Contents
Pijar & Langit
Menunggu Langit
Apa aku sudah bilang, bahwa rasaku pada Langit sesuai namanya? Apapun kesalahan Langit, aku bisa memaafkan, entah berapa lama prosesnya. Begitu pun ketika ternyata dia diam-diam mengkhianati kepercayaanku, beberapa kali, dan puncaknya terjadi saat bulan puasa tahun 2018. Aku menangis terus hingga air mataku rasanya habis, aku tidak bisa menangis lagi. Lalu ajaibnya--aku memaafkan Langit. Rasaku, mengalahkan kemarahan dan kekecewaanku pada Langit.
“Gue tau lo sayang banget sama Langit. Tapi gue gak tahu kalau hati lo selapang itu untuk memaafkan kesalahan dia kemarin,” kata Aruna, sahabatku.
“Gak tau, rasanya sakitnya udah ga kerasa aja gitu. Bingung gue juga sama hati gue. Lagipula bukannya bagus?”
“Bagus?”
“Ya… dia nakalnya sekarang sebelum kami menikah. Coba setelahnya. Bisa cerai kali gue. Lagian pasangan kan ga ada yang sempurna. Pasti ada kurangnya, ada salahnya. Tinggal seberapa bisa gue memaklumi itu,” ujarku menutup pembicaraan kami.
Benar saja. Ketika aku sudah memaafkan Langit, rasanya hubunganku dan Langit membaik. Aku merasa sikap Langit lebih terbuka, seolah tidak ada lagi yang ia rahasiakan lagi dariku. Toh “dosanya” yang terbesar sudah kuketahui dan kuterima. Tentang kejadian di bulan puasa, juga kesalahan Langit, sangat aku tutup rapat. Hanya beberapa orang terdekat yang mengetahui hal ini. Reaksi mereka pun sama dengan Aruna, bagaimana bisa aku memaafkan dan tidak meninggalkan Langit? Aku pun bingung. Aku sudah tidak marah, jadi menurutku tidak ada yang perlu lagi dipermasalahkan. Aku dan Langit akan baik-baik saja.
Aku bahkan sampai memiliki rencana menikah dengan Langit, sesanggupnya Langit. Aku tidak akan terlalu menekannya. Oleh sebab itu… aku menunggunya menyelesaikan S-2 di UGM, menunggu kakaknya menikah dulu, menunggunya sampai mendapat pekerjaan yang menurutnya layak. Ya, tak apa. Aku merasa Langit sangat membuatku nyaman, menunggu tak berapa lama, apa salahnya?
“Ya maulah. Kamu pikir ngapain kita bareng-bareng selama ini kalau tujuannya bukan menikah. Aku Cuma ga mau ditekan. Itu membuat aku gak nyaman,” jawab Langit ketika aku menanyakan soal apakah dia memiliki niatan untuk menikahiku.
“Ya udah, oke. Aku ga akan menekan kamu. Aku akan temani proses yang sedang kamu jalani sekarang.”
Aku pikir sabarku seluas rasaku pada Langit. Tapi orang tuaku terus mendesakku agar segera meminta kepastian pada Langit. Aku mengerti betul kekhawatiran mereka, karena aku anak pertama dan sudah menjalani hubungan ini amat-sangat-lama, setidaknya menurut mereka. Sehingga mau tak mau, aku harus menekan Langit, meminta Langit untuk menemui orang tua di rumah. Beginilah ucapan Langit pada orang
“Tante… Om… tentu saja aku serius sama Pijar. Aku sayang sama Pijar. Cuma aku kasih hak penuh ke Pijar… apa Pijar mau menunggu aku sampai aku mendapatkan pekerjaan yang pantas? Aku ga akan paksa Pijar untuk menungguku,” ujar Langit dengan wajah serius pada kedua orang tuaku saat itu.
Aku tertawa kecil mendengarnya. Langit, Langit… tentu saja aku bersedia menunggumu.
Secinta itu aku padamu.
***