Try new experience
with our app

INSTALL

Amorf Part 2: CEMBURU 

PART 1

Diary kesayangan…

  Aira udah minta maaf ke Nat. Dia ngebenerin kotak musik Nat. Asik! Nat super seneng banget. Aira  ngerti perasaan Nat. Nat pengen banget suatu hari kami bisa menikah dan punya banyak anak . Haha, ngareeeep! :p 

  Nat menutup buku diarynya lalu tersenyum. Rocha dan Neira asik makan siang di kantin saat itu dan mereka sudah terlalu biasa melihat Nat menulis diary tanpa mau memberi tahu apa yang ia tulis di sana, jadi mereka sudah maklum dengan kebiasaan Nat. Nat dan diary-nya seperti tak terpisahkan dan keduanya seakan saling menjaga rahasia. 

“Eh, itu siapa, ya? Cantik banget!” tanya Neira begitu melihat seorang gadis berambut panjang melewatinya. Ucapan Neira terdengar seperti kekaguman.

Nat yang sedang asyik dengan jus apelnya melirik, mencari perempuan yang dibicarakan oleh Neira. Keadaan kantin saat ini masih ramai, jadi Nat sulit menemukan gadis tersebut. Nat celingukan, “Yang mana sih, Neir?” tanyanya.

“Itu… yang lagi beli teh kotak.” jawab Neira.

Nat memperhatikan gadis itu. Perempuan itu memang cantik. Kulitnya putih agak pucat dengan alis tebal hitam, berambut panjang terurai, dan berlesung pipi. Penampilannya sederhana tapi tetap terlihat mempesona.

“Itu Andrea, biasa dipanggil Rea,” celetuk Rocha yang sedari tadi asyik dengan mie ayamnya. “3 IPS 1.” 

“Oh.... namanya Rea toh.” Neira manggut-manggut. “Eh, Nat, jagain tuh si Aira. Ntar naksir lagi sama si Rea. Mereka kan sekelas,” Neira nyeletuk sambil tersenyum menggoda Nat.

 Nat langsung terbatuk.

***

“Adek lo?!” 

Reo mengangguk. “Kok kaget?”

Nat menggeleng. “Dia kan kelas tiga juga. Kok bisa jadi adek lo? Atau elo sama Rea… kembar?”

“Iya. Kenapa? Gak mirip?” tanya Reo.

 Nat menggeleng. “Kalian berdua… bukan kembar identik?”

 “Gue sama Rea emang bukan kembar identik. Jadi gak mirip.”

“Ohh…” Nat mengangguk-angguk. Kakak sama adek sama-sama jago tebar pesona, sama-sama rupawan alias ganteng sama cantik. Salut deh!

“Misi…”

Nat menoleh. “Ya?”

  Cowok itu berkulit sawo matang, tinggi, dengan rambut hitam tebal yang acak-acakan. Alisnya tebal dengan mata yang tajam dan hidung mancung. Sayang, di wajahnya sama sekali tidak ada ekspresi, bahkan tak ada senyuman ramah di bibir tipisnya. “Ketua kelas dicari guru BP.”

“Lagi gak ada.” sahut Reo agak ketus.

Nat menatap Reo, heran. “Mm… Ketua kelasnya lagi gak ada. Kalo gue ketemu, ntar gue sampein.” Kata Nat.

“Ok.” Cowok itu pun pergi.

“Itu Gilbert ‘kan, ya? Cool banget deh, kayak es batu.” celetuk Nat.

“Itu namanya sok cool. Bahkan dia gak diajarin buat bilang terima kasih.”

Nat heran melihat Reo yang gak biasanya ketus.  Reo kemudian sibuk membaca komik Detective Conan-nya lagi seakan-akan mau melupakan Gilbert yang tadi datang. Lho? Kenapa sih? Nat bingung.

***

 

Patra menatap ke arah Nat sebelum masuk ke kelas.

“Hello, Patra. Nyari Neira?” sapa Nat ramah.

“Dia di kelas kan?” tanya Patra ketus.

  Nat mengangguk. Patra masuk ke kelas tanpa menghilangkan pandangan sinisnya pada Nat. Ya, Nat benci tatapan itu. Sebenarnya apa yang Nat lakukan pada Patra sampai Patra begitu sinis padanya? Nat tak mengerti. Jika Patra membencinya, Nat tidak akan balik membencinya. Membenci itu capek, begitu kata Mama Nat. 

