Try new experience
with our app

INSTALL

Mystery of Amazon 

Bab 2

GEGAR otak ringan membuat kondisiku belum terlalu baik untuk keluar dari rumah sakit. Pusing masih datang dan pergi. Aku lebih banyak berbaring di tempat tidur, belum terlalu kuat untuk duduk, apalagi berdiri. Selama tiga hari ini Dokter Ronaldo belum mengizinkan aku membaca atau mengakses alat komunikasi. Katanya aku harus lebih banyak istirahat agar cepat pulih dan pulang. 

Ah ... pulang. Satu hal yang selalu kuhindari. Sudah lima atau tujuh? Tidak. tepatnya sepuluh tahun aku tidak menginjakkan kaki di rumah.

Bagi mereka kehadiranku tidak berarti apa-apa. Justru mereka seperti bersyukur ketika aku menunda kepulanganku setelah lulus sarjana dan melanjutkan studi S2, S3, hingga meraih gelar Doktor di usia 35 tahun. Mereka tidak ingin direpotkan dengan kehadiranku. Walau kata pepatah darah lebih kental dari air, itu tidak berlaku untuk keluarga kami.

Kami hidup seperti orang asing di sebuah rumah yang lebih mirip dengan puri. Bangunan batu tiga lantai dengan luas 870 meter persegi tiap lantainya. Terdiri dari 12 kamar tidur, 20 kamar mandi, dan masih banyak ruangan lain yang tak jelas fungsinya. Penghuni di sana lebih banyak dari kalangan pelayan ketimbang sang empunya. Rumah itu peninggalan Sir Thomas Hamilton, kakek yang membesarkanku dengan segala pengetahuan, kasih sayang, dan petuahnya.

Jangan bertanya ke mana kedua orang tuaku. Mereka sibuk dengan segala urusan. Ayahku menjalankan perusahaan raksasa di bidang manufaktur. Eddy Thomas Hamilton Jr., pria berwatak keras dan gila kerja. Tak peduli akan berita perselingkuhan sang istri dengan pemain golf, yang penting harga saham perusahaan selalu naik dan keuntungan tak pernah menjauh.

Stefani Hamilton, memiliki nama gadis Stefani MacDaniels. Putri tunggal seorang anggota dewan sekaligus pemegang saham terbesar di sebuah rumah sakit swasta di London. Wanita bertubuh ramping itu lebih asyik dengan pekerjaan dan kehidupan pribadinya dibandingkan mengurus putri dan putranya. Terkadang aku ragu bahwa aku dan Kevin adalah anak-anak yang terlahir dari rahimnya.

Berita kecelakaan yang aku alami hanya sampai di telinga Kevin yang saat ini sedang berada di Bali untuk mengikuti kompetisi selancar air. Adikku adalah seorang atlet selancar air. Dia menghabiskan banyak waktu hidupnya untuk keliling dunia dan menemukan pantai-pantai eksotis berombak besar. Tidak lupa berkenalan dengan wanita tentu saja. Kevin hanya mengucapkan semoga lekas sembuh dan menjelajah hutan lagi dalam pesannya. Dia mentransfer sejumlah uang untuk membeli segudang cokelat, sebagai obat agar otakku cepat waras. Dasar sinting!

Selama aku berada dalam proses pemulihan, Daniel mengambil alih semua urusan komunikasi dengan kantor pusat di London. World Animal Protection (WAP) adalah suatu organisasi nirlaba internasional untuk keselamatan sekaligus penelitian hewan. WAP memiliki pusat regional di Afrika, Asia, Eropa, Amerika Latin, dan Amerika Utara, juga mempunyai kantor di 14 negara. Kantor internasional WAP berada di kota London. 

Program kerja WAP berfokus pada beberapa aspek yang terkait dengan perlindungan hewan dan pencegahan penyiksaan serta kekejaman terhadap hewan. Sejak tahun 1985 WAP meluncurkan beberapa program, yaitu mengenai hewan di alam liar, hewan dalam komunitas, hewan dalam bencana, hewan dalam pertanian, dan kesejahteraan hewan secara global di seluruh dunia.

Kami melakukan penelitian di Hutan Amazon dalam rangka menyusun sebuah buku ensiklopedia hewan berjenis serangga yang termasuk program hewan di alam liar. Proyek ini digawangi oleh WAP dan Universitas Oxford. Aku adalah salah satu anggota tim peneliti yang dimintai bantuan oleh pihak Universitas Oxford, di mana Profesor Dawson mengajar. Dia adalah salah satu pengajarku ketika aku mengambil pendidikan doktoral di Fakultas Ilmu Pengetahuan Murni dan Terapan. 

Aku seorang Biolog yang mendapatkan gelar Doktor enam bulan lalu setelah berhasil melakukan penelitian mengenai kelainan genetik pada belalang sembah di kawasan hutan hujan tropis Kalimantan, Indonesia.

Ketika mendapatkan surat resmi untuk bergabung dalam tim penelitian kupu-kupu morpho biru, aku merasa senang. Apalagi penelitian ini dilakukan di Hutan Amazon, habitat serangga itu. Aku sangat suka bertualang, memasuki hutan, pegunungan, dan banyak tempat yang memberiku kejutankejutan menarik. Salah satunya adalah rimba Amazon. Hutan paling besar dan sarat misteri serta kaya flora dan fauna yang beraneka ragam.

