Contents
Penjaja Surga
Sri Rejeki
Jika kebenaran adalah syair kemapanan
Maka kesalahan pasti dendang kematian
Sekali berbuat salah
Selamanya hidupmu resah
***
Kebenaran adalah syair kemapanan, kata para pujangga. Sebuah kestabilan yang tidak akan pernah bisa terkalahkan, bahkan oleh kejahatan, angkara murka, juga bengis kejam, sebagai wujud distorsi ataupun gangguan. Aku pernah membaca dalam sebuah buku berjudul Judas Kiss, karangan Freddy San. Penulis tampan dengan coretan sarat pesan dan banyak berbicara tentang kemanusiaan.
Aku tidak salah atas tragedi itu. Kenapa harus aku yang terkalahkan? Seumur hidup menanggung celaan, sementara penjahat-penjahat itu tetap bahagia, tertawa tanpa luka. Lantas, di mana letak kebenaran itu?
Walau belum bisa dibilang mapan, tetapi sekarang aku sudah cukup nyaman. Minimal makan tidak kekurangan, biarpun jalan yang kutempuh tidaklah benar bagi sebagian orang. Kami tidak tahu apa itu ‘benar’. Sebuah kata yang sudah lama hilang menguar. Kami hanya sadar bahwa perut tak bisa menunda lapar.
“Mi, pinjem korekmu.” Sri Rejeki, biasa dipanggil Eki, tiba-tiba saja sudah berdiri di samping.
Kurogoh tas kecil dengan motif batik mega mendung warna ungu milikku dan melemparkan Zippo berwarna keemasan padanya. Ditangkap dengan tangkas oleh gadis berambut keriting pendek kecokelatan itu. Tangan mungil yang sudah membelai lebih banyak pria, walau dia sebaya denganku.
Eki salah satu primadona di tempat ini. Dalam satu malam, dia bisa melayani empat atau bahkan lima pria sekaligus. Itu pun dengan bayaran tinggi. Jauh berbeda denganku, pemilik wajah pas-pasan, penampilan ndeso, tampil dengan polesan tipis saja. Hargaku tidak sampai sepertiga harga Eki.
Dia pernah mengajariku berdandan. Dasar aku, tidak suka terlihat menor. Jadi, tetap saja setiap malam tampil seperti ini, pulasan tipis seadanya. Tidak heran, pelangganku juga itu-itu saja.
Sudut taman belakang memang biasa jadi tempat istirahat kami. Bukan hanya aku dan Eki, tetapi juga wanita-wanita lain, seprofesi tentunya. Tadi aku baru saja melayani satu tamu. Bedak jadi luntur, gincu juga pating pletot ke mana-mana akibat cumbuan kasar Kakek Sugiono. Kakek renta dengan gairah remaja.
Pelanggan satu itu sering kuledek, “Masih kuat berdiri, Kek?”
“Loh, ngenyek! Lah, ini buktinya masih bisa jalan ke mana-mana. Kalau nggak bisa berdiri, kan cuman duduk aja di rumah. Piye, toh.”
Kakek yang kutaksir berusia tidak kurang dari tujuh puluh tahun itu memang pandai berkelit. Dia pasti paham apa maksudku. Sontoloyo!
Kakek Sugiono adalah salah satu pelanggan tetapku. Entah karena aku mau dibayar murah atau mungkin mata tua, ditambah suasana remang-remang, membuat aku terlihat cantik di mata dia. Kakek yang selalu tampil perlente itu datang hampir setiap minggu. Setor lendir.
“Habis ngeladenin Kakek Sugiono, ya?” Eki mengulum senyum. Dia memang selalu geli setiap kali membicarakan berondong tua itu.
“Iya. Ndak papa, wis. Yang penting dapat uang. Makin ke sini, makin sebentar saja dia mainnya, kok. Kasar, tapi cuma sebentar. Lumayan ....”
Kami berdua terbahak-bahak. Kakek Sugiono memang cukup terkenal di kalangan kami. Sebelum ada aku, dia sering berganti-ganti wanita. Sekarang, selalu aku yang dia sewa, tidak mau yang lain.
“Sumpah, dia itu pasti kepincut sama kamu, Mi. Udah, ajak nikah aja. Bentar lagi juga mati, terus kamu dapet warisan banyak. Nggak usah kerja malem lagi kayak gini. Mulyo uripmu, Mi.” Eki meledek sembari memainkan asap yang keluar dari mulutnya.
“Ngawur. Sembarangan saja kamu itu kalau ngomong, Ki.” Aku yang sudah selesai memoles wajah, mendorong pelan bahu Eki.
Dia sahabat pertama, juga terbaik di tempat ini. Ketika aku sedang kebingungan setelah diusir dari rumah, Eki adalah malaikat tanpa sayap yang rela mengulurkan tangan untukku. Dewi penyelamat.
“Mbak, bangun. Ngapain tidur di sini. Dingin, nanti masuk angin, lho.”
Mataku mengerjap beberapa kali. Otak masih berusaha untuk memulihkan kesadaran. Badan terasa sangat letih akibat berjalan tak tentu arah selama beberapa jam. Niat beristirahat sejenak di pinggir jalan, malah ketiduran.
“Buruan pulang, Mbak. Nanti digangguin sama orang jahat kalau tidur di sini,” ucapnya lagi.
Kutatap gadis cantik yang membungkuk di depanku. Ini orang atau hantu, ya? Kenapa malam-malam begini dia masih berkeliaran di luar?
“Mbak, kok malah bengong, sih?” Melihatku membisu, dia melambaikan tangan di depan wajahku.
“Eh, sori. Ya, Mbak. Masalahnya ... aku ndak tahu mau tidur di mana,” tuturku pilu.
“Lah, rumah Mbak di mana? Pulang aja sekarang. Lagi ada masalah di rumah, ya?” Dia langsung menebak dan kujawab dengan anggukan lemah.
“Ya, udah. Besok aja kita cerita-cerita lagi. Sekarang, Mbak ikut ke kosanku aja. Tidur di sana nggak papa, kok. Yuk!”
Daripada harus tidur di jalanan, tanpa tujuan, juga resiko diganggu orang, lebih baik aku ikut dia saja. Kalau tetap di sini, bisa-bisa aku diperkosa lagi seperti dulu. Toh, dia ini perempuan. Sedikit lebih aman.
Sambil berjalan menuju kontrakan, kami berbincang-bincang ringan, saling memperkenalkan diri satu sama lain. Eki sangat friendly, mudah akrab dengan siapa saja. Buktinya, aku yang baru beberapa menit mengenal, sudah tidak ada lagi rasa canggung. Ditambah lagi, kami ini seumuran.
Eki membuka gembok gerbang, lalu memberi tanda dengan gerakan kepala, memintaku masuk. Di balik pagar tinggi berwarna hitam ini ternyata ada dua deretan kamar. Sambil menunggu Eki mengunci gerbang, iseng kuhitung ada berapa kamar.
Delapan kamar di sisi kanan, enam di sisi kiri. Sisa tanah kosong digunakan untuk lahan parkir dan sebagian lagi jemuran pakaian. Bangunannya rapi. Ada nomor dari stainless menggantung di setiap pintu.
“Yuk. Kamarku pojok sendiri, nomor delapan. Sengaja, biar aku bisa istirahat dengan tenang. Eh, bukan mati maksudnya, ya.” Gadis molek itu tertawa pelan. “Aku kan kerjanya malam, pulang pagi. Jadi, sengaja pilih kamar pojok biar nggak keganggu sama orang-orang.”
Alasan masuk akal. Kamar ujung, paling jauh dari gerbang. Jadi, tidak terganggu orang-orang lewat. Memang sebuah pilihan tepat untuk bisa beristirahat dengan tenang.
Eki melepas sepatu, menata rapi di atas rak, persis bawah jendela. Dia lalu membuka pintu dan mempersilakan aku masuk.
“Masuk aja. Santai, nggak usah malu-malu.”
Aku masuk ke ruangan depan. Tertata rapi, hanya ada karpet cokelat bergambar harimau, televisi, dan beberapa pigura foto menempel di dinding. Eki langsung masuk ke kamar, sementara aku duduk saja di atas karpet.
“Ini, handuk sama sikat gigi. Kalau kamu mau bersih-bersih badan dulu, silakan. Kamar mandi di belakang sendiri sama dapur. Kalau perlu minum atau apa, ambil aja sendiri. Nggak usah tamu-tamuan, ya. Aku nggak mau ribet.”
Sedikit terkejut melihat pakaian Eki. Tadi dia mengenakan jaket denim untuk melapisi pakaian bermotif kulit macan yang dikenakannya. Sekarang, ketika jaket itu dilepas ....
Bahu dan lengan berkulit putih mulus terpampang nyata. Hanya ada dua tali kecil bertengger di bahu menahan kain tipis itu agar tidak melorot. Belahan dada sangat rendah seperti sengaja mempertontonkan bukit kembar yang terlihat menantang. Firasat buruk ....