Try new experience
with our app

INSTALL

Mystery of Amazon 

Bab 1

BRUG!

Tubuhku terasa melayang ketika tersungkur ke tanah. Aku luput melihat akar-akar yang menyembul di atas tanah. Kakiku tersandung dan membuatku tak berdaya. Semua rasanya luluh lantak, tak bertenaga. Beberapa saat aku tertelungkup, mengatur napas dan mengumpulkan kekuatan, sebelum akhirnya dengan segenap tenaga aku berbalik dan menatap sekelilingku dengan napas memburu. Aku frustrasi.

Di sinilah aku. Amazon. Hutan hujan tropis paling besar di dunia. Luasnya 5,5 juta kilometer persegi. Aku bersama empat asistenku tergabung dalam sebuah tim penelitian. Kami masuk ke hutan ini melalui Brasil sejak bulan lalu. Selama sebulan kami melakukan studi pendahuluan dan mengurus dokumen yang kami perlukan untuk melengkapi aspek legal penelitian.

Sebenarnya penelitian ini adalah penelitian lanjutan yang diawali oleh Profesor Dawson. Penelitian mengenai mutasi genetik pada kupu-kupu morpho biru yang habitatnya ada di pedalaman rimba Amazon. Kami berada di bawah naungan World Animal Protection (WAP) dan Universitas Oxford yang berperan sebagai sponsor. Kurang lebih setengah tahun kami berencana akan bolak-balik masuk ke Amazon dan menetap di Brasil. Tepatnya di pintu masuk Desa Kuikuro.

Desa Kuikuro adalah salah satu desa terpencil yang terletak di wilayah Xingu, Amazon. Meski terpencil, penduduk desanya sudah melek teknologi. Telepon selular sudah masuk ke bumi Kuikuro sejak tahun 2012. Para penduduknya pun sudah sangat akrab dengan media sosial seperti  aplikasi Facebook dan WhatsApp.

Hampir seluruh penduduk bumi tahu bahwa Amazon adalah paru-paru dunia yang menghasilkan 30% oksigen yang dibutuhkan makhluk bumi. Namun, Amazon juga sering disebut Neraka Hijau karena setiap tahun sungainya selalu meluap. Curah hujan yang tinggi membuat Amazon selalu basah hampir sepanjang tahun. Sekarang, aku sedang merasakan Amazon adalah sebuah neraka.

Hampir dua puluh empat jam aku terlunta-lunta, terpisah dari rombongan. Aku tersesat di wilayah menyeramkan ini. Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba saja aku kehilangan jejak mereka. Peralatan komunikasi yang kumiliki tidak ada yang berfungsi. Ponsel, GPS Navigasi, hingga alat pendeteksi panas pun tak berfungsi. Membuatku berputih mata.

Baru kali ini, sepanjang karirku sebagai seorang peneliti, aku harus mengalami nasib malang. Kantung logistik pun berada dalam kontainer yang dibawa oleh salah satu asistenku. Aku hanya membawa air mineral dan sebatang cokelat. Itu pun sudah habis beberapa jam lalu.

Hari sudah sore, matahari hampir terbenam. Dari kejauhan aku mendengar suara kera-kera berjanggut bersahutan. Nyanyian serangga hutan, burung-burung, hampir berhasil menghiburku. Namun, aku tidak bisa terlalu menikmati orkestra alam. Aku harus segera mencari tempat aman untuk bermalam. 

Tadi malam ketika terpisah dari rombongan, aku memutuskan bermalam di atas pohon kapuk sutra yang belum terlalu tinggi untuk menghindari hewan buas. Bukannya terlelap, mataku malah nyalang karena khawatir akan jaguar yang tentu saja ahli memanjat.

Aku memutuskan untuk membuat api unggun dan beristirahat di sebuah padang yang agak luas seraya berdoa dalam hati, semoga tidak turun hujan malam ini. Kudengar ususku berbunyi nyaring. Perutku melilit lapar. Aku harus menemukan makanan agar dapat memiliki energi untuk keluar dari sini.

Kuedarkan pandangan ke sekitar padang rumput tempatku beristirahat. Dari kejauhan aku melihat sebuah pohon berry hutan semak rendah. Tingginya sekitar satu meter lebih. Cukup tinggi untuk jenis pohon semak rendah. 

Aku beranjak mendekati pohon itu. Beruntung beberapa buahnya sudah berwarna gelap, pertanda telah matang. Akan tetapi, aku justru tertarik dengan tanaman parasit di sekitarnya. Aku belum pernah melihat tumbuhan seperti itu. Tumbuhan itu melilit di batang pohon berry, menyerupai sulur kecil yang berbuah.

Buahnya panjang seperti lobak, tetapi ukurannya hanya seukuran kelingking orang dewasa. Berwarna ungu terang menyerupai terong. Tanaman apa ini? Apakah bisa dimakan? Aku memetik buah itu dan memotongnya dengan tangan. Aroma segar dan manis tercium. Aku tersenyum. Senyum pertama dalam dua puluh empat jam ini.

Kuputuskan untuk mencicipi buahnya. Teksturnya renyah dan mengandung banyak air. Rasanya enak mirip buah tropis bernama rambutan yang pernah kucicipi di Kalimantan. Aku memakan buah itu cukup banyak hingga rasa laparku sedikit berkurang.

Tak berselang lama tiba-tiba aku merasa pusing. Pandanganku kabur dan berputar. Ya Tuhan ... apakah aku makan tumbuhan beracun? Keringat dingin membasahi tubuhku. Aku merasakan tanganku gemetar hebat. Kemudian akhirnya aku terkulai dan semua jadi tampak gelap.

***

Lantunan seruling yang merdu membuat indra pendengaranku lebih sensitif. Bunyinya lembut dan syahdu. Aku membuka mata perlahan, memicing karena cahaya di sekitarku. Setelah menyesuaikan diri akhirnya aku membuka mata dan terbelalak melihat sosok di hadapanku.

Aku melihat seseorang. Tidak! Mana mungkin manusia memiliki sayap? Satu hal yang pasti, dia adalah pria berwajah rupawan, dengan tubuh tegap dan seluruhnya berwarna biru. Biru? Apakah dia menderita Argyria[1]? Atau dia adalah peri? Aku semakin takjub saat melihat sepasang telinganya yang runcing.

Aku menggerakkan tubuh untuk bangun. Dia menghentikan permainan serulingnya kemudian menatap ke arahku dengan ramah. Dia tersenyum, memamerkan giginya yang rapi tetapi runcing, membuatku bergidik.

“Kau sudah bangun, Nona?” Suaranya dalam dan hangat. “Si-siapa kau? Di mana ini?” tanyaku bingung.

“Namaku Tristus. Aku bangsa Elven—perpaduan antara cahaya dan air—, tetapi ada darah manusia dalam tubuhku.” Dia berkata sambil menilik reaksiku.

Aku hanya melongo, seolah-olah dia bicara dengan Bahasa Urdu. Bagi seorang ilmuwan sepertiku, sungguh sangat tidak mungkin mempercayai semua perkataannya. Akan tetapi, ini terasa sungguh nyata. Aku bahkan merasakan sakit ketika mencubit tanganku sendiri.

Melihat gelagatku, Tristus tersenyum. “Bagimu mungkin bangsa kami hanya mitos, tetapi kami nyata adanya. Kami hidup berdampingan dengan kalian karena misi tertentu.”

Aku terdiam beberapa saat, mencoba mencerna katakatanya. “Baik. Jika memang kau nyata, aku percaya. Jadi, apa yang terjadi sekarang? Aku berada di mana?” tanyaku tak sabar.

Sekelilingku hanya diliputi kabut tebal. Aku hanya dapat melihat bagian bawah yang kududuki. Sepertinya kami berada di sebuah padang rumput, tetapi tidak sama dengan area lapang yang kutempati sebelumnya. 

“Kau berada di tempat tinggal kami. Dimensi kelima dunia,” jawabnya. “Aku ingin meminta kepadamu. Tolong, hentikan penelitian yang sedang kau kerjakan. Kalau tidak ...,” ujarnya.

“Kalau tidak?” tanyaku penasaran.

Tristus diam sejenak. Aku menatapnya tak sabar, tetapi cukup bijak untuk tidak memberondongnya dengan pertanyaan lain yang masih memenuhi benakku.

“Kau akan bernasib sama seperti pria tua itu.” Suaranya sedikit mengancam.

Tanpa sadar aku bergidik. Entah mengapa bulu kudukku tiba-tiba meremang. Pikiranku menjelajah tak terkendali.

“Maksudmu Profesor Dawson?” tanyaku dengan suara gemetar.

Tristus mengangguk. “Aku telah memberinya peringatan, tetapi dia tidak mendengar perkataanku.” Kali ini suaranya mengandung misteri. Dingin dan datar.

Aku terperenyak ketika menyadari Profesor Dawson mengalami sakit yang tidak biasa sepulang dari Amazon tahun lalu. Sampai sekarang dia masih terbaring di rumah sakit dengan diagnosa yang belum jelas.

“Aku bertugas untuk menjaga hutan ini dari kerusakan. Terutama menjaga bangsa kupu-kupu morpho biru dari kepunahan. Jika penelitian dilakukan, maka dunia akan tahu keistimewaan hewan itu dan manusia akan ramai-ramai memburunya.” Tristus menatapku tajam.

Aku bergeming, mulai memahami semua penjelasan Tristus. Terkadang di dunia ini memang ada rahasia yang tidak boleh diungkap. Aku lantas menegakkan tubuhku dan menatapnya.

“Baiklah. Aku akan mempertimbangkan kembali penelitianku. Aku akan melakukan konsultasi terlebih dahulu dengan para sponsor dan rekan-rekan peneliti yang lain.” Aku bersungguh-sungguh.

Dia mengangguk dan tersenyum tulus, merasa puas dengan jawabanku. Kemudian Tristus meniup serulingnya lagi. Rasa pusing melandaku kembali, lalu perlahan pandanganku kabur dan gelap.

***

“Daniel, Kelly sudah sadar!” Suara yang sangat kukenal berseru.

Aku mengerjap dan melihat sekeliling. Aku berada di sebuah ruangan serba putih dan berbau antiseptik. Anna menatapku cemas. Kemudian Daniel datang.

“Di mana aku?” tanyaku.

“Rumah sakit. Seorang polisi hutan menemukanmu di jurang.” Daniel menjawab. “Namanya Letnan Miguel. Barusan aku berbicara kepadanya ...,”

“Bagaimana perasaanmu, Nona?” sapa seseorang tiba-tiba.

Suara yang kudengar sungguh terasa familiar. Aku melihat pria itu menghampiri tempat tidur. Dia memakai seragam polisi hutan. Tingginya sekitar tujuh kaki atau lebih, tampak menjulang di antara Daniel dan Anna. Senyumnya terasa akrab, tetapi kali ini dengan gigi yang rapi dan normal.

“Nama saya Miguel. Beruntung kau terjatuh di jurang yang landai, sehingga hanya cedera ringan.” Dia menatapku penuh arti.

Aku hanya melongo melihat sosok Tristus versi manusia yang bernama Miguel itu. Seketika aku mulai mempunyai firasat yang aneh.

***
 

[1] Argyria adalah suatu kondisi yang ditandai perubahan warna kulit normal menjadi abu-abu kebiruan sampai abu-abu gelap. Penyakit ini disebabkan oleh pengendapan partikel perak di kulit.