  Nat dan Rocha duduk di sebuah kursi di depan kelas. Rocha sibuk stalking twitternya Gerard Pique, pesepakbola Spanyol superganteng idolanya, sedangkan Nat sibuk lihat-lihat instagram yang menjual aksesoris berbentuk stroberi. Beberapa menit mereka sama-sama diam, saat mendadak mata Rocha menerawang. “Nat, lo ngiri gak sama Neira? Dia diperhatiin kan sama pacarnya? Kita? Jomblo gini. Gak ada yang merhatiin. ” keluh Rocha.

Nat agak kaget mendengar keluhan Rocha. Ia langsung meraba kening Rocha saking tak percayanya. “Lo sakit?”

“Enggak!” Rocha manyun. 

  Nat tertawa melihat Rocha seperti itu. “Lucu banget, sih, Cha... lo itu kayaknya paling anti ngomongin cowok, sekalinya ngomongin, pasti muji-muji Gerard Pique-lah, Lionel Messi-lah... eh, sekarang mendadak galau gini. Hahaha, kenapa, sih?”

“Ya, abis... nyokap, bokap gue sibuk. Gak ada yang merhatiin. Harusnya ‘kan gue punya pacar, kalo mau diperhatiin.” Rocha menghela napas, tapi kemudian dia tertawa. “Eh, apa lebih enak jomblo ya, Nat?”

  “Iya… enak jomblo. Gak usah jaim, bebas hang out, bebas gebet siapa aja. Lagian sebenernya ada yang merhatiin lo, misalnya Abang lo yang sering lo galakin itu.” Nat tertawa, Rocha juga tertawa mendengar ucapan Nat. “Ngg... Gue juga ada yang merhatiin, kok, meskipun jomblo. Hehehe...”

“Mmm... Aira, ya?”

“Kok Aira?”

“Emang Aira kan?”

“Bukan. Ah, Rocha sok tau, ah.”

“Gue emang tau kali.”

“Yeee... lo fix sok tahu nih... Nyokaplah yang merhatiin gue.” sanggah Nat.

“Masaa?” goda Rocha sambil memicing. “Nat… kenapa sih lo gak jadian aja sama Aira. Kalian cocok kok. Lagipula, kayaknya Aira juga suka kok sama lo…”

Nat terdiam. Menghentikan main instagram di HPnya. Ia menatap Rocha sambil tersenyum. “Gue dan Aira itu cuma sahabatan. Engga lebih. Dan gak akan pernah lebih.”

“Kenapa engga?”

  “Karena Aira gak suka sama gue. Gue gak liat tuh perasaan suka yang muncul di mata Aira saat dia natap gue. Rasa sayang sebagai sahabat gak akan berubah jadi sebuah cinta ke lawan jenis. Lagipula, ada kalanya persahabatan lebih kekal daripada cinta. Ya ‘kan?”

“Lo dululah yang maju. Elo kan suka sama Aira.”

“Gue suka Aira? Yang bener aja, Cha.” Nat tertawa. 

“HEH!” seseorang menepuk pundak Nat. “Kok nyebut-nyebut nama gue sih?”

Nat menengadah, mencari sumber suara. “GR. Perasaan lo doang kali.” elak Nat yang agak salah tingkah.

Aira mengernyitkan dahi. “Bilang aja lo berdua lagi ngomongin gue. Iya kan, Cha?”

“Kaga,” sahut Rocha. “GR aja lo.”

“Oohh…” Aira mengangguk-anggukan kepalanya. “Balik yuk, Nat!” ajak Aira kemudian.

“Rocha gimana?”

“Bakar aja.”

“Heh,” Rocha menepuk tangan Aira yang menarik tangan Nat. “Enak aja lo mau bakar gue.”

  Aira nyengir kuda. “Sate kali ah.” ujarnya menirukan gaya bicara banci. Handphonenya berdering, setelah sibuk mencari handphonenya ia mengangkatnya. “Iya. Jam tujuh kan? Gue belum siap-siap. Masih di sekolah. Mmh… nungguin Nat. Hah? Yaiyalah temen gue, masa pacar. Hehe. Oke, bye…”

  Rocha menatap Nat yang tengah menghela napas saat mendengar kata ‘teman’ yang Aira ucapkan tadi. Rocha tahu betul apa yang Nat rasakan, tapi mungkin rasa itu belum terucap, masih mengendap di hati sahabatnya.

Iya, teman... cuma teman dan gak lebih. Gak akan pernah lebih. Pikir Nat sambil tersenyum. Tampak ada kesedihan di senyumnya...

 

***