Namun, keberuntungan sedang tidak berpihak kepadaku. Aku tersesat, mengalami kecelakaan, dan jatuh ke jurang sehingga aku harus dirawat selama beberapa hari di rumah sakit.

Selama aku dirawat, banyak pertanyaan menggelayuti benak. Semenjak kedatangan polisi hutan itu aku tidak bisa tidur nyenyak. Padahal dokter telah memberikan obat tidur dalam cairan infusku. Tetap saja, aku sering terbangun karena mimpi-mimpi aneh. 

Mimpi tentang Tristus yang mendatangiku dengan seruling di tangannya. Dia memintaku untuk segera meninggalkan Brasil dan kembali ke tempat asalku. Dalam mimpiku dia memberi ultimatum, jika aku masih tetap bersikeras masuk ke rimba Amazon, maka akan ada hal buruk menimpaku. Lalu tiba-tiba wujud Tristus berubah menjadi si polisi hutan berseragam lengkap. Pria tinggi besar itu menodongkan senapan laras panjang kepadaku sambil berteriak menyuruhku melakukan lompat kodok. Setelah itu aku terbangun dengan keringat menganak sungai.

Kamar perawatanku tampak lengang. Anna belum kembali sejak meminta izin untuk pulang ke rumah dinas tadi pagi. Aku melirik jam yang menempel di dinding. Sudah tengah hari dan cuaca sangat panas. Badanku basah dan lengket, terasa tidak nyaman. Perlahan aku bangkit dari tempat tidur ketika pintu terbuka dan seorang perawat bertubuh gemuk datang.

Boa Tarde, Senhorita[1]!” sapanya riang dengan bahasa Portugis.

Aku tersenyum dan mengangguk. “Boa Tarde[2]!”

“Dokter Ronaldo sudah melihat hasil pemeriksaan terakhirmu. Semuanya bagus dan kau boleh pulang sebentar lagi. Aku akan membantumu untuk mengganti pakaian.” Suster tersebut mendekatiku.

Aku melirik papan nama yang tertempel di dadanya. “Obrigado[3], Maria,” ujarku. “Tetapi bolehkah aku menunggu di sini sampai asistenku datang?”

“Tak apa. Aku akan melepas infusmu dan membantumu membersihkan diri. Kau kuyup bermandi keringat, Sayang.” Suster Maria berkata ramah.

Aku melihat sebuah berlian menghiasi gigi taringnya. Membuat geliginya bersinar ketika ditimpa cahaya matahari yang masuk melalui jendela. Tangannya cekatan melakukan semua pekerjaan. Tak sampai 15 menit aku sudah rapi dan merasa lebih selesa. Suster Maria membantuku menyisir rambut. Sebenarnya aku malu karena rambutku lepek belum keramas, tetapi dia tetap memaksa.

“Kau harus terlihat cantik saat pulang nanti,” katanya sambil terkekeh.

“Terima kasih,” ujarku tulus.

Bahuku memang masih agak kaku karena terkilir saat jatuh ke jurang. Bengkaknya sudah membaik, tetapi masih sulit untuk digunakan beraktivitas. Jika dipaksakan ototku akan terasa tegang dan nyeri.

“Kau beruntung,” katanya tiba-tiba.

Aku menatapnya yang tengah merapikan alat-alat di atas troli besi.

“Maksudmu?” tanyaku.

“Kau hanya terluka ringan. Untung saja Miguel segera menemukanmu. Kalau tidak ....” Aku mendengar suaranya bergetar.

Aku mengangguk paham. “Jaguar bisa saja memangsaku, atau aku bisa saja ditelan bulat-bulat oleh anaconda.”

“Bukan hanya itu,” ucapnya. “Yang paling mengerikan adalah .... ah, sudahlah! Kau harus bersiap-siap pulang.” Dia mengibaskan tangan di depan wajahnya.

Baru saja aku ingin mengutarakan pertanyaan ketika seseorang mengetuk pintu dan sedetik kemudian pintu bergeser terbuka. Figur pria yang berdiri di ambang pintu membentuk siluet yang membuatku merinding.

“Selamat siang!” sapa si suara bariton.

“Hai, Miguel! Senang melihatmu lagi!” sapa Suster Maria riang.

“Maria.” Miguel mengangguk dan melangkah perlahan memasuki ruangan.

Entah mengapa tiba-tiba atmosfer di sekitarku terasa berbeda. Aku merasa sesak demi melihat tatapan sepasang mata elang milik pria berseragam kelabu itu. Perlahan dia melepas topi fedora di atas kepalanya yang ditumbuhi rambut hitam bergelombang. Senyumannya singkat, tetapi mengirimkan gelenyar aneh di seluruh tubuhku.

“Selamat siang, Kelly,” sapanya sambil mengangguk sopan.

Entah seperti apa rupaku sekarang. Mungkin pucat pasi sambil meringis aneh. Tadinya aku berusaha untuk tersenyum membalas sapaannya. “Siang.” Namun, suaraku terdengar mencicit.

“Kau sudah siap? Aku akan mengantarmu pulang,” ujarnya sambil tersenyum sekali lagi.

Kali ini senyumnya lebih lebar dan menyiratkan sesuatu yang membuatku ingin menelan ludah.


 

[1]  Selamat siang, Nona!

[2]  Selamat siang

[3]  Terima kasih