Try new experience
with our app

INSTALL

Urban 

Urban 1. Cuaca

Urban 1. Cuaca


 

Suatu hari, di siang hari menjelang sore, di sebuah desa kecil terpencil, langit tampak akan tak mendukung. Di depan sebuah rumah berlantai tanah, duduk di bangku rangkaian bambu, gadis berusia dua puluh tahun, sedang mengelap dua buah kotak plastik. Dua buah kotak yang tadi pagi hingga siang hari, ia gunakan untuk membawa dagangannya, menjajakan keliling kampung-kampung. Sekilas tatapannya menatap langit itu. Lalu tatapannya yang telah kembali ke kotak yang sedang dilapnya, tersentak kembali menatap ke langit, karena menyadari kondisi langit.


 

“Mendung. Sepertinya sudah pasti hujan akan turun,” lirih Sastri Ambar Warni. Seketika itu ia teringat adiknya, ia lekas bangkit, dan memasukkan kedua kotak itu ke dalam rumah. “Mak, Sastri pergi jemput Damar dulu!” serunya kepada ibunya yang ada jauh di dapur sementara ia ada di ruang depan.


 

“Anak lanang sudah besar buat apa dijemput?” seru Darmi Kasih dari dapur, yang sedang menggoreng pisang dan aneka bahan lainnya, bakal dijual nanti sore.


 

“Mendung, mau hujan, Mak!” seru Sastri Ambar Warni.


 

“Waduh, mendung! Kalau hujan kalian dagang nanti bagaimana?” seru Darmi mengeluh.


 

“Bismillah, saja! Insya Allah, hangat-hangat malah laku kalau hujan!” seru Sastri sembari mengambil sebuah payung lebar yang terletak di sudut di balik pintu depan rumahnya. Ia membuka payung itu. “Assalammualaikum!” Ia lekas pergi tanpa menunggu jawaban salam dari ibunya.


 

“Waalaikumsalam!” seru Darmi Kasih.


 

Beberapa langkah, rintik-rintik mulai turun. Sastri mempercepat langkahnya, bahkan beberapa kali berlari. Sampai di sebuah sekolah menengah atas, rintik-rintik itu sedikit demi sedikit mereda. Saat Damar Satria ke luar dari sekolahannya, rintik itu benar-benar berhenti.


 

“Mbak, kenapa ke sini? Pakai payung segala lagi!” Damar heran bercampur protes, karena ada sedikit malu, sudah besar masih diperhatikan kakaknya. Sudah kelas tiga lagi.


 

“Tadi tuh hujan, tapi pas kamu keluar hujannya berhenti,” terang Sastri. Damar Satria bermimik kesal menanggapi keterangan kakaknya itu. “Ayo, pulang!” ajak Sastri.


 

“Wah enaknya dijemput!” ledek salah satu teman sekelas Damar.


 

“Cie cie!” ledek teman Damar yang lainnya.


 

“Kenalin dong kakaknya, Mar!” celetuk teman Damar yang lainnya lagi.


 

“Iya, kenalin dong, Mar!” celetuk seorang guru olahraga ikut-ikutan meledek.


 

Seruan-seruan itu membuat Damar semakin kesal kepada Sastri. Kemudian ada seorang perempuan, teman sekelas Damar yang tersenyum ke Damar. Damar membalas senyumannya. Hal itu sedikit memperbaiki rasa kesal Damar.


 

“Ayo pulang!” ulang Sastri.


 

“Duluan sana!” balas Damar kasar lantaran ia malu sama teman-temannya kalau jalan berdua sama kakaknya. Sastri menjadi melangkah terlebih dahulu. Baru setelah Sastri jauh Damar melangkah ke arah yang sama.


 

Beberapa detik, satu menit, lima menit kemudian.


 

Brussshhh!


 

Hujan langsung turun tanpa memberi rintik aba-aba. Sastri lekas berbalik dan melangkah cepat menghampiri adiknya.


 

“Hujan,” kata Sastri saat sampai di sisi adiknya.


 

Semua temannya mengeluh kehujanan. Beberapa ada yang melihat Damar dengan tatapan betapa beruntungnya Damar ada yang menjemputnya memakai payung. Saat itu malu Damar menjadi hilang, berganti rasa menang, dari teman-temannya yang sekarang kehujanan.


 

Dari sekolah menengah atas itu, perlu dua puluh menit berjalan kaki ke rumah mereka, kalau berjalan dengan kecepatan sedang. Kalau pelan bisa lebih dari itu tentunya. Saat tadi dari rumah, Sastri melangkah sedikit berlari karena khawatir adiknya sudah ke luar dari sekolah dan kehujanan. Sekarang ia bersama adiknya menuju rumah jalan dengan santai saja.


 

Sebuah mobil datang dari kota melaju melintasi mereka dan bertepatan rodanya menggilas genangan air hujan di tanah yang ledok cukup dalam.


 

Byurrrr!


 

Air mengenai mereka.


 

“Hei!” seru Damar tidak terima, apalagi air membasahi sangat, dress panjang kakaknya.


 

“Untunglah, Mbak yang di pinggir. Seragammu hanya terkena cipratan saja, sedikit kotor sih, tidak apa-apa, tidak sampai basah kuyup, besok masih bisa dipakai.”


 

“Dasar orang kota!” kesal Damar memandangi mobil itu sampai hilang dari pandangan mereka.


 

“Dari platnya sepertinya dari kota besar,” pikir Sastri saat melihat huruf B yang tertera di plat yang menempel di belakang mobil. Damar juga tahu hal itu. “Sudah ayo lekas pulang!” seru Sastri. Mereka melanjutkan perjalanan sembari memeriksa dress panjang Sastri yang basah kuyup bagian bawah hingga hampir setengah ke atas.


 

***


 

Rumah, di dapur.


 

Darmi masih menggoreng makanan. Sastri dan Damar telah mengganti pakaian mereka. Sastri lantaran terkena air. Sedangkan Damar karena baju yang dipakainya sebelumnya adalah seragam sekolah. Mereka juga sudah bergantian dari kamar mandi yang ada di belakang dapur itu untuk cuci kaki dan tangan.


 

Sastri mengambilkan nasi, sayur, dan lauk yang banyak ke piring dan memberikan ke Damar.


 

“Damar bisa ambil sendiri, Mbak!” protes Damar sembari menggeleng, tanda menolak. Damar lantas mengambil piring, nasi, dan lauk untuk dirinya sendiri.


 

“Eh, ini bagaimana?” tanya Sastri bingung.


 

“Ya, Mbak, makanlah!” tegas Damar lalu duduk di sebuah bangku tanpa meja yang ada di dapur itu.


 

“Mbak segini porsinya kebanyakan. Kalau dikembalikan sebagian tidak mungkin.” Sastri masih bingung karena ia tidak mau menjadi gendut dengan makan sebanyak itu. Damar hanya mengangkat kedua bahunya untuk menanggapi itu lalu menyantap makanannya.


 

Darmi tersenyum. “Makan saja, kalau tidak habis, sisanya nanti bisa dikasih ke ayam.”


 

Sastri duduk di bangku kayu yang ada di sisi Damar lalu menyantap makanannya.


 

“Nduk, kok ganti baju lagi? Tadi baru ganti bajukan sepulang keliling?” heran Darmi saat menyadari baju Sastri berbeda dari sebelumnya.


 

“Kena cipratan air, Mak. Tadi ada mobil yang melintas, pas melintas di genangan air,” terang Sastri.


 

“Mobil dari kota besar, mobil orang sombong!” celetuk Damar kesal.


 

“Ya tidak begitu, Mar. Dengan kecipratan air karena mobilnya, bukan berarti orangnya sombong. Kan memang jalanannya ledok,” kata Sastri.


 

“Tidak sengaja itu, Le, bukan sombong,” terang Darmi.


 

“Memang orang kota kan individual, lain dengan di desa,” kata Damar.


 

“Begitu bukan berarti sombong, Damar,” kata Sastri.


 

“Iya, di kota dan di desa memang lain, tapi semuanya ada kurang ada lebihnya. Kayak saat ada hajatan dan kita tidak bisa turut urun, di desa jadi omongan. Apalagi misal kita pernah dibantu, terus orang yang membantu butuh bantuan, dan di saat itu kita tidak bisa membantu, bisa jadi dibenci. Beruntung Mak masih kuat, ada kalian berdua juga, jadi meskipun tidak bisa urun materi bisa urun tenaga. Tidak jelek-jelek amat di mata tetangga,” kata Darmi.


 

Sastri dan Damar telah menyelesaikan makan. Mereka lanjut membantu Darmi menyelesaikan aneka masakan yang di goreng yang bakal dijual. Setelah semuanya selesai dan telah rapi masuk dua buah kotak, hujan masih mengguyur, dan malah sedikit lebih deras dari sebelumnya.


 

“Bagaimana ini, belum reda, malah lebih deras sepertinya?” keluh Darmi bingung.


 

“Ada payung, kami bisa pergi berdua bersama-sama,” kata Sastri.


 

Damar sesungguhnya keberatan jalan berdua begitu, tapi tidak ada cara lain. “Ayolah berangkat!” serunya terpaksa.


 

Setelah salam dan salim, berangkatlah mereka berdua tanpa berpencar karena mereka hanya memiliki satu buah payung. Untungnya payung itu berukuran besar, cukup untuk melindungi mereka berdua dari guyuran air hujan.


 

Sastri dan Damar jalan kaki keliling kampung-kampung. Kedua tangan Sastri penuh, satu memegang payung dan satu memegang kotak plastik. Sementara Damar hanya satu tangannya yang sedang menggenggam anting kotak plastik. Mereka melangkah perlahan agar tidak tertinggal jika ada pembeli yang menyapa mereka.


 

“Gorengan ... gorengan ... enak anget-anget!” seru mereka berdua bersahutan.


 

"Tahu berontak, sukun, menjes, weji, molen pisang, molen ubi, pisang goreng, ubi goreng!" seru Sastri.


 

"Rondo royal, jemblem, mendoan!" imbuh Damar.


 

“Sudah setengah kampung kita lewati belum juga ada yang beli, Mbak. Hujan, sih!” kata Damar.


 

“Justru hujan begini enaknya makan gorengan!” ujar Sastri antusias meyakinkan Damar. “Hujan hujan enaknya makan yang hangat ditemani kopi!” pekik Sastri kemudian untuk menawarkan dagangannya.

 

“Justru hujan begini enaknya makan gorengan!” ujar Sastri antusias meyakinkan Damar. “Hujan hujan enaknya makan yang hangat ditemani kopi!” pekik Sastri kemudian untuk menawarkan dagangannya.


 

“Mbak, Mas, sini!” seru seorang pria paruh baya. Mereka menoleh dan lekas menghampiri.