertelanjang dada dan berselimut kain tipis. Kuselipkan beberapa helai rambut ke balik telinganya yang cantik bagai telepuk kayu, lalu kususuri lehernya yang jenjang. Via memejam dan mendesah ketika kumis dan janggut di sekitar mulutku menyentuh kulit lehernya.
“Jangan menahanku lebih lama. Hans akan marah—”
“Kenapa kamu mau melakukan itu?” Pertanyaanku membuat Via gagal menuntaskan kalimatnya. Wajahnya yang semula menampakkan kenikmatan surgawi berubah menyiratkan kesengsaraan. “Melakukan apa? Membiarkan Hans meniduri perempuan lain demi membuktikan bahwa dia tidak mandul?”
Aku membiarkan dua kalimat tanya itu menggantung tanpa jawaban karena memang bukan aku yang seharusnya menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
“Seandainya aku punya pilihan aku pasti sudah meninggalkannya, tapi aku tidak memiliki keistimewaan itu.”
Via pernah bercerita, suaminya adalah anak tunggal dari keluarga terpandang. Status itu membuat Hans berkewajiban memiliki keturunan demi meneruskan nama besar kedua orang tuanya. Namun, sepuluh tahun terlalu lama bagi Hans untuk menunggu. Via bilang, gara-gara itulah Hans jadi kehilangan asa sekaligus akal sehatnya.
“Hans dan orang tuanya menganggap akulah yang bermasalah. Meski sudah kubuktikan dengan pemeriksaan dokter bahwa aku baik-baik saja, mereka tetap menyalahkanku. Ibunya bahkan memaksaku mengizinkan Hans menikah lagi dengan perempuan lain. Perempuan pilihannya. Perempuan yang tinggal di apartemen seberang Kopikiri.” Via bermonolog seraya memamerkan senyum hampa.
“Aku pernah menolak ide itu …. Maksudku, bagaimana mungkin Hans bisa menghamili perempuan lain jika menghamiliku saja dia tidak mampu? Iya, kan? Tapi, Hans malah memukuliku habis-habisan. Dia tidak bisa menerima penolakan …. Bayangkan, Hans menyuruhku mengantar-jemput setiap kali dia meniduri perempuan itu. Aku mungkin akan terbangun di peti mati kalau menentang kemauannya.”
Via menghela napas kemudian mengembuskannya kuatkuat, seolah-olah ada beban berat yang tak kasatmata yang membuatnya kesulitan bernapas.
“Bercerailah.” Kata-kata itu meluncur begitu saja sebelum aku sempat memikirkannya.
Suara tawa Via mengalun di telingaku seperti nyanyian seorang biduan yang melantunkan lirik-lirik keputusasaan. “Jangan konyol, Lion, aku tidak mungkin meninggalkan Hans. Dia bisa melakukan hal-hal yang berbahaya jika aku nekat berbuat gila.” Via bergegas bangkit dari tempat tidur kemudian berpakaian. “Lagi pula,” katanya sambil memandangi pantulan wajahnya di cermin, “takkan ada yang bisa memisahkanku dari Hans selain kematian. Entah itu kematianku atau kematiannya.”
Sore itu aku mengiringi kepergian Via dari Kopikiri dengan hati yang kusut kacau. Di sudut nuraniku, aku ingin berbuat sesuatu untuk menyelamatkan Via dari neraka yang memenjarakannya. Namun, hingga tubuhnya yang lampai menghilang dari pandangan, aku masih tak tahu harus melakukan apa. Aku berharap, kelak ketika ia datang lagi aku sudah menemukan solusinya.
***
Akan tetapi, Via tak datang lagi ke Kopikiri. Tidak tiga hari kemudian, seminggu kemudian, bahkan hingga berbulan-bulan kemudian. Saat itulah aku baru sadar bahwa selain lekuk-lekuk di tubuhnya, aku tak mengenal Via sama sekali. Aku tak tahu alamat rumahnya, aku juga tak punya nomor ponselnya. Aku bahkan tak tahu siapa nama lengkapnya sehingga tak bisa mencarinya di media sosial. Via benar-benar menghilang pintang.
Lama menanti tanpa kepastian, aku jadi khawatir sendiri. Apakah Via baik-baik saja? Apakah ia bahagia? Apakah ia tak menderita? Dan masih banyak “apakah-apakah” lain yang tak kuketahui apa jawabannya.
Aku hampir menyerah dan melupakan rencanaku untuk menolongnya ketika tiba-tiba saja ia datang pada suatu malam menjelang kedai tutup gerbang. Rambutnya sudah lebih panjang daripada terakhir kali ia ke Kopikiri. Wajahnya lebih tirus, badannya pun lebih kurus. Namun, bukan hal-hal itu yang menarik perhatianku.
Pandanganku tertuju ke perutnya, ke balik gaun putih gading berlengan panjang yang ia kenakan. Ada sesuatu yang menyembul di sana. Apakah Via—akhirnya—hamil?
“Segelas amerikano dan dua keping macaroon rasa mint dan cokelat,” katanya tanpa menatap wajahku.
Apakah Via lupa kepadaku? Rasanya, itu tidak mungkin, kan? Lima bulan adalah waktu yang terlalu singkat bagi seseorang untuk melupakan orang lain, apalagi jika orang itu pernah mencium bibirmu, membelai wajahmu, dan menjamah tubuhmu.
Aku mengantarkan pesanan Via ke mejanya yang biasa. Ia mengucapkan terima kasih tanpa menatapku karena matanya sibuk memandang ke luar melewati kaca jendela di sebelah kanannya—ke apartemen tempat dulu Hans beradu kasih dengan perempuan lain selain dirinya.
“Aku hamil.”
Kalimat itu menjadi jawaban atas pertanyaan yang sempat berkelindan di benakku. Sebelum aku sempat mengucapkan selamat, Via membungkamku dengan kalimat berikutnya.
“Anakmu. Bukan anak Hans.”
Aku bisa merasakan jantungku bertalu-talu menyuarakan keterkejutan yang melanda hati dan pikiranku. Kedatangan berita itu begitu tiba-tiba sehingga melumpuhkan semua indraku, membuatku bingung harus berkata apa atau bertindak bagaimana.
Lalu kalimat-kalimat lain mengalir dari mulut Via bak air bah yang menyapu sawah. “Awalnya Hans gembira karena dia mengira bayi ini adalah anaknya. Dia memperlakukanku bagai ratu, tapi kemudian dia mencampakkanku seperti sampah setelah perempuan itu mengabari tak juga hamil—bahkan setelah Hans berkali-kali menyemai benih di rahimnya.”
“Sekarang Hans menuju ke Kopikiri. Aku minta maaf, Lion, aku sudah berusaha menutupi hubungan kita darinya, tapi aku tak bisa bertahan lebih lama lagi.” Via menyingkap lengan bajunya, menunjukkan beberapa luka lebam di sana. “Akan lebih banyak yang seperti ini jika aku tak mau bicara. Aku takut kehilangan bayiku, Lion, maafkan aku.”
Hatiku nyeri mendengar suara Via yang bergetar. Aku tak bisa membayangkan bagaimana Via harus menutupi kebenaran itu seorang diri demi melindungi bayinya. Bayi kami.
Mungkin sudah saatnya kujalankan rencana yang sempat tertunda lima bulan lalu. Mungkin sudah waktunya kubebaskan Via dari penjara yang mengurungnya. Mungkin itulah saat yang tepat untuk kukeluarkan sebilah pisau dapur sepanjang lima belas senti yang kusembunyikan di laci bar.
Aku berjalan ke meja hitam persegi panjang di sebelah pintu kedai. Bertepatan dengan itu, seorang lelaki berkacamata hitam, berkemeja abu-abu, bersabuk kulit, dan bercelana krem masuk ke Kopikiri. Rambutnya tersisir rapi ke belakang, seperti Chow Yun Fat muda ketika memerankan “God of Gamblers”. Ia mengedarkan pandang menyapu seisi kedai yang sepi. Kemudian, tatapannya berhenti pada Via. Aku langsung yakin lelaki itu Hans.
“Mana dia?” Suaranya yang lantang mengalahkan musik yang mengalun pelan.
“Dia belum datang.” Via menarik tangan Hans meski lelaki itu berulang menepisnya. “Duduk dan minumlah dulu. Kumohon.”
Hans menurut. Ia menenggak amerikano yang Via suguhkan seperti orang yang kehausan.
Itulah kesempatanku. Aku berjalan memutar mendekati Hans dari arah belakang. Akan kutusukkan pisau ke punggungnya lalu kudorong hingga tembus ke dadanya. Aku tak peduli sekalipun nanti aku yang harus menanggung akibatnya—sejak semula aku sudah tahu risikonya.
Ujung mata pisau yang runcing telah terarah ke sasaran. Aku mengayunkan lengan sekuat tenaga.
“Argh!”
Hans terjungkal dari kursinya. Ia terkapar di lantai. Badannya berguncang-guncang, matanya membuntang, mulutnya berbuih.
“Kenapa—”
“Ssst!” Via bangkit dari kursinya kemudian berlutut di dekat Hans yang menggelepar seperti ikan. Lengannya terulur ke kepala Hans. Ia membelai rambut Hans yang klimis seraya membisikkan kata-kata yang terlalu keras untuk tidak kudengar.
“Sudah berapa kali kubilang, seharusnya kau tidak meminum minuman yang tidak kaupesan sekalipun itu minuman kesukaanmu.” Via mendongak. Ia menatapku seraya menyunggingkan senyum buaya yang tak pernah kulihat ada di wajahnya. “Benar, kan, Lion?” tanyanya.
Dentingan terdengar kala pisau di tanganku jatuh beradu dengan ubin kemudian tergeletak tak jauh dari tubuh Hans yang tak lagi bergerak. Malam itu akhirnya aku tahu mengapa Via tak pernah mau menyentuh pesanannya